"Gerakan dua, Tancep... ji, ro, lu. Ngleyek... Ji, ro, lu. Ngoyok... Ji, ro, lu... !" teriak Larasati memberi arahan saat latihan tari klasik gaya Jogjakarta.
("Gerakan dua, Berdiri sempurna, satu, dua, tiga. Lanjut miring kanan dengan halus... Satu, dua, tiga. Miring ke kiri... Satu, dua, tiga.)
Napas Dea masih terengah saat menghampiri Larasati, "nyuwun ngapura mba, aku telat," ucap Dea masih dengan napas tersengal.
Larasati melirik jam di pergelangan tangannya, "wes telat lima menit, tak hukum kamu Dea... Ngepel aula sampe bersih. Kamu itu inti di team, masih aja berani telat datang," sungut Laras dengan wajah tegas.
"Ngapunten mba."
"Wes sana cepat bergabung!" perintah Laras.
"Heh! Aku yang cuma cadangan aja datang lebih dulu, buatin mba Laras minuman dan bawain cemilan untuk mba Laras. Lah kamu... " sindir Liya, kesombongan mengintip dari kata-katanya.
Dea hanya diam tidak membalas dan merespon tatapan sinis atau apapun yang disindir rekan-rekannya.
"Sudah! Ojo koyo ning pasar, mingkem , tubuh dan tangan kalian yang bergerak!" tegur Laras.
Laras terus membandingkan gerak gemulai masing-masing murid binaannya, mau dijatuhkan seperti apapun Dea... Laras mengakui, gerakan Dea jauh lebih menonjol dari semua muridnya, tidak ada keraguan untuk tetap mengirim Dea pada acara pembukaan Asean games di Jakarta.
Tarian terus berlangsung hingga beberapa gerakan terlihat sempurna. Laras memberi waktu istirahat lima menit untuk para murid membasahi tenggorokannya. Liya menghampiri Laras dengan wajah penuh harap.
"Mba, mending aku yang dikirim ke pembukaan Asean games, Dea itu nggak bisa komitmen dan selalu telat."
"Keputusan ini bukan hanya dariku Liya, tapi dari koreografer acara yaitu mas Eko Supriyanto. Mereka yang menunjuk Dea langsung saat video aku kirimkan padanya. Dea akan menari di acara makan malam resmi para duta besar."
"Tapi mba, aku juga kepingin lho mba, jenengan sadulurku tapi malah milih orang lain," rengek Liya.
Laras melipat tangannya di atas dada memberi bombastis side eyes, "kamu ngaku saudara kalau ada butuhnya aja, dan kamu belum mengenal aku ternyata ya... " Laras lantas berdiri dan mengambil siap sempurna di depan murid-muridnya.
Prok prok
"Istirahat selesai! Latihan gerakan sembilan," teriak Laras setelah memanggil muridnya dengan tepukan tangan. "Dea kamu bergeser ke sebelah kanan untuk latihan tarian lain."
Mengambil lima langkah, Dea sudah di posisi yang dimaksud Laras. Tanpa di suruh, Dea langsung mengolah tubuhnya dengan tarian ronggeng Jakarta untuk persembahan tarian kolosal.
Malam Tragedi
Tubuhnya terasa remuk setelah seharian aktivitas, saat Dea menginjakkan kakinya ke di halaman rumah, ia sadar ada sesuatu yang lain di rumah mama dan papa tirinya. Rumah itu terlihat ramai dengan beberapa mobil terparkir. Namun, ia tetap memasuki rumah bernuansa klasik itu.
"Selamat malam... " sapa Dea saat melewati ruang keluarga.
Semua mata tertuju kepadanya. Dini lalu berdiri sambil mengulas senyuman, "Dea sini dulu."
Dea menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap ke arah mamanya, sekilas ia melirik beberapa empat orang pemuda sedang duduk berjajar di depan papa tirinya.
