BU SEKAR NGAMUK

Siang yang seharusnya tenang mendadak gaduh oleh suara ketukan kasar di pintu rumah keluarga Febi.

TOK! TOK! TOK!

"BUKA PINTUNYA! SAYA TAHU KALIAN DI DALAM! ANITAAA……"

Vaniayang baru pulang sekolah sampai di depan pagar bersama Marko, sahabat laki-lakinya, langsung berhenti melangkah. Keningnya berkerut saat mendengar suara lantang yang tidak asing. Ia menoleh ke arah rumah dengan cepat. “Bentar, itu bukan...”

Sementara itu, ibu Febi, Bu Anita, berjalan tenang ke arah pintu dan membukanya dengan senyum sopan walau jelas wajahnya menyimpan rasa cemas.

Ternyata benar.

Di depan pintu berdiri Bu Sekar, ibunya Roni. Wajah wanita itu merah padam, dengan sorot mata yang membara. Tanpa menunggu basa-basi, ia langsung menerobos masuk ke ruang tamu, menyentakkan tasnya ke sofa.

“INI KELUARGA MACAM APA SIH?  KENAPA KALIAN MEMUTUSKAN PERTUNANGAN SECARA SEPIHAK? MANA TANGGUNG JAWAB KALIAN SETELAH ANAK SAYA DIPERMALUKAN?!”

Bu Anitaterperangah. “Bu, mohon tenang dulu. Ada apa ini?”

“APA?! TENANG? ANAK SAYA DIPUTUSIN BEGITU SAJA OLEH SI FEBI TANPA ALASAN YANG JELAS! SETELAH SELAMA INI DIA MENGANGKAT DERAJAT ANAK KALIAN YANG BUKAN SIAPA-SIAPA!”

Langkah kaki cepat menyusul masuk. Vania yang mendengar kata-kata kasar itu langsung menanggalkan sepatunya dan melesat masuk.

“BU! TENANGLAH, FEBI JUGA PUNYA ALASAN KENAPA MEMUTUSKAN PERTUNANGAN ITU.” ujar Bu Anita mencoba menenangkan.

Namun Bu Sekar malah semakin menjadi-jadi.

“ALASAN? ALASANNYA APA? CEMBURU SAMA Raisa? YA WAJARLAH! LIAT DIRI KALIAN! KELUARGA MISKIN, FEBI ITU CUMA KARYAWAN RENDAHAN! SEMENTARA RAISA ITU CANTIK, KAYA DAN KARIRNYA JAUH LEBIH BAIK! FEBI ITU ENGGAK PANTAS SAMA RONI! HANYA SAYA TERPAKSA AJA KEMARIN KARENA ANAK SAYA KEK KECINTAAN GITU SAMA FEBI. KEK FEBI MELET RONI”

Vaniamendengus tajam dan berdiri di hadapan Bu Sekar dengan tatapan garang. “Saya biasanya sopan sama orang tua. Tapi kalau ibu datang-datang ke rumah saya bawa omongan jahat begitu, saya enggak bisa diam.”

“APA? KAMU NGOMONG APA? ANAK INGUSAN KURANG AJAR!”

“Kurang ajar? Ibu yang datang ke rumah orang terus hina-hina, siapa yang kurang ajar sebenarnya?” balas Vania dengan nada lantang. “Dan FYI ya, bu. Kalau Kak Febi tunangan sama Roni karena ‘diangkat derajatnya’... saya justru kasihan sama Roni. Karena dia baru tahu sekarang bahwa perempuan sekelas kakak saya terlalu berharga buat lelaki kayak dia.”

“BAHASA APA ITU?!” teriak Bu Sekar, wajahnya memerah.

Vaniamelipat tangan di dada. “Dan soal Raisa... dia cantik? Mungkin. Tapi saya rasa dia cuma cantik di luar, busuk di dalam. Karir mapan? Mapan hasil rebutan tunangan orang? Maaf, saya enggak hormat sama orang kayak gitu.”

“SETAN KAU!” Bu Sekar menunjuk Vania dengan mata melotot. “KELUARGA KALIAN  BENAR-BENAR TIDAK TAU TERIMA KASIH. KALIAN AKAN KENA AZAB! KAMU SEMUA AKAN SIAL!”

Vaniatersenyum tipis. “Aamiin, semoga doa buruk ibu balik ke ibu sendiri.”

Bu Sekar

terdiam sejenak, lalu menghambur keluar rumah dengan langkah terburu-buru. “KALIAN AKAN NYESEL SUATU HARI NANTI!” teriaknya sebelum menaiki mobil.

Pintu ditutup. Keheningan menggantung.

Markoyang sejak tadi berdiri kaku di dekat pintu, akhirnya bersuara lirih, “Gue kira drama cuma ada di sinetron. Ini sih... real!”

Vaniameliriknya dengan kesal. “Udah sana pulang dulu. Rumah gue lagi panas. Nanti gosong.”

Markomenelan ludah dan langsung mengangguk. “Noted. Pulang sekarang.”

Setelah Marko pergi, Vania duduk di sebelah ibunya yang tampak letih.

“Ibu nggak apa-apa?” gumam Vania.

Bu Anitamenggeleng dan membelai kepala anak bungsunya itu. “Enggak, Nak. Tapi... Ibu khawatir kalau Febi tau ini, pasti akan semakin sedih.”

**

Di tempat lain, tepatnya di ruang kerjanya yang luas dan elegan, Arkan Wijaya duduk di kursinya dengan wajah serius.

“Toni,” panggilnya tenang.

Seorang pria muda masuk dengan cepat. “Ya, Pak?”

“Aku ingin kamu cari tahu latar belakang seorang staf kita. Febia Putri.”

Tonimengernyit. “Febi, Pak? Maksudnya staf baru yang bagian pemasaran itu?”

Arkanmengangguk.

Tonitampak bingung. “Maaf, Pak. Tapi... kalau boleh tahu, kenapa? Maksud saya, beliau bukan staf penting atau terlibat kasus apa pun, kan?”

Arkan

menatap Toni lekat-lekat. “Apakah aku harus selalu memberi alasan untuk setiap perintah, Ton?”

Toni langsung berdiri tegak. “Tidak, Pak! Siap laksanakan!”

Tapi sebelum keluar, rasa penasarannya tak bisa dibendung. “Pak... maafkan saya lancang. Tapi, apa beliau pernah... melakukan sesuatu?”

Arkanmenghela napas dan berdiri, memandang ke luar jendela.

“Dia hanya... menarik perhatian,” gumamnya pelan.

“Menarik perhatian?” ulang Toni, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar.

Arkan hanya mengangguk samar. “Cari tahu saja, Ton. Keluarganya, latar belakang pendidikan, kondisi keuangan, hubungan masa lalu. Aku ingin tahu semuanya. Tapi diam-diam.”

Toni melangkah pergi dengan kepala masih dipenuhi tanda tanya.

**

Malam itu, Febi duduk termenung di kamarnya. Ia memang tidak mendengar langsung pertikaian tadi siang, tapi tatapan cemas ibunya dan gerutuan Vania cukup jadi bukti bahwa seseorang, kemungkinan besar Bu Sekar sudah membuat kekacauan.

Hatinya lelah.

Namun, di luar sana, seorang pria bernama Arkan diam-diam tengah membuka lembar demi lembar kisahnya.

Dan dunia Febi yang selama ini hanya tentang luka dan pengkhianatan tanpa ia sadari, sedang bersiap menghadirkan alur tak terduga berikutnya.

Keesokan harinya, suasana kantor kembali berjalan seperti biasa. Tapi bagi Febi, hatinya tidak tenang. Masih teringat jelas ketika semalam, Vania bercerita soal kedatangan Bu Sekar yang mengamuk ke rumah. Ia merasa muak. Bahkan luka yang belum sepenuhnya kering, kembali diiris dari sisi yang berbeda.

Pulang kerja, Febi menunggu bus di halte depan kantor. Langit mulai menggelap, angin sore berhembus lembut. Ia memeluk tasnya, mencoba mengatur napas.

“Febi!”

Suara yang sangat dikenalnya membuat langkahnya terhenti.

Ia menoleh. Roni.

Pria itu datang dengan wajah lelah dan penuh harap. “Aku cuma butuh waktu sebentar, tolong…”

Febimenggeleng. “Kenapa kamu datang ke sini?”

“Aku… aku nyesel, Feb. Tolong kasih aku satu kesempatan lagi. Kita bisa memperbaiki semuanya. Aku… aku bodoh. Aku khilaf,” Roni memohon dengan mata memerah.

Febimenghela napas, suaranya dingin. “Kamu khilaf? Di ranjang hotel? Khilaf yang kamu siapkan sejak sore dan kamu jalani sampai pagi? Itu bukan khilaf, Roni. Itu pilihan.”

Belum sempat Roni menjawab, tiba-tiba suara sepatu hak menghentak lantai halte. Raisa muncul, matanya menyala marah.

“RONI! KAMU MASIH KEJAR DIA?! APA AKU MASIH KURANG?!”

Raisamenghampiri dan langsung menatap tajam ke arah Febi. “Kamu emang dasar perempuan nggak tahu diri! Udah ditinggalin, masih aja muncul!”

Febimendengus. “Lucu ya. Yang rebut tunangan orang malah ngerasa paling benar. Mau sampai mana kamu nyiksa harga diri sendiri, Raisa?”

“DASAR PEREMPUAN…..”

“Sudah cukup!” Febi menyela. “Jangan bawa-bawa aku ke drama rendahan ini.”

Dari kejauhan, di balik kaca lantai dua kantor, Arkan berdiri memperhatikan kejadian itu. Tatapannya gelap, rahangnya mengeras. Saat melihat Febi dimaki, tangannya mengepal kuat.

Entah kenapa, hatinya terasa tidak tenang.

Dan amarah itu… mulai menyala.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!