Bab 3 : Malam Berdarah

...•••Selamat Membaca•••...

Jeritan Tamara menggesek langit malam seperti besi karat yang diseret di atas batu. Gelombang suara itu menggema melewati lembah, menikam telinga Maula dan kawan-kawan yang bersembunyi di punggung bukit. Bau lemak terbakar dan darah anyir diseret angin lembap, menusuk hidung hingga memaksa perut mereka mengejang.

Di bawah sana, Pexir mengangkat kapak tinggi-tinggi. Bilah logamnya memantulkan cahaya api unggun, menorehkan kilatan merah tembaga di wajahnya yang dipenuhi jelaga. Satu tebasan mantap.

—krek!—

Membelah lengan Tamara di sendi bahu. Darah memancar pelan, lengket dan gelap, menetes ke tanah yang berdebu.

Penduduk desa bergegas menyongsong potongan daging segar itu, menggigitnya bergantian, seakan antre di meja prasmanan untuk menikmati hidangan makan malam.

Daging dari tangan itu dikunyah perlahan, serat-seratnya putus di antara geraham cokelat kehitaman mereka semua, lalu ditelan bersama erangan puas yang parau.

Jorge menjerit, bukan karena luka di dadanya, melainkan karena menyaksikan horor yang tak bisa ia tolak.

Satu penduduk, seorang perempuan tua dengan gigi ompong—menjejalkan tangan ke luka Jorge dan membuat luka itu semakin lebar dan terbuka, pekikan dan jeritan Jorge menggema yang membuat kelompok pertama hingga kelompok Maula di atas bukit mendengarnya.

Perempuan itu meraba bagian tulang rusuk yang patah sembari tertawa cekikikan, seolah mencari permata di dalam kubangan lumpur.

Dari atas bukit, Maula menggenggam batu hingga jemarinya memutih. Air mata Reba jatuh tanpa suara, bergulir di pipi lalu menghilang di kerah kemeja yang kini lembap oleh keringat dingin.

Entah kenapa, Anna menatap Maula dengan tatapan yang sangat sulit diartikan. Ada sesuatu yang ingin dia utarakan namun dia tahan sebisa mungkin karena rasa takut semakin menggerogoti hatinya.

Carlo, yang masih terikat, berusaha menendang siapa pun yang mendekat. Usaha itu justru membuat kapak Pexir berayun lagi dan tepat mengenai lututnya.

Plak!

Persendian Carlo langsung retak, tulang menembus kulit. Carlo meraung, namun raungan itu cepat tercekik ketika salah satu kanibal memasukkan gagang sendok kayu ke dalam mulutnya dan menahan mulut itu agar tetap terbuka.

Mereka menguliti betis Carlo perlahan, potongan demi potongan, seakan mengiris paduan keju keras. Darah menetes deras, memercik ke tanah dan tercampur abu api unggun, membentuk lumpur kehitaman yang kental.

Tamara masih bernapas namun sudah sangat sekarat, Jorge bisa melihat perlahan kematian Tamara ketika tubuhnya yang tanpa lengan sudah digerogoti oleh para kanibal itu.

Di sisi lain, Carlo juga sama menyedihkannya. Betisnya di kunyah bagai memakan sebuah sup daging. Carlo tak bisa berteriak karena mulutnya tertancap sendok kayu.

Sendok itu membuat mulutnya terbuka lebar. Pexir dan tiga laki-laki lain, menggendong tubuh Carlo ke dekat api unggun lalu menancapkannya ke sebuah tiang besi yang sangat runcing dan tajam.

Carlo ditancapkan ke sana melalui bagian belakangnya hingga tembus ke kepala. Carlo menggelepar bagai ayam yang baru disembelih lalu perlahan diam, menandakan bahwa dia sudah tak selamat menyusul Tamara.

Jorge menangis melihat hal tersebut.

Mereka memutar tubuh Carlo seperti sebuah daging untuk kebab, dan bagian yang masak terkena api, akan mereka iris lalu makan.

...***...

Di puncak bukit, Sofia membenamkan wajah ke bahu Nicholle, menahan isak. Sementara itu Maula meraih ranting kering, menggambar cepat di tanah.