"Perkenalkan ini anak mama, maaf baru mengenalkan pada kalian, selama ini Dea tinggal bersama nenek dari papanya di Kalimantan. Setelah neneknya meninggal mama harus membawa Dea ke sini, karena papa Dea sudah lama meninggal jadi cuma mama yang Dea punya sekarang."
"Dea juga anak papa, kalian anggap Dea sebagai adik kalian juga," kata papa Syam.
Seorang pemuda berdiri berpakaian seragam sebuah sekolah kedinasan mengulurkan tangannya, "perkenalkan dek, aku Harry. Anak papa Syam pertama."
"Dea."
Seorang pemuda lagi berdiri, "Aku Harly!" ucapnya dengan cengkraman tangannya begitu erat.
"Dea."
"Mereka kembar Dea, sejak kecil mereka bagai pinang dibelah dua. Tidak pernah terpisah hingga masuk sekolah perguruan tinggi pun mereka harus bersama," ucap papa Syam.
"Dan, dua orang itu teman-teman kami. Kamu mau kenalan?" tanya Harry sambil menaikkan alisnya.
"Aku Ardan."
"Aku Naga, tapi bukan Nagabonar ya," canda Naga dengan dimple menghias senyumannya seperti penyanyi Afgan.
Dea hanya mengangguk dan memberi senyum tipis pada semuanya.
"Dea sini duduk dekat papa," ajak Syam.
"Aku di sini saja, Pa." tolak Dea dengan lembut.
Sudah satu tahun tinggal bersama mamanya, Dea memang belum bisa akrab dengan papa tirinya. Sekarang ditambah lagi kehadiran dua orang saudara tiri yang sejak kedatangannya selalu menatapnya dengan tatapan... lapar.
Sama halnya dengan tatapan papa Syam ketika hanya berduaan dengan Dea saat mamanya tidak ada di rumah.
"Kami bisa hidup akur Dea, aku dan mamamu bisa bersahabat, meskipun aku mantan istri dari Syam. Aku harap, kamu juga bisa akrab dengan kedua putraku," ucap Bu Dona sambil mengulas senyuman.
"Iya Tante." Dea menganggukkan kepalanya.
"Jangan panggil Tante dong, panggil mama Dona sayang... " Mama meralat ucapanku.
Sejak dulu Dea tidak suka dengan persahabatan mamanya dengan Bu Dona, ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari semua orang dan hanya Dea yang tahu. Namun, Dea tidak bisa berbuat banyak karena saat ini ia masih hidup bergantung pada mama dan juga papa tirinya.
Makan malam berjalan dengan keheningan, hanya denting alat makan terdengar lembut menjadi melodi. Makan malam yang sangat kaku, khususnya bagi Dea. Setelah membantu merapihkan alat makan dan sisa masakan, Dea naik ke lantai dua untuk segera membersihkan diri dan beristirahat.
Di dalam kamar, ia menata kembali isi koper yang akan dibawanya ke jakarta besok lusa. Acara pembukaan Asean games satu Minggu lagi, namun ia harus sampai sebelum acara gladi kotor dan gladi bersih dilaksanakan.
Setelah semua selesai, ia beranjak ke cermin untuk memakai krim wajah dan racikan penghalus kulit yang biasa dibuatkan almarhum neneknya, ramuan khas Kalimantan buatan neneknya sudah turun temurun bermanfaat untuk menghaluskan kulit.
Berjalan ke jendela, Dea melihat kedua Kaka tirinya masih di teras bersama kedua temannya. Harry mengangkat wajahnya ke atas dan melambaikan tangan ke arah Dea. Lalu Ardan dan Harly mengangkat gelas kecil ke arah Dea seakan mengajak Dea untuk cheers jarak jauh. Di meja teras sudah berserakan botol-botol minuman keras dan makanan ringan.
Dea mengalihkan pandangannya ke langit, termenung di pinggir jendela. Dia tersenyum tipis menatap langit yang ditaburi bintang dan rembulan yang menyala dengan bentuk sempurna. "Papa, Ambuy... Dea kangen kalian. Mama sudah bahagia bersama suami barunya, tapi mengapa hati Dea tidak bisa menerimanya, Pa... Mbuy. Dea tidak bisa merasakan kebahagian di sini," ucapnya lirih.
