Tiga hari telah berlalu sejak aku tinggal di vila milik Adrian Valente. Tapi setiap hari rasanya seperti berada di tepi jurang. Sunyi. Gelap. Menyesakkan.
Tak ada jam dinding di kamarku, hanya suara langkah kaki para penjaga yang mengingatkanku bahwa waktu masih bergerak. Para pelayan di rumah ini bicara seadanya, dan semuanya tampak seperti menyembunyikan sesuatu. Mereka menatapku dengan pandangan… iba? Atau takut?
Hari ini, Adrian memanggilku.
Aku dibawa ke ruang kerja pribadi miliknya. Ruangan luas itu dipenuhi rak-rak buku, lukisan abstrak mahal, dan aroma tembakau yang samar. Adrian duduk di belakang meja, mengenakan kemeja hitam yang kontras dengan kulitnya yang pucat dan mata kelam yang tampak tak pernah tidur.
Aku berdiri diam di ambang pintu.
“Masuk,” katanya tanpa menoleh, matanya tetap fokus pada dokumen.
Aku melangkah perlahan. “Kau mau apa lagi?”
“Aku butuh sekretaris.”
Aku nyaris tertawa. “Apa maksudmu?”
“Mulai besok pagi, kau akan duduk di ruangan ini dan membantuku menyortir data, menjawab panggilan, dan mencatat setiap pertemuan.”
“Dan kalau aku menolak?”
Dia mengangkat kepala, menatapku lurus. “Kau tahu apa yang terjadi pada orang yang menolak bantuanku?”
Aku mendadak bisu. Ketegangan memenuhi udara.
Dia bangkit, berjalan mengitariku, lalu berdiri di belakangku. Nafasnya nyaris menyentuh tengkukku.
“Ayahmu berutang, Nayla. Dan kau adalah pembayarannya.”
“Kenapa tidak jual aku saja kalau kau benar-benar sekejam itu?” tanyaku dengan suara bergetar.
“Aku bukan manusia yang menjual perempuan. Tapi aku manusia yang menghukum.” Suaranya lirih tapi mengancam. “Dan ini hukumanku padamu.”
Aku menoleh, menatapnya. Wajahnya begitu dekat, tapi tak ada senyum atau rasa. Hanya tatapan tajam yang menyimpan banyak… luka.
“Terserah kau. Tapi jangan berharap aku akan tunduk sepenuhnya.”
Dia melangkah mundur, kembali duduk.
“Tidak perlu tunduk. Aku hanya butuh kau tetap waras.”
________
Keesokan harinya aku datang tepat waktu. Di meja kecil di samping ruangannya, sudah tersedia laptop, berkas, dan daftar tugas yang membuatku nyaris menangis.
Setiap kali Adrian masuk dan keluar, mataku refleks menatapnya. Lelaki itu terlalu misterius. Kadang tegas, kadang diam. Tapi di balik ketenangan dan aura dominannya, aku merasakan ada sesuatu yang… rusak.
Siang itu, aku tak sengaja menjatuhkan map berisi dokumen penting. Saat berjongkok memungutnya, kulihat sebuah foto kecil terjatuh dari sela-sela map. Seorang gadis kecil. Rambut ikal, mengenakan gaun putih, dan tertawa bahagia di taman.
Aku memungutnya dan hendak menaruh kembali ke tempat semula, tapi saat itu juga Adrian masuk.
“Apa yang kau pegang?”
Aku spontan menyembunyikannya di belakang.
“Hanya..”
“Berikan padaku,” potongnya tajam.
Aku menyerahkan foto itu. Wajahnya berubah. Bukan marah… tapi kosong. Seolah foto itu menghidupkan luka lama yang sulit dijelaskan.
“Siapa dia?” tanyaku pelan.
Dia terdiam lama. Tangannya meremas foto itu sebelum ia memasukkannya ke laci.
“Bukan urusanmu,” jawabnya dingin.
Aku nyaris meminta maaf, tapi Adrian langsung berdiri dan pergi dari ruangan. Tanpa sepatah kata.
_______
Malamnya, aku tidak bisa tidur. Foto itu terus membayang di kepalaku. Siapa gadis kecil itu? Adik? Anak? Atau… seseorang yang sudah tiada?
Aku turun ke dapur untuk mengambil air. Saat melintas di ruang tamu, kudengar suara langkah kaki. Aku berhenti. Di balik pintu kaca menuju balkon, kulihat sosok Adrian berdiri sendiri, menatap langit gelap Valmora yang ditutupi awan.
Kau seharusnya kembali ke kamar, Nayla. Jangan ikut campur.
Tapi kakiku justru melangkah sendiri.
Aku membuka pintu perlahan.
“Kau belum tidur?” tanyaku.
Dia tidak menjawab.
“Kau selalu begini? Menatap langit seperti seseorang yang sedang menunggu keajaiban?”
“Langit tak pernah memberi keajaiban pada orang sepertiku,” jawabnya dingin.
“Aku melihat foto gadis kecil tadi siang. Maaf.”
Ia masih diam.
“Apa dia bagian dari masa lalumu?”
Ia menghela napas dalam. “Namanya Eliza.”
Aku menatapnya, menunggu ia melanjutkan.
“Adikku. Dia dibunuh saat aku masih remaja. Karena aku.”
Aku terdiam. Suaranya datar, tapi matanya tampak… kosong.
“Mereka menculiknya untuk menekanku. Aku... gagal menyelamatkannya. Dan sejak itu, dunia ini bukan tempat untuk orang lemah.”
Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Kau mengira aku ini monster. Tapi sebenarnya aku cuma manusia yang kehilangan arah.”
Aku melangkah mendekat, pelan, ragu. “Aku tidak tahu apa yang kau alami. Tapi kau masih punya kesempatan untuk memilih… apakah akan terus jadi monster atau… seseorang yang punya hati.”
Dia menoleh padaku. “Dan jika aku tak punya pilihan itu lagi?”
Aku menatap mata kelamnya dalam-dalam. “Selalu ada pilihan.”
Untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya, Adrian tersenyum. Tipis. Rapuh. Tapi nyata.
“Aku tidak tahu kenapa kau begitu keras kepala, Nayla Arensia.”
Aku tertawa kecil. “Karena kalau aku lembek, aku sudah mati tiga hari yang lalu.”
Kami tertawa pelan, dan untuk sesaat... dunia terasa tidak sekejam biasanya.
Tapi aku tahu, ini hanya permulaan. Karena dunia mafia tak pernah membiarkan bahagia bertahan lama. Dan Adrian Valente bukan hanya pria dengan luka dia adalah pria yang dikelilingi darah, peluru, dan rahasia kelam yang bisa menelan kami berdua kapan saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments