Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam

Pagi di Dusun Koto Lamo tidak seperti pagi kota. Tak ada suara kendaraan, hanya lenguhan kerbau, langkah orang menimba air, dan suara ayam yang terdengar seperti konser tak beraturan. Matahari baru setinggi daun pisang, tapi hawa lembab dari tanah masih belum hilang sejak semalam.

Di dalam rumah kayu tua warisan orang tuanya, Reno terbangun dengan kepala berat dan napas masih tak teratur. Malam itu masih membekas jelas di benaknya. Sosok kepala melayang, rambut panjang, usus yang bergelantungan—semuanya seperti potongan mimpi buruk yang tak mau pergi.

Reno meneguk air putih dari botol di sebelah kasur. Tangan kirinya gemetar. Tapi ia mencoba bersikap biasa. Ia tak mau terlihat lemah oleh dirinya sendiri.

"Mungkin itu cuma halusinasi karena kecapekan," gumamnya, meski suara dalam hatinya berkata lain.

Tiba-tiba, dari luar jendela terdengar suara orang bernyanyi...

"Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak! Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak!"

Reno mengerutkan dahi.

"Kalau kau suka hati... mari kita ke warung, beli kopi sama donat, biar hidup tak murung!"

"Apaan sih..." Reno berjalan ke jendela, mengintip keluar.

Tampak seorang pria dengan topi koboi mainan, kaos kuning ngejreng bertuliskan "Anti Miskin Club", dan celana sobek-sobek sampai lutut, berdiri sambil membawa kantong plastik besar. Ia menatap rumah Reno, lalu tiba-tiba berseru:

"WOY! RENOOO!! HIDUP LAGI KAU YA, HAAAH?!"

Reno tertegun.

"...Ajo?"

"SIAPAAA LAGI KALAU BUKAN AKUUU! HAHAHAHA!"

Pria itu adalah Ajo Randi, teman masa kecil Reno. Kalau Reno dulu dikenal pendiam dan kutu buku, Ajo adalah kebalikannya. Gokil, suka ngelawak, dan seolah tak pernah kenal malu. Mereka sempat sangat akrab sebelum Reno pindah ke kota setelah SMP. Ajo tetap di dusun, mengurus warung kelontong warisan orang tuanya.

Reno membuka pintu dan berdiri di tangga.

"Astaga, Ajo. Kau masih hidup rupanya."

"Loh, kok nanya gitu? Memangnya aku hantu? Ihh... serem ah!"

"Ya, siapa tahu. Di sini, hantu kan bisa nyanyi juga." Reno setengah bercanda, setengah serius.

Ajo naik ke tangga, lalu menepuk pundak Reno.

"Kau ni ya, udah lama nggak pulang, langsung muka muram gitu. Kayak orang baru nyium bangkai!"

"Lebih parah, mungkin," gumam Reno, tapi tak ingin menjelaskan lebih jauh. Ia belum yakin cerita tentang kepala melayang itu bisa diceritakan tanpa terdengar gila.

"Masuklah. Kita ngopi dulu," ajak Reno.

"Wah, nggak bisa. Kopinya aku yang bawa nih, satu plastik. Tapi air panasnya minta ya."

Reno tertawa kecil. Meski duniannya semalam seolah berantakan, kehadiran Ajo memberikan sedikit cahaya di sudut pikiran gelapnya.

Beberapa menit kemudian, mereka duduk di beranda rumah dengan dua gelas kopi tubruk dan sepiring kerupuk kulit.

"Dusun ini masih aja begini ya. Bau tanah, suara jangkrik, dan... ya, serasa nggak ada yang berubah," kata Reno.

"Eh, jangan salah. Sekarang sinyal udah 4G loh. Kadang kalau angin dari selatan, malah bisa 5G, tapi harus berdiri di atas genteng sambil megang panci."

Reno nyengir.

"Kau tetap nggak berubah ya, Jo."

"Lah, kalau berubah nanti malah jadi buaya. Janganlah. Cukuplah buaya itu di kota aja."

Obrolan mereka berlanjut ringan. Tentang masa kecil, tentang orang tua mereka, dan kabar-kabar warga dusun. Tapi perlahan, arah pembicaraan mengarah ke hal-hal yang lebih gelap.

"Eh, Ren," kata Ajo tiba-tiba, "Semalam kau tidur nyenyak?"

Reno menoleh pelan.

"Nggak juga. Kenapa?"

"Soalnya semalam... aku juga nggak bisa tidur. Ada yang aneh."

"Aneh gimana?"

Ajo menatap kosong ke arah kebun belakang.

"Anjing-anjing menggonggong nggak berhenti. Terus... aku lihat bayangan terbang di atas rumah Pak Anto."

"Kepala...?" Reno langsung refleks.

Ajo menatap Reno dengan cepat. Keduanya diam.

"Kau juga liat?" tanya Ajo setengah berbisik.

Reno mengangguk pelan.

"Tapi aku nggak yakin. Mungkin cuma lelah, mataku kabur."

Ajo mengambil napas panjang.

"Reno... aku nggak tahu kau masih percaya sama hal-hal kayak begini. Tapi di dusun ini, orang-orang tua bilang... 'kalau malam sunyi dan anjing menggonggong panjang, jangan keluar rumah. Bisa-bisa pulang tinggal kepala.'"

Suasana mendadak sunyi. Angin lewat, membuat suara dedaunan berbisik.

"Kau tahu Palasik, kan?" tanya Ajo lagi.

Reno mengangguk. "Dulu cuma cerita nenek. Buat nakut-nakutin anak-anak."

"Iya, tapi beberapa tahun belakangan... banyak kejadian aneh. Ibu hamil keguguran, bayi lahir prematur dan meninggal tanpa sebab. Nggak semua cerita masuk akal, Ren. Tapi kejadian-kejadiannya nyata."

Reno menatap kopi yang mulai mendingin.

"Aku nggak tahu harus percaya atau tidak. Tapi kalau yang kulihat semalam itu nyata... kita dalam bahaya, Jo."

Ajo memukul pahanya sendiri.

"Makanya! Kau balik pas waktu yang... bisa dibilang buruk. Tapi ya... juga bisa jadi waktu yang tepat."

"Maksudmu?"

Ajo menatap Reno dengan senyum tipis.

"Karena kita bakal nyari tahu bareng. Kita berdua. Kayak dulu waktu nyari kodok raksasa di rawa-rawa."

Reno tertawa lepas. Suara tawa yang langka setelah sekian tahun.

"Itu kodok raksasa ternyata cuma ember rusak."

"Ya! Tapi petualangannya yang keren! Sekarang kita hadapi Palasik, kepala beterbangan, usus menjuntai... Tapi jangan takut. Karena aku, Ajo Randi, anak muda paling ganteng se-Koto Lamo, siap melindungimu!"

"Dengan gayamu itu? Yang lari duluan kalau lihat cacing?"

"Eh, itu cacingnya besar banget, Ren! Panjangnya segini!" Ajo menunjukkan ukuran sepanjang lengan.

Tawa kembali meledak di antara mereka. Untuk sesaat, seolah dusun ini hanyalah dusun biasa. Tanpa kepala beterbangan. Tanpa suara ketukan dari dinding.

Tapi saat sore mulai menjelang dan bayangan matahari mulai memanjang di tanah, Reno kembali teringat—malam akan datang. Dan malam di Dusun Koto Lamo... bukan malam biasa.

Malam itu datang lebih cepat dari biasanya. Langit gelap tanpa bulan, hanya bintang yang tersebar jarang seperti biji-biji jagung tercecer. Rumah kayu peninggalan orang tua Reno berdiri sendirian di tengah kebun yang sebagian sudah jadi semak-semak liar.

Reno berdiri di ambang pintu, memandang gelap yang mulai merayap. Suara jangkrik nyaring, dan dari kejauhan kadang terdengar lolongan anjing yang membuat bulu kuduk berdiri. Di sebelahnya, Ajo sudah mulai sibuk dengan termos air panas dan gelas kopi.

"Ren, kalau malam begini jangan terlalu mikir yang aneh-aneh. Coba kau dengar suara malam—tenang, hening, nyenyak. Ini suara dusun yang asli. Bukan dusun versi sinetron yang penuh teriakan dan rebutan warisan."

Reno hanya melirik, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. Ajo, dengan segala kelucuannya, seperti bisa membuat malam menjadi lebih ringan.

"Tapi serius, Jo. Aku nggak bisa tidur tadi malam. Tiap aku pejam, aku selalu dengar suara... seperti gesekan sesuatu dari dinding kamar. Kayak... kuku."

Ajo mendadak diam.

"Kamar yang mana?" tanyanya pelan.

"Kamar lama ayah."

"Ah... itu kamar yang sebelah belakang, kan? Yang langsung menghadap ke semak bambu?"

Reno mengangguk.

Ajo meletakkan gelas kopinya, lalu berdiri dan menatap ke arah rumah.

"Ren, ada hal yang aku belum sempat bilang. Sejak kau pindah ke kota, rumah ini sebenarnya nggak pernah benar-benar kosong. Maksudku... kadang ada yang bilang melihat cahaya dari jendela belakang. Kadang suara-suara. Tapi orang kampung nggak ada yang berani masuk. Mereka percaya rumah ini masih dijaga. Atau... ditempati."

"Ditempati...?"

Ajo mengangguk pelan.

"Ada yang bilang, setelah ibumu meninggal, arwahnya tak pernah benar-benar pergi. Ada juga yang bilang... Palasik bisa hinggap di rumah yang ditinggalkan. Mereka butuh tempat gelap, sunyi, dan... beraroma darah."

Reno memandang rumah itu dengan pandangan kosong. Ia tak tahu apakah harus percaya atau tidak. Tapi fakta bahwa malam ini ia akan tidur di rumah itu lagi, membuatnya sedikit gemetar.

Malam semakin larut. Ajo memutuskan untuk bermalam di rumah Reno, meski dengan alasan yang dibuat-buat.

"Bukan karena takut loh ya. Ini murni demi solidaritas! Aku nggak mau kau kesepian kayak tokoh utama film Korea."

Mereka akhirnya tidur di ruang tengah, membentang kasur lipat dan menyandarkan badan ke dinding.

Sekitar pukul dua dini hari, Reno terbangun. Bukan karena mimpi, tapi karena suara.

“Krekk... krek... krek...”

Suara itu seperti gesekan kuku panjang di dinding kayu. Perlahan. Lalu hening. Lalu muncul lagi.

Reno membuka mata. Ajo masih tertidur, bahkan mulutnya terbuka, mengeluarkan dengkuran yang entah mirip apa.

Reno bangkit perlahan, mengambil senter kecil dari meja. Ia berdiri dan berjalan mengendap menuju dinding yang tadi terdengar bunyi.

Tiba-tiba...

TOK... TOK... TOK...

Suara ketukan dari dinding. Tiga kali. Jelas. Pelan, tapi tajam.

Reno menahan napas.

TOK... TOK...

Dua ketukan lagi. Kali ini dari sisi lain dinding.

Ia menyorotkan senter ke sana. Tidak ada apa-apa.

Kemudian terdengar bisikan. Sangat pelan, seperti suara yang merayap di dalam telinga.

"Pulangkan... pulangkan..."

Reno mundur perlahan. Matanya membelalak. Suara itu bukan dari luar... tapi dari dalam dinding.

Tiba-tiba terdengar suara keras...

"WOOY! ADA APA INI?!" Ajo bangun sambil panik, masih dengan rambut acak-acakan dan sarung yang hampir melorot.

Reno menoleh. Ia menunjuk dinding.

"Ada... suara dari situ... kayak ada yang minta dipulangkan."

Ajo mendekat, menempelkan telinganya ke dinding. Ia diam beberapa detik, lalu melompat mundur dengan ekspresi kaget.

"Ren... sumpah ya, itu suara siapa? Aku denger. Serius denger!"

Tiba-tiba lampu di ruang tengah berkedip—sekali, dua kali, lalu mati total.

Reno dan Ajo hanya bisa saling menatap dalam gelap. Detik itu, suara dari dinding kembali muncul, kali ini jelas dan parau:

"JANGAN DIUSIK..."

Kemudian, dari atap terdengar bunyi berat seperti sesuatu yang merayap. Pelan. Tapi jelas. Disusul oleh suara seperti napas... atau desahan panjang.

“Hhhhkkkkkkkk...”

Ajo merapat ke Reno.

"Bro... boleh peluk nggak? Demi Tuhan ini bukan waktunya jaga gengsi."

Reno mencoba tetap tenang. Ia meraih senter dan menyorotkan ke atas.

Tak ada apa-apa. Tapi bayangan di dinding... menunjukkan sesuatu melayang di langit-langit.

Sesuatu... tanpa tubuh.

Terpopuler

Comments

Yuli a

Yuli a

ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭

2025-06-21

1

Siti Yatmi

Siti Yatmi

ih....takut....

2025-06-20

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2 Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3 Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4 Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5 Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6 Bab 6 Tanda dari Langit
7 Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8 Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9 Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10 Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11 Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12 Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13 Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14 Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15 Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16 Bab 16 Malam di Koto Baru
17 Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18 Bab 18 Cahaya di ujung awan
19 Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20 Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21 Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22 Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23 Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24 Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25 Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26 Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27 Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28 Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29 Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30 Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31 Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32 Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33 Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34 Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35 Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36 Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37 Bab 37 – Langkah Pulang
38 Bab 38 – Malam Terpanjang
39 Bab 39 – Tanda dari Langit
40 Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41 Bab 41 – Pasar yang Hilang
Episodes

Updated 41 Episodes

1
Bab 1 – Suara dari Dinding Bambu
2
Bab 2 – Si Gokil Datang, Tapi Jangan Malam-Malam
3
Bab 3 – Suara dari Sumur Buta
4
Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
5
Bab 5 Jejak ke Ujung Desa
6
Bab 6 Tanda dari Langit
7
Bab 7Bayi di Bawah Akar Beringin
8
Bab 8 Bau Menyan dari Bukit Merundung
9
Bab 9 Tuan Guling, Penjaga Tanah Terlupakan
10
Bab 10 Lumbung yang Berdarah Dingin
11
Bab 11 Langkah Pertama ke Tanah Mati
12
Bab 12 Kedatangan Si Dukun Nyentrik
13
Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata
14
Bab 14 Tanda di Balik Bambu Kuning
15
Bab 15 Kuburan di Lereng Tandikek
16
Bab 16 Malam di Koto Baru
17
Bab 17 Kabut di Ladang Siriah
18
Bab 18 Cahaya di ujung awan
19
Bab 19 Bayangan dari Masa Lalu
20
Bab 20 Lembah Waktu yang Terlupakan
21
Bab 21 Dusun Tersesat di Masa Silam
22
Bab 22 Surau Tua di Balik Bukit
23
Bab 23 Kenangan yang Dikorbankan
24
Bab 24 – Riak di Sungai Mayat, Tali Pocong yang Terputus
25
Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
26
Bab 26 – Cerita di Balik Tunggul Mati
27
Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang
28
Bab 28 – Jeritan di Sawah Tabing
29
Bab 29 – Tangisan dari Lubang Tua, Riak di Danau Lamo
30
Bab 30 – Jirat di Ladang Sunyi
31
Bab 31 – Bayang di Ladang Singkong
32
Bab 32 – Aral di Simpang Tiga
33
Bab 33 – Bayang-bayang di Rimba Sialang
34
Bab 34 – Jejak di Bawah Jembatan Tua
35
Bab 35 – Suara dari Sumur Tua
36
Bab 36 – Pasir Hitam Pasisia
37
Bab 37 – Langkah Pulang
38
Bab 38 – Malam Terpanjang
39
Bab 39 – Tanda dari Langit
40
Bab 40 – Nyala Api dari Timur
41
Bab 41 – Pasar yang Hilang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!