Sketsa denah desa mulai dari gerbang, gudang kayu, menara lonceng kecil yang menjulang di tenggara. Suaranya serak, tetapi tegas.

“Gudang itu,” bisiknya, menunjuk tanda silang. “Aku lihat barel-barel minyak jelantah di dekatnya tadi sore. Kalau kita menyalakannya, api akan menarik perhatian dan membakar sebagian desa.”

“Maksud kamu, kita akan ke gudang itu dan melewati mereka?” tanya Anna dengan nada takut.

“Iya. Tidak ada pilihan lain atau kita akan terkurung di bukit ini selamanya,” sahut Maula.

“Ide bagus, tapi siapa yang ke sana?” Sofia menahan napas, matanya sembab.

“Kelompok kita akan terbelah lagi,” jawab Maula pelan. “Dua orang turun, ciprati minyak ke dinding gudang, sulut api, lalu mundur ke perbukitan barat. Sisa orang tetap mengawasi dari sini, kalau mereka terpancing, kita turun memotong jalan ke gerbang selatan.”

Reba menggeleng panik. “Kita sudah enam orang saja—”

“Dan besok mungkin tinggal tiga kalau kita masih di bukit ini,” potong Maula. “Kita tak punya pilihan.”

Diam yang berat mengendap di antara mereka. Hanya helaan napas dan detak jantung yang terdengar. Akhirnya Nicholle mengangkat tangan, meski tubuhnya gemetar. “Aku ikut kau, Mau.”

Sebuah keberanian sunyi berpindah lewat tatapan mereka. Maula mengangguk sekali, sangat mantap. Ia menyelipkan scalpel lipat kecil—hasil selundupan dari rumah Pexir—ke saku rok ana­-esthesia.

Pisau mungil itu tampak rapuh dibanding kapak di tangan Pexir, tapi tajamnya mencintai nadi seakan pisau jatuh cinta pada sutra.

...***...

Di bawah, pesta memuncak. Tamara kini hanya torso berlumur darah; suara erangnya telah hilang, bersama nyawanya.

Jorge masih mengerang, napas sesak, tetapi detik-detik berikutnya bibirnya terkatup karena kanibal menusukkan lidi bambu ke pangkal tenggorok, menghentikan suara selamanya.

Pexir, seolah maestro orkestra maut, mengangkat jantung Jorge yang baru dicungkil, memamerkannya seperti trofi bercahaya di ujung pergelangan.

Penduduk bersorak, lantas menancapkan jantung itu di batang kayu, menunggu hingga tetes-tetes darah terakhir jatuh sebagai hujan merah yang sakral di antara tarian liar mereka.

Api unggun berkobar lebih tinggi; percikan bara beterbangan, ditiup angin seperti kunang-kunang neraka. Bayangan bergerigi menari-nari di dinding batu rumah-rumah, memantul di genangan darah yang meresap ke tanah liat.

Maula dan Nicholle merayap menuruni bukit, memanfaatkan semak berduri sebagai tirai. Hujan gerimis tiba-tiba turun, membuat tanah licin, menutup suara langkah mereka. Di kejauhan, lampu lentera berayun di tangan penjaga gerbang. Maula menelan ludah, menggenggam scalpel dengan erat. Entah darimana Pexir mendapatkan alat itu, Maula tak peduli.

Setiba di gudang, bau tengik minyak jelantah menampar wajah. Nicholle membuka pintu perlahan mengeluarkan bunyi decit lirih. Barisan drum logam berbaris gelap, penuh cairan kental.

Mereka membuka salah satunya, menciduk pakai kaleng sebelah. Perlahan, mereka menyiram dinding kayu. Tetesan minyak membasahi papan, mengilap yang diguyur gerimis.

“Satu percikan saja, cukup,” bisik Nicholle.

Maula mengeluarkan korek berbatu, jenis sumbu lama. Tangan gemetar, ia memutar roda logam—klik, klik. Percikan menyalakan sumbu; api kecil menari. Hujan tipis tak sanggup mematikannya. Ia menatap Nicholle, lalu meletakkan sumbu ke dinding berlumuran minyak. Api menyebar cepat, merambat seperti akar neraka. Mereka mundur, berlari membungkuk menjauhi gudang.

