Ilusi, delusi, imajinasi

Kaki berbalut celana abu abu itu melenggang memasuki ruang tamu yang tampak kosong. Ia berlalu dari sana menuju tangga yang menghubungkan lantai satu dan dua. Baru menapaki beberapa anak tangga langkahnya langsung terhenti. Rungunya menangkap suara yang tak asing lagi di pendengarannya, otomatis ia memutar balik tubuhnya menghadap pemilik suara itu.

"Daniel? " Ujarnya pada sosok lelaki berbalut kemeja putih itu dengan sebuah jas menggantung di lengan kirinya. "Kapan pulang? " Tanyanya sambil turun menapaki anak tangga satu persatu hingga tepat berdiri dihadapan sosok yang ia panggil Daniel itu.

"Sekarang, gak liat? "

Narel tersenyum masam mendengar jawaban dari kakak laki lakinya itu. "Yes, I see. Mata gue masih normal"

Daniel tergelak. "Mata aja yang normal, orangnya abnormal."

Narel mengernyit bingung, sebelah alisnya terangkat meminta penjelasan. "What do you mean?"

"No, forget it. Mending sekarang lo ganti baju dulu. Gue tunggu dimeja makan" Ucap Daniel sambil menepuk pundak Narel kemudian berlalu pergi.

Narel mengedikkan bahu acuh dan berbalik menaiki satu persatu anak tangga dengan santai hingga ia sampai di kamarnya. Dalam 5 menit ia sudah berganti pakaian dan singgah di meja makan. Daniel sudah menunggunya di sana untuk makan siang bersama. Prosesi makan itu berlangsung hening, dentingan sendok yang beradu dengan piring mendominasi suara di sana.

Namun kemudian Daniel mampu mencairkan nya dengan segelintir obrolan. Narel berusaha terlihat antusias dengan pembicaraan itu serta mencoba tertawa bersama Daniel yang terlihat berapi api. Akan tetapi seringkali fokusnya hilang mengarah pada hal lain.

Pada kenyataannya Daniel masih bisa mengartikan kondisi ini. Ia bisa merasakan perubahan yang terjadi pada pribadi Narel yang lebih terlihat murung akhir akhir ini. Bahkan ia menjadi lebih tertutup dari biasanya. Entah mengapa, tapi ia tau ini terjadi setelah kepergian orang tua mereka satu tahun lalu untuk sebuah pekerjaan keluar negri. Narel jadi semakin sulit didekati, semacam ada dinding transparan yang dibuat anak itu untuk membatasi dirinya dengan orang lain seakan menegaskan bahwa ia hidup dalam dunia nya sendiri dan tak ada seorangpun yang bisa mengusiknya.

Daniel sudah kehilangan akal menghadapi anak itu. Biasanya hanya Lena, sang bunda yang mampu mencairkan hati Narel yang beku, namun kini wanita itu tidak bersama mereka. Narel pun semakin sulit didekati dan dimengerti.

Karena orangtuanya yang harus mengelola bisnis di luar negeri Daniel harus mengantikan posisi orang tuanya disini. Mengemban tanggung jawab itu sendiri dalam usianya yang masih muda tentu merupakan beban yang besar baginya. Namun bukan itu yang menjadi permasalahan terbesarnya, Daniel lebih menghawatirkan kondisi adiknya selama ini, ia takut tidak bisa memberikan perhatian yang cukup untuk Narel karena terlalu tenggelam dalam kesibukannya di dunia kerja. Terlebih lagi ia juga mengetahui tentang sebuah geng besar yang telah didirikan Narel. Pergaulan dalam geng seperti itu tentu sangat berbahaya, apalagi geng Narel yang juga sangat terkenal. Jika Daniel tak salah geng adiknya itu menempati urutan kedua setelah Savage yang merupakan kelompok terkenal yang sangat ditakuti. Bahkan mereka lebih menakutkan lagi dari yang terdengar, dengan kelompok inti yang terdiri dari 8 orang remaja SMA, namun jangan remehkan walau mereka hanya anak SMA yang baru menjelang dewasa. 8 orang ini di juluki 'King Of God'. Savage juga setahu Daniel Merupakan musuh terbesar Alert yang berada dibawah pimpinan langsung Narel, mungkin setelah ini orang orang lebih suka menyebutnya Narel si Evil's brother.

Beralih dari itu semua Daniel menghentikan sejenak aktivitas makannya"lo kenapa? Ada masalah? Cerita aja sama gue"ucapnya saat menyadari adiknya itu yang kembali melamun kesekian kalinya.

Narel berdehem pelan, ia beralih dari makanannya dan menatap tak selera. Setelah mendapat seteguk air ia pun bangkit dan menjauh pergi"selesai, gue duluan. "

❄❄

"Gue cabut duluan ya?cowok gue jemput tuh! "

"Gue juga ni, aduh, nyokap bawel banget nyuruh pulang. "

Viora memutar bola matanya malas dan membiarkan kedua temannya itu berlalu didepannya. Mereka memang selalu punya seribu cara untuk menghindari nya saat diminta temani saat ingin ke toko buku seperti saat sekarang ini. Entah sudah ke berapa kalinya ia ditinggal sendirian seperti ini.

Viora melirik jam tangannya sebelum akhirnya memasuki salah satu toko buku terdekat dari sekolahnya. Ia punya waktu 20 menit untuk berada ditempat ini setelah itu ia harus segera pulang sesuai janji pada ibunya. Saat melangkahkan kaki pertama kali yang jelas terasa adalah perubahan suhu yang mencolok. Jika diluar panasnya minta ampun maka di dalam... huuuffftttt..... Sejuuukk... Adem gimana gitu membuat Viora sedikit bisa bernafas bebas disini karena diluar begitu penuh dengan polusi yang tak bersahabat sama sekali dengan pernafasan nya.

Tanpa buang waktu, ia langsung menuju salah satu rak yang di sana berjejer berbagai novel dengan ketebalan beranekaragam. Jari jari lentiknya meneliti satu persatu dari buku itu, hingga pilihannya jatuh pada sebuah buku dengan cover anime yang terlihat cukup menarik. Judulnya terpampang jelas dicetak dengan tulisan warna warni, benar benar full colour. 'Miracle world 'Ejanya dalam hati.

"Miracle world? "

Spontan Viora menoleh saat mendengar suara seseorang yang berbicara tepat di telinganya. Wajah maskulin seputih salju terpaut beberapa senti didepan wajahnya, otomatis mengundang pergerakan kakinya yang melangkah mundur menjaga jarak yang aman. Rambut pirang cowok itu membuat Viora bisa mengingat nya dengan cepat. Ia menggigit bibir bawahnya, nafasnya mendadak tertahan sehingga buku yang ditangannya terjatuh begitu saja. Lalu tanpa pikir panjang ia melangkahkan kakinya untuk segera pergi. Namun tiba tiba tangannya dicekal oleh seseorang membuat ia terkejut dan mendaratkan sebuah tamparan di wajah orang itu sebagai bentuk spontanitasnya.

"BANGSAT!! " maki cowok berambut pirang itu dengan cukup keras sehingga mereka menjadi pusat perhatian dari beberapa pengunjung lainnya. Tamparan Viora menimbulkan rasa perih yang menjalari selsel saraf di pipinya membuat ia merasakan panas dan gatal disaat bersamaan. Tatapan matanya menajam seolah ingin memangsa cewek didepannya saat ini juga.

"S-sorry" Cicit Viora pelan kemudian segera melesat pergi. Ia memacu kakinya berlari disepanjang trotoar yang cukup dipadati para pejalan kaki. Sesekali bahunya bersenggolan dengan pejalan kaki lainnya, namun itu tak mampu menyurutkan langkahnya. Suara bariton terdengar meneriakinya di belakang sana sehingga ia semakin mempercepat larinya. Ia memekik tertahan saat tubuhnya diputar paksa kebelakang.

"Ngapain sih lari larian segala? "

Viora mengerjab ngerjabkan natanya"Narel? "Tanyanya saat menyadari sosok yang berdiri didepannya ini adalah Narel" Beneran Narel? "Tanyanya lagi memastikan dengan kepala di telengkan.

" Ya iyalah, siapa lagi? "Ujar Narel bersungut kesal sekaligus geli melihat ekspresi gadis didepannya. Ia mengamit tangan gadis itu dan membawa nya pergi.

Viora menurut ia mengikuti saja kemana Narel akan membawanya pergi. Ia cukup bersyukur atas kehadiran Narel disini. Namun tenggorokannya mendadak tercekat saat mendapati mata elang seorang cowok berambut pirang tengah mengamati dirinya dengan Narel dari depan sana. Viora menelan ludah lalu melirik Narel yang berjalan santai disampingnya. Tubuhnya mendadak menegang saat mereka akan melalui cowok itu . Ia melirik Narel sekali lagi, cowok itu menampilkan ekspresi datar seolah tak terusik dengan kegelisahan Viora.

Terpaksa Viora menundukkan wajahnya, hingga akhirnya ia benar benar bisa bernafas lega saat sudah memasuki mobil Narel yang terparkir dekat toko buku yang tadi Viora kunjungi.

"Ntar malam ada acara gak? "

"Enggak"

"Ya udah, siap siap jam 8 gue jemput"

❄❄❄

Mata merah, rambut awut awutan, langkah gontai, tubuh lesu bagai tak bernyawa, serta sandal jepit rumahan yang entah dari mana ia dapatkan. Itu pemandangan yang cukup mengerikan, tepatnya mengenaskan di mata Jordy. Pemandangan yang mampu mengalihkan fokusnya dari majalah yang sedang ia baca. Di liriknya jam dinding, sudah pukul delapan malam.

"Dari mana kamu jam segini baru pulang sekolah. Emang sekolah ngadain kelas malam? " Cercanya pada putri bungsunya itu.

Si bungsu alias Liora tak menoleh sedikitpun dan terus berjalan dengan lesu "habis maen" Jawabnya sambil berlalu dan mulai menapaki anak tangga satu satu.

"Oh" Balas Jordy pendek"main melulu, gak ada gunanya. Mending juga kamu belajar biar nilainya gak anjlok. Contoh tuh kakakmu..... "

'Bodo' batin Liora berusaha menulikan telinganya dan mempercepat langkah menuju kamar yang begitu ia idam-idamkan semenjak dari perjalanan pulang tadi. Niatnya untuk segera masuk kamar tertunda saat melihat Viora yang baru keluar kamar.

"Rapi bener. Mau kemana lo? "

"Kepo lu"

"Jawab aja susah amat" Kesal Liora setengah menggumam. Pandangannya mendadak terkunci pada kalung dileher Viora"kalung baru? Dari siapa? Gebetan baru juga ya? "Godanya mulai usil.

" Enggak kok. Narel yang kasih. Dan sekarang gue mau jalan sama dia"jawab Viora dengan tersenyum senyum gak jelas, sampai sampai Liora bergidik ngeri dibuatnya.

"Dih! Sinting lo, ya? "

"Bodo.gue duluan, bhay! "

Liora tertawa kecil melihat kelakuan Viora yang kayak anak kecil. Namun kemudian saat Viora semakin menjauh dan hilang, tawa itu berubah hambar, dan lenyap perlahan lahan. Ia terpaku memandang lurus ke depan. Kepalanya otomatis memutar ulang seluruh kejadian hari ini. Dan sejenak hatinya merasa hampa. Dengan dunianya. Dengan dirinya.

❄❄❄

Narel duduk dibelakang kemudi dengan tenang. Matanya menatap lurus ke depan pada jalanan yang kosong. Suasana begitu hening sehingga ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Ia terhanyut mengikuti irama nadinya menyatu dalam setiap deru nafas yang ia hembuskan hingga kemudian berujung pada kehampaan.

Ia seolah sedang dipenjara dalam mesin waktu yang menampilkan setiap slide slide seperti film yang diputar ulang. Dirinya terjebak dalam bayangan bayangan yang seolah hadir bersamanya saat ini. Terasa nyata, namun hanya sebuah ilusi. Ilusi, delusi dan imajinasi. Entahlah bagaimana lagi menggambarkan nya, semua terlalu rumit untuk dituangkan ke dalam kata kata. Karena semua memang harus lenyap bersama udara yang keluar dalam setiap helaan nafasnya.

Butuh perjalanan panjang baginya untuk mengejar kembali realita. Kini ia berpijak pada masa lalu, kemudian pijakan itu semakin berpindah menjauhi bayangan semu. Menapaki waktu demi waktu dalam rasa yang di ombaki pilu. Lalu kenyataan kembali menyergap nya mengingatkannya bahwa ia baru saja mengulang luka itu lagi. Ia sadar betapa sulitnya untuk kembali, namun melupakan itu lebih sulit lagi.

Kemudian diingatnya alasan mengapa ia disini malam ini 'semua sudah berlalu dan memang harus berlalu'

Batinnya, namun pilu itu datang lagi, sakit itu muncul kembali.

Salah satu pintu mobil terbuka, seorang gadis menduduki jok penumpang di samping Narel. Ia menyapa dengan senyum lembut dan nada ceria yang khas.

Aroma apel manis yang khas segera mengubah ekspetasi