Jam 23.00 Dea baru bisa memejamkan matanya, entah mengapa sejak tadi perasaannya gelisah dan di hantui perasaan was-was yang berlebihan... tidak ia mengerti, bahwa itu adalah sebuah pertanda bahwa musibah terburuk akan ia alami dan akan merubah jalan hidup selanjutnya.
Menjelang pagi tidur Dea terusik dengan gerakan di kasurnya, tubuhnya terasa bergoyang-goyang, di kala matanya masih belum sempurna terbuka. Ia melihat sebuah bayangan begitu dekat dan menindih tubuhnya dengan aroma minuman keras yang khas.
Mata Dea membulat saat ia merasakan kedua tangannya terikat di kepala ranjang dan kakinya ditindih sesuatu. Di depan wajahnya, sebuah kepala terbungkus topeng dengan kedua mata memerah sedang menatapnya dengan tatapan gelap. Dea berteriak, namun mulutnya sudah ditutup lakban dengan ketat.
Airmatanya terus mengalir memohon pertolongan, tatapan matanya terus memohon agar dilepaskan, ia terus berontak, menendang, dan berhasil! Sang pelaku terjungkal jatuh dari ranjang.
Merasa kesal karena bahunya di tendang Dea dengan begitu kencang, pelaku menarik tubuh Dea dengan kasar. Dea terus bergerak agar kakinya tidak dikunci oleh si pelaku, namun semua usahanya gagal.
Pelaku terus memberi cumbuan di sekitar wajahnya, turun ke leher dan dadanya hingga pelaku berhasil meloloskan pakaian yang membungkus bagian bawah Dea dengan begitu mudahnya. Perasaan asing terus timbul seiring dengan rasa marah yang tidak mampu ia luapkan.
Perasaan itu bercampur saling tumpang tindih, antara penolakan yang kuat dengan keinginan yang terasa samar. Dea tidak mengerti mengapa tubuhnya merespon seperti ini, satu hal yang ia tahu. Ia terluka atas pelecehan ini.
Dea sudah kehabisan tenaga untuk melawan. Airmata semakin mengering dengan keberanian yang kian menghilang.
Pelaku berhasil memasukinya dengan paksa, Dea menjerit sekuat tenaga yang tersisa meskipun ia tahu, itu hanyalah sia-sia. Lakban yang membelit di wajahnya tidak mengendur sama sekali. Dea menatap nanar mata yang mengibarkan bendera kemenangan.
Mata itu tertawa diiringi dengan desahan yang terus memburu dengan gerakan tubuhnya yang intens. Tatapan memohon di manik mata Dea bagaikan sebuah pil afrodisiak bagi pelaku, ia semakin mempercepat gerakannya hingga...
Kesadaran Dea menghilang.
Malam itu ada sesuatu yang retak di tubuh dan hatinya, sebuah luka baru yang tumbuh di atas luka yang telah ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments
Dee
Wah, pagi-pagi disuguhi “sarapan” yang bikin dada sesak dan hati panas. 😭
Cerita ini dalem banget... bikin aku ikut ngerasain ketakutan dan keputusasaan Dea.
Gila sih, nulis bagian ini, emosinya kerasa nyata banget.
Semoga ada keadilan buat Dea, karena yang dia alami bukan cuma luka fisik, tapi juga trauma jiwa.
Aduh... perut sih kenyang, tapi hati kosong 😔
Lanjuut...
2025-06-21
2
Dinar Almeera
Carmel macchiato tuhhh bikin adem, tapi episode ini bikin aaaaaaaaaaaaakkkhhhh gak jadi sarapan aku kak
2025-06-21
2
🌞Oma Yeni💝💞
udah dibilangin waspada lah /Cry/ mana orangnya pake topeng, nggak tau siapa itu yg jahat /Scream//Panic/
2025-07-02
1