Detik ke tiga puluh, kobaran pertama meledak, mengirim bola api oranye ke langit malam. Dentuman membelah udara.

Penduduk desa berhamburan, beberapa meninggalkan api unggun dan korban mereka, berteriak panik. Pexir meraung, memerintahkan pengejaran, wajahnya terbasuh cahaya merah menyala dari dua titik yaitu api unggun di barat dan gudang terbakar di timur.

Maula dan Nicholle mengambil kesempatan itu, menelusup di balik pagar kayu yang kini tak terjaga. Dari bukit, Sofia, Reba, dan dua lainnya melihat sinyal kobaran api, mereka bersiap menuruni sisi lain, menuju gerbang selatan.

Namun satu hal meleset, angin berubah. Lidah api dari gudang melompat ke tumpukan jerami, lalu menjilat rumah terdekat. Seluruh desa perlahan jadi labirin api, menerangi malam seolah siang berdarah.

...***...

Maula dan Nicholle berlari memutari pagar. Mereka hampir mencapai gerbang kala bayangan besar meloncat, penjaga bertopeng kulit manusia membuat mereka semua kaget.

Kapaknya terangkat dan langsung menyambar. Nicholle melompat mundur, tapi mata pisau menyayat bahunya. Ia terhuyung, darah hangat mengucur.

Maula menyergap dari samping, scalpel mungilnya menyisik tulang kering penjaga dengan sayatan tipis tapi dalam. Penjaga menjerit, kakinya goyah.

Nicholle, menahan sakit, menubrukkan tubuhnya, menjatuhkan penjaga ke tanah berlumpur. Maula menusuk pangkal leher, sekali, dua kali hingga darah hitam memancar deras. Tubuh penjaga berhenti bergerak, mata kosong menatap langit yang mulai merah.

Nafas terengah, mereka menerobos gerbang. Di belakang, gemuruh api dan pekik haus daging berbaur lalu memudar bersamaan langkah mereka yang menjauh ke hutan pekat.

Hujan turun lebih deras, membasuh darah di tangan Maula tapi tak sanggup mencuci ingatan yang baru saja terukir. Di depannya, malam masih panjang, hutan masih lebat, dan jalan pulang belum tentu ada, namun nyawa yang tersisa menggumpal di dada setiap orang yang berhasil lolos malam ini.

“Mereka bertiga sudah tidak selamat,” seru Anna dengan tangisan pilunya.

...•••Bersambung•••...

Terpopuler

Comments

Wiwit Widia

Wiwit Widia

Novel terkeren sih ini, bikin saya merinding tanpa ada setannya dan emg bener, manusia lebih horor dari setan 😭

2025-06-16

1

Erni Sasa

Erni Sasa

njiir gua bacanya sambil makan😭😭😭😭

2025-07-04

0

Surhej

Surhej

Maula ini anaknya berani, pdhal dia sendiri juga takut tp demi keselamatan bersama dia ayomi

2025-06-16

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Bagaikan Daging Steak
2 Bab 2 : Santapan Malam
3 Bab 3 : Malam Berdarah
4 Bab 4 : Pondok Tempat Istirahat
5 Bab 5 : Daging di Hutan
6 Bab 6 : Bertahan Hidup Malam Ini
7 Bab 7 : Terjatuh
8 Bab 8 : Terungkap Sebab
9 Bab 9 : Titik Lokasi
10 Bab 10 : Pencarian
11 Bab 11 : Jamuan Malam Warga
12 Bab 12 : Kebenarannya
13 Bab 13 : Mendarat
14 Bab 14 : Keyakinan Dia Ada di Hutan Itu
15 Bab 15 : Perlawanan di Dalam Desa
16 Bab 16 : Jantung Neraka
17 Bab 17 : Obsesi Gila
18 Bab 18 : Gendongan yang Menghangatkan
19 Bab 19 : Kehangatan di Balik Badai
20 Bab 20 : Kehangatan di Bawah Selimut Kasmir
21 Bab 21 : Shalat
22 Bab 22 : Demam
23 Bab 23 : Penjagaan Untuk Sang Istri
24 Bab 24 : Penerbangan Pulang
25 Bab 25 : Semua Membaik
26 Bab 26 : Shopping For Maula
27 Bab 27 : Ruang Pengadilan
28 Bab 28 : Undangan Pernikahan
29 Bab 29 : Pelampiasan Rasa Sakit
30 Bab 30 : Perkenalan Keluarga Besan
31 Bab 31 : Perdebatan
32 Bab 32 : Berdiri Untuknya
33 Bab 33 : Menjemput Teman Gosip
34 Bab 34 : Bahaya Untuk Disatukan
35 Bab 35 : Harga Sebuah Nafas
36 Bab 36 : Tak Bisa Lagi Berontak
37 Bab 37 : Rumah Yang Aman
38 Bab 38 : Ungkapan
39 Bab 39 : Penerimaan
40 Bab 40 : Akad
41 Bab 41 : Tempat Pulang Sesungguhnya
42 Bab 42 : Tawa Pagi
43 Bab 43 : Merajuk
44 Bab 44 : Awal Pembalasan
45 Bab 45 : Sakit
46 Bab 46 : Bahagia dan Ancaman
47 Bab 47 : Hadang di Jalan
48 Bab 48 : Pembedahan
49 Bab 49 : Pembedahan yang Dicinta
50 Bab 50 : Selepas Kepergian
51 Bab 51 : Terkena Autoimun
52 Bab 52 : Memburuk
53 Bab 53 : Pilu
54 Bab 54 : Menjadi Pengasuh
55 Bab 55 : Timbulnya Rasa Kasih
56 Bab 56 : Dendam Usai
57 Bab 57 : Bersantai
58 Bab 58 : Penyelidikan Skala Kecil
59 Bab 59 : Merindukanmu
60 Bab 60 : Pernikahan Las Vegas
61 Bab 61 : Tidak Bisa Terima
62 Bab 62 : Ketidaksukaan Maula
63 Bab 63 : Senyummu Itu
64 Bab 64 : Hari Indah Berdua
65 Bab 65 : Kehangatan Malam
66 Bab 66 : Bahagiamu, Bahagiaku
67 Bab 67 : Kembali Ke Madrid
68 Bab 68 : Nihil
69 Bab 69 : Pencapaian Untuk Bangkit
70 Bab 70 : Meninggalkan Madrid
71 Bab 71 : Belajar Menerima
72 Bab 72 : Langit Makkah
73 Bab 73 : Langit Madinah
74 Bab 74 : Kulineran Malam
75 Bab 75 : Kebahagiaan Baru
76 Bab 76 : Menanti Dengan Cinta
77 Bab 77 : Kelahiran
78 Bab 78 : Menyatakan Cinta
79 Bab 79 : Kembali Ke Rumah
80 Bab 80 : Pengampunan dan Hukuman
81 Series #5 | Bab 1 : Perkara Seblak
82 Series #5 | Bab 2 : Eksperimen Gila
83 Series #5 | Bab 3 : Kemungkinan Besar
84 Series #5 | Bab 4 : Situs Itu
85 Series #5 | Bab 5 : Solusi Pahit
86 Series #5 | Bab 6 : Mau Cari Suami Baru
87 Series #5 | Bab 7 : Pesta Menyebalkan
88 Series #5 | Bab 8 : Cerita yang Sama
89 Series #5 | Bab 9 : Malam Tenang
90 Series #5 | Bab 10 : Menemukan Ford
91 Series #5 | Bab 11 : Hilangnya Para Wanita
92 Series #5 | Bab 12 : Melihatnya
Episodes

Updated 92 Episodes

1
Bab 1 : Bagaikan Daging Steak
2
Bab 2 : Santapan Malam
3
Bab 3 : Malam Berdarah
4
Bab 4 : Pondok Tempat Istirahat
5
Bab 5 : Daging di Hutan
6
Bab 6 : Bertahan Hidup Malam Ini
7
Bab 7 : Terjatuh
8
Bab 8 : Terungkap Sebab
9
Bab 9 : Titik Lokasi
10
Bab 10 : Pencarian
11
Bab 11 : Jamuan Malam Warga
12
Bab 12 : Kebenarannya
13
Bab 13 : Mendarat
14
Bab 14 : Keyakinan Dia Ada di Hutan Itu
15
Bab 15 : Perlawanan di Dalam Desa
16
Bab 16 : Jantung Neraka
17
Bab 17 : Obsesi Gila
18
Bab 18 : Gendongan yang Menghangatkan
19
Bab 19 : Kehangatan di Balik Badai
20
Bab 20 : Kehangatan di Bawah Selimut Kasmir
21
Bab 21 : Shalat
22
Bab 22 : Demam
23
Bab 23 : Penjagaan Untuk Sang Istri
24
Bab 24 : Penerbangan Pulang
25
Bab 25 : Semua Membaik
26
Bab 26 : Shopping For Maula
27
Bab 27 : Ruang Pengadilan
28
Bab 28 : Undangan Pernikahan
29
Bab 29 : Pelampiasan Rasa Sakit
30
Bab 30 : Perkenalan Keluarga Besan
31
Bab 31 : Perdebatan
32
Bab 32 : Berdiri Untuknya
33
Bab 33 : Menjemput Teman Gosip
34
Bab 34 : Bahaya Untuk Disatukan
35
Bab 35 : Harga Sebuah Nafas
36
Bab 36 : Tak Bisa Lagi Berontak
37
Bab 37 : Rumah Yang Aman
38
Bab 38 : Ungkapan
39
Bab 39 : Penerimaan
40
Bab 40 : Akad
41
Bab 41 : Tempat Pulang Sesungguhnya
42
Bab 42 : Tawa Pagi
43
Bab 43 : Merajuk
44
Bab 44 : Awal Pembalasan
45
Bab 45 : Sakit
46
Bab 46 : Bahagia dan Ancaman
47
Bab 47 : Hadang di Jalan
48
Bab 48 : Pembedahan
49
Bab 49 : Pembedahan yang Dicinta
50
Bab 50 : Selepas Kepergian
51
Bab 51 : Terkena Autoimun
52
Bab 52 : Memburuk
53
Bab 53 : Pilu
54
Bab 54 : Menjadi Pengasuh
55
Bab 55 : Timbulnya Rasa Kasih
56
Bab 56 : Dendam Usai
57
Bab 57 : Bersantai
58
Bab 58 : Penyelidikan Skala Kecil
59
Bab 59 : Merindukanmu
60
Bab 60 : Pernikahan Las Vegas
61
Bab 61 : Tidak Bisa Terima
62
Bab 62 : Ketidaksukaan Maula
63
Bab 63 : Senyummu Itu
64
Bab 64 : Hari Indah Berdua
65
Bab 65 : Kehangatan Malam
66
Bab 66 : Bahagiamu, Bahagiaku
67
Bab 67 : Kembali Ke Madrid
68
Bab 68 : Nihil
69
Bab 69 : Pencapaian Untuk Bangkit
70
Bab 70 : Meninggalkan Madrid
71
Bab 71 : Belajar Menerima
72
Bab 72 : Langit Makkah
73
Bab 73 : Langit Madinah
74
Bab 74 : Kulineran Malam
75
Bab 75 : Kebahagiaan Baru
76
Bab 76 : Menanti Dengan Cinta
77
Bab 77 : Kelahiran
78
Bab 78 : Menyatakan Cinta
79
Bab 79 : Kembali Ke Rumah
80
Bab 80 : Pengampunan dan Hukuman
81
Series #5 | Bab 1 : Perkara Seblak
82
Series #5 | Bab 2 : Eksperimen Gila
83
Series #5 | Bab 3 : Kemungkinan Besar
84
Series #5 | Bab 4 : Situs Itu
85
Series #5 | Bab 5 : Solusi Pahit
86
Series #5 | Bab 6 : Mau Cari Suami Baru
87
Series #5 | Bab 7 : Pesta Menyebalkan
88
Series #5 | Bab 8 : Cerita yang Sama
89
Series #5 | Bab 9 : Malam Tenang
90
Series #5 | Bab 10 : Menemukan Ford
91
Series #5 | Bab 11 : Hilangnya Para Wanita
92
Series #5 | Bab 12 : Melihatnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!