Akhir pekan tiba dan untuk pertama kalinya dalam seminggu, Vania memutuskan untuk bersantai. Ia butuh jeda dari segala kekacauan. Bersama Marko, mereka menyusuri lorong-lorong pusat perbelanjaan modern yang baru diresmikan di jantung kota. Mall itu penuh cahaya gemerlap, interiornya bergaya futuristik dengan dominasi kaca dan baja, aroma kopi dan parfum mahal berbaur di udara, sementara alunan musik pop kekinian menyemarakkan suasana.
Tujuan mereka sederhana, makan es krim dan cuci mata, melepas stres.
“Lihat, itu ada diskon 70% buat sepatu, mau mampir nggak?” tanya Marko sambil menunjuk etalase toko yang dipenuhi papan promo besar dan lampu-lampu sorot menggoda.
Vania mengangguk kecil. “Boleh, tapi jangan lama-lama. Kita belum makan. Perut gue udah konser dangdut dari tadi.”
Tawa kecil meluncur dari mulut Marko. Tapi tawa itu hanya bertahan sebentar. Begitu mereka berbelok menuju area food court yang terang benderang dengan deretan restoran dan kursi warna-warni, langkah Vania mendadak terhenti. Matanya membelalak dan senyum di wajahnya langsung menguap seperti uap panas di atas panggangan.
Di salah satu meja, duduklah Roni dan Raisa. Mereka tertawa, menyuapi satu sama lain es krim cokelat, seolah dunia tak pernah mengenal luka atau pengkhianatan. Sinar lampu di atas meja memantulkan kilau manis dari sendok di tangan mereka, adegan yang terlalu menjijikkan bagi Vania.
“Vania?” bisik Marko, memperhatikan wajah sahabatnya yang mendadak berubah seperti mendung tebal.
“Balik arah. Sekarang,” bisik Vania cepat, tangannya mencengkeram lengan Marko seperti sedang menyelamatkan diri dari neraka.
Namun langkah mereka tertahan. Raisa sudah menyadari kehadiran mereka. Dengan angkuh dan senyum penuh sindiran, ia berdiri. Suaranya melengking menembus keramaian.
“Eh! Vania! Sini dulu dong!”
Vania menegang. “Cuekin aja, Marko. Ayo jalan.”
Tapi Raisa sudah mendekat, langkahnya seperti model catwalk dengan nada menghina. Roni mengekor dari belakang, tampak kikuk seperti anak sekolah ketahuan bolos.
“Ngapain sih ngumpet-ngumpet? Takut lihat mantan calon ipar bahagia, ya?” ucap Raisa dengan nada menusuk, senyumnya nyinyir seperti garam di luka terbuka.
Vania mendengus, wajahnya merah bukan karena malu, tapi karena amarah. “Gue cuma nggak mau muntah di tempat umum. Ntar petugas cleaning service-nya kasihan.”
Alis Raisa naik, menantang. “Bilangin sama kakakmu itu, si Febi, jangan sok genit lagi sama Roni. Dia tuh udah milik aku sekarang. Suruh dia tau diri.”
Marko melotot. “Genit? Kak Febi? Lu sadar nggak sih siapa yang nyabet tunangan orang kayak maling malam Jumat?”
Vania berdiri tegak, matanya membara, menatap Raisa seolah ingin membakar seluruh egonya. “Lo itu dulu sahabat kakak gue. Sekarang lo kayak racun nyasar, manis di luar, tapi busuk sampai ke akar.”
“APA KATAMU?!” Raisa mengangkat tangan dan bret….dia menjambak rambut Vania dengan brutal.
Vania menjerit, tapi langsung membalas. “DASAR PENGKHIANAT MUNAFIK!!”
Keributan pecah seperti bom kecil di tengah food court. Meja hampir terguling, kursi berhamburan. Orang-orang mulai mengelilingi mereka, beberapa merekam dengan ponsel. Roni berusaha melerai, tapi malah kena dorong dan hampir jatuh ke meja sushi.
Marko tak tinggal diam. Ia lompat ke tengah dan memisahkan dua perempuan yang rambutnya sudah kusut seperti benang ruwet.
“Udah cukup, Vania! Sini!” teriaknya, memegangi Vania yang masih menggeliat seperti harimau kelaparan.
“LEPASIN GUE, MARKOOOOO! GUE MAU CABUT RAMBUTNYA BUAT OLEH-OLEH!!” teriak Vania, tendangannya hampir mengenai kepala Marko.
“Lo mau viral? Sadar diri dikit, woi!” Marko berteriak frustrasi.
Tiba-tiba suara lain menyela. “Pacaran boleh, tapi jangan kayak laga WWE di mall dong. Nggak enak dilihat.”
Keduanya menoleh. Toni berdiri tak jauh dari mereka, menatap dengan ekspresi geli.
“PACARAN PALA LO JUGA!” Vania meledak. “Om-om nyasar! Dasar tukang nimbrung!”
Toni mengangkat tangan tanda damai. “Oke, oke. Gue cabut. Tapi... seru juga sih kalian. Kayak sinetron jam tujuh,” ujarnya sambil tertawa kecil dan berlalu.
Vania mendengus. Ia melotot ke arah Marko. “Kalau tadi lo nggak tahan gue, rambut Raisa udah gue sulap jadi wig!”
Marko menghela napas panjang. “Gue nyelamatin lo dari masuk akun gosip, ngerti?!”
“Gue nggak peduli headline, yang gue peduli itu harga diri!” teriak Vania.
Marko mengusap wajahnya. “Tuhan... kenapa temen gue semua kayak sinetron?”
Meski masih kesal, di dalam hati Vania tahu Marko, seberisik apapun, selalu ada di sisinya.
**
Di Mobil Roni dan Raisa
Setelah keributan itu dibubarkan, Roni dan Raisa kembali ke mobil mereka dengan wajah masam. Roni mengemudi dengan rahang mengeras, sementara Raisa sibuk merapikan rambutnya yang sudah seperti habis di-smoothing paksa.
Mobil melaju pelan meninggalkan parkiran. Udara di dalam kabin lebih tegang dari tali busur yang ditarik penuh.
“Kamu tuh ngapain sih bikin ribut di tempat umum? Itu mall, sa ! Bukan ring tinju!” bentak Roni.
Raisa mendengus. “Oh, jadi sekarang kamu nyalahin aku? Harusnya kamu marah ke si Vania itu! Dia yang duluan ngajak ribut!”
“Kamu yang manas-manasin duluan! Udah tahu situasinya panas, masih juga cari bensin!” balas Roni.
“Karena kamu masih aja baper kalo denger nama Febi! Ngaku aja, kamu belum move on kan?!”
“Ngaco kamu.” Tapi Roni tak bisa menatap langsung ke mata Raisa. Ia tahu tudingan itu tak sepenuhnya salah.
Raisa melipat tangan di dada. “Aku ini cuma pelampiasan buat kamu, kan? Cuma pengganti!”
“RAISA, CUKUP!” Roni membanting setir ke kanan agak kasar. Mobil sempat oleng, membuat Raisa terdiam.
Sunyi menyelimuti perjalanan mereka. Hanya suara radio yang dibiarkan mengalun tanpa didengarkan. Dua jiwa dalam satu mobil, tapi hatinya sudah berjarak ribuan mil.
**
Di Rumah Keluarga Roni
Di ruang tengah rumah yang lumayan mewah bergaya kolonial modern dengan langit-langit tinggi dan lampu gantung kristal, Bu Sekar berjalan mondar-mandir seperti singa betina.
“Anak itu! Nggak tahu malu! Dasar keluarga kampungan! Sudah batal tunangan, masih juga ngejar-ngejar!”
Pak Prabu, yang duduk membaca koran, menurunkannya perlahan dan memijat pelipisnya.
“Dan itu adiknya! Si Vania! Kelakuan kayak preman pasar! Apa nggak malu tuh orangtuanya?”
Pak Prabu menatap istrinya dengan sabar. “Sekar, cukup. Jangan merendahkan orang. Roda itu berputar. Hari ini kita mungkin di atas, besok bisa sebaliknya.”
Bu Sekar tertawa sinis. “Hah! Kalau muter, makin jauh dong mereka dari kita. Keluarga miskin kampung mana bisa bersaing?”
Pak Prabu menatapnya kecewa. “Aku kecewa sama kamu. Dan dengan Roni. Anak kita berselingkuh dari Febi. Dengan sahabatnya sendiri.”
“Alah, Roni bahagia kok sama Raisa. Lagian Raisa lebih elegan dari Febi itu!”
“Elegan bukan dari tas mahal. Tapi dari sikap” jawab Pak Prabu pelan.
Tapi Bu Sekar tak mau mendengar. Suaranya tajam. “Sudahlah! Syukur Roni bisa bebas dari keluarga itu. Febi sekarang tahu rasa, dia kalah telak!”
Pak Prabu hanya memandang langit-langit rumahnya. Hatinya berat. Jika keluarga ini terus seperti ini... entah sampai kapan kehormatan akan bertahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments