istana yang membunyikan dosa

Lian hua
Lian hua
Keesokan harinya, Lian Hua duduk di tepi sumur tua di belakang kediaman Nenek Wang. Matanya menatap air, tapi pikirannya melayang pada benang-benang cahaya dan wanita bernama Mo Qingxue. Lian Hua: “Kalau benang itu adalah takdir... lalu sejak kapan aku sudah terjerat olehnya?”
Lian hua
Lian hua
(Suara langkah mendekat perlahan, lalu suara lembut terdengar di belakang Lian Hua)
Nenek wang
Nenek wang
Nenek Wang: “Anak itu, Jing Yi... dia pergi pagi-pagi sekali. Katanya dia harus melapor pada seseorang yang lebih tinggi.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (tanpa menoleh, masih menatap air sumur) “Dia terluka cukup parah... tapi masih memilih pergi tanpa bilang apa-apa padaku.”
Nenek wang
Nenek wang
Nenek Wang: (berjongkok di samping Lian Hua, suara pelan) “Anak seperti dia tak bisa tinggal lama di tempat kotor seperti ini. Dunia di atas sana memanggilnya… sama seperti sekarang memanggilmu.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (berbisik, nyaris tak terdengar) “Aku belum siap, Nek. Aku bahkan tak tahu siapa sebenarnya aku…”
Nenek wang
Nenek wang
Nenek Wang: (menghela napas panjang) “Kadang dunia tak menunggu kita siap, Lian Hua. Kadang... ia hanya membuka pintu, dan memaksamu melangkah masuk.”
pengawal istana
pengawal istana
Tiba-tiba, suara ketukan keras di gerbang kayu menggema, disusul suara berat seorang pria. Pengawal Istana: “Lian Hua! Atas perintah Istana Utara, kau diminta hadir di Aula Pendeta Langit! Sekarang juga!”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (berdiri perlahan, wajahnya tegang) “Aula... Pendeta Langit? Kenapa istana memanggilku?”
pengawal istana
pengawal istana
Pengawal Istana: (dengan nada datar, tanpa ekspresi) “Kami hanya menjalankan perintah. Jangan buat kami menjemputmu dengan paksa.”
Nenek wang
Nenek wang
Nenek Wang: (berdiri di depan Lian Hua, tatapannya tajam) “Dia ikut karena keinginannya sendiri, bukan karena ancaman kalian. Kalian pikir istana bisa main ambil anak sembarangan?”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (menyentuh lengan Nenek Wang dengan lembut) “Tak apa, Nek... Aku akan pergi. Aku juga ingin tahu... kenapa mereka tiba-tiba mencariku.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua melangkah perlahan menuju kereta istana yang sederhana namun dijaga ketat. Hatinya penuh pertanyaan, tapi tatapannya tegas. Lian Hua: (dalam hati) “Aku tak akan lari. Kalau ini awal dari takdirku… maka biarlah aku menghadapinya.”
Lian hua
Lian hua
Perjalanan menuju Istana Utara memakan waktu setengah hari. Di sepanjang jalan, Lian Hua melihat tembok-tembok tinggi yang menutupi langit, dan lambang naga putih yang tergambar di gerbang utama. Sesampainya di dalam, ia langsung dibawa ke Aula Pendeta Langit, tempat bersemayamnya para penafsir takdir.
penjaga aula
penjaga aula
Penjaga Aula: “Berlutut. Pendeta Langit akan segera muncul.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (berdiri tegak, menolak berlutut) “Aku datang karena dipanggil, bukan karena aku hamba. Jika mereka ingin bicara, aku akan dengarkan… tapi bukan dengan lututku di lantai.”
pendeta langit
pendeta langit
(Suara lembut namun penuh wibawa terdengar dari balik tirai putih yang menggantung di ujung aula) Pendeta Langit: “Hm... Tegas dan berani. Seperti yang dikatakan Jing Yi. Kau memang berbeda dari yang lainnya, Lian Hua.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (memicingkan mata, mencoba menembus tirai) “Kalau sudah tahu siapa aku, maka katakan langsung. Apa yang kalian inginkan dariku?”
pendeta langit
pendeta langit
Pendeta Langit: (dengan suara pelan namun menggema ke seluruh ruangan) “Kami ingin tahu… dari mana asal cahaya di tubuhmu. Cahaya yang bahkan langit sendiri sudah lama lupakan.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (menggeleng pelan, bingung) “Aku tak tahu apa-apa tentang cahaya itu… Aku hanya melihatnya, mengikuti arahannya. Tapi aku tak pernah memintanya.”
pendeta langit
pendeta langit
Pendeta Langit: “Justru karena kau tak memintanya, maka ia datang padamu. Cahaya takdir tidak memilih yang kuat… tapi yang kosong. Dan kau, Lian Hua, adalah wadah yang belum ditentukan.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (suara mulai bergetar) “Kalau begitu… apa yang akan kalian lakukan padaku? Jadikan aku alat? Atau singkirkan sebelum aku tumbuh jadi ancaman?”
pendeta langit
pendeta langit
Pendeta Langit: “Bukan kami yang memutuskan. Tapi dunia. Kami hanya pembaca naskahnya... Kau yang akan menulis akhirnya.” (Tirai perlahan terbuka, dan cahaya lembut menyinari wajah sang Pendeta—seorang lelaki tua dengan mata perak dan simbol bintang di dahinya.) Pendeta Langit: “Mulai hari ini, kau akan diawasi… dilatih… dan diuji. Sampai cahaya dalam dirimu memilih jalannya sendiri.”
Lian hua
Lian hua
Lian Hua: (diam sesaat, lalu mengangguk perlahan) “Baik. Tapi ingat satu hal... Jika aku harus memilih antara terang dan gelap, maka akulah yang akan menentukan cahayanya.”
pendeta langit
pendeta langit
Pendeta Langit: (tersenyum tipis, suara tenang) “Itulah sebabnya kami membawamu ke sini, Lian Hua. Karena di antara dua cahaya… hanya satu yang bisa menjadi matahari. Dan yang lain, akan menjadi bayangan.”
author???
author???
end episode 2 Di langit senja Istana Utara, dua burung gagak terbang berlawanan arah—satu menuju timur, satu lagi ke barat. Sementara itu, di kedalaman istana, cahaya-cahaya kecil mulai berkumpul... seolah bersiap menyambut sesuatu yang lebih besar. Takdir telah mulai bergerak. Dan di tengahnya, berdiri seorang gadis dari gang kumuh yang kini menatap langit, tak lagi dengan ketakutan—tapi dengan tekad.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!