Hujan deras membasahi bumi malam itu. Di rumah Pak Lurah, suasana tegang menyelimuti ruangan yang diterangi lampu petromaks. Teresia duduk menunduk, menahan isak tangisnya. Rambutnya yang basah menempel di pipi, dan bajunya sudah kusut bercampur lumpur. Arga duduk di sampingnya, wajahnya pucat, matanya tak sanggup memandang warga yang berkumpul di dalam rumah itu.
Pak Lurah menarik napas panjang, menatap kedua anak muda itu dengan mata penuh pertimbangan.
“Kita semua tahu aturan di desa ini. Kalian berdua ketahuan berduaan di tempat gelap, di bawah hujan pula. Tidak ada jalan lain. Malam ini juga kalian harus menikah.”
“Pak, kami nggak ngapa-ngapain! Saya cuma nolongin Mbak ini yang jatuh di sawah!” suara Arga bergetar, berusaha meyakinkan semua orang.
Teresia menatap penuh harap.
“Iya, Pak. Saya terjatuh, dan Arga menolong. Tolong percaya pada kami...”
Namun warga sudah terlanjur menaruh curiga. Bisik-bisik terus terdengar di sudut ruangan.
“Jangan-jangan memang ada apa-apa...”
“Nama baik desa ini harus dijaga...”
Pak Lurah memutuskan.
“Cukup. Warga sudah berkumpul. Tidak ada waktu menunggu pagi. Kita undang Pak Kiai sekarang. Malam ini kalian menikah, biar besok tak ada fitnah.”
Air mata Teresia jatuh makin deras, bercampur dengan air hujan yang menetes dari ujung rambutnya. Arga memejamkan mata, pasrah dengan keadaan yang menimpa dirinya dan gadis asing itu.
Pak Kiai datang tak lama kemudian, membawa kitab dan sorban. Beberapa warga menjadi saksi. Di ruang tamu rumah Pak Lurah, di antara bau tanah basah dan suara hujan, prosesi ijab kabul digelar.
Dengan tangan gemetar, Arga mengucapkan kalimat sakral:
“Saya terima nikahnya Teresia binti adrian dengan mas kawin seperangkat alat salat dibayar tunai.”
Hening sejenak, lalu suara saksi dan warga serempak menjawab:
“Sah! Sah! Sah!”
Teresia menangis makin keras, hatinya remuk. Pernikahan impiannya bukan begini yang dia bayangkan. Sementara itu, Arga hanya bisa menatap lantai, menyembunyikan rasa bersalah dan bingung di dadanya.
Setelah akad selesai, warga perlahan membubarkan diri. Pak Lurah menepuk pundak Arga.
“Arga, ini ujian. Jaga istrimu baik-baik. Jangan biarkan fitnah menyebar lebih jauh.”
Arga hanya mengangguk pelan. Ia menatap Teresia, lalu berkata lirih, “Ayo kita pulang.”
Mereka berjalan pulang di bawah rintik hujan yang mulai reda. Rumah Arga yang sederhana menyambut mereka. Dinding kayu yang lapuk, atap seng yang meneteskan sisa hujan, dan suasana sepi menemani langkah mereka masuk ke dalam.
Di dalam rumah, suasana makin canggung. Arga mencoba berbicara, suaranya pelan.
“Mbak... bajumu basah, mandi dulu aja. Nanti pakai baju aku ya. Aku ada kaos oblong sama celana santai. Maaf kalau nggak layak…”
Teresia mengangguk tanpa kata. Arga mengambil baju bersihnya, lalu memberikannya pada Teresia.
“Ini... maaf seadanya.”
Setelah Teresia masuk ke kamar mandi, Arga duduk di kursi kayunya, menunduk memikirkan nasib. Tak lama, Teresia keluar dari kamar mandi. Kaos oblong kebesaran itu menutupi tubuhnya, dan celana santai Arga yang kedodoran membuat wajahnya semakin polos dan lugu. Arga terpaku sejenak — betapa cantiknya perempuan itu, meski hanya dengan baju lusuh.
Arga menunduk lagi, tak berani menatap lama-lama.
“Aku... aku tidur di luar aja. Kamu di kamar.”
Teresia hanya mengangguk. Suaranya masih tercekat. Malam itu mereka tidur di ruang terpisah. Arga menggigil di atas tikar ruang depan, sementara Teresia memandangi langit-langit rumah kayu itu, matanya basah menahan sedih.
Di luar, hujan telah berhenti. Tapi badai di hati mereka baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
nuraeinieni
udah sah tere dan arga
2025-06-21
0
Phoenix Ikki
Ngagetin!
2025-06-16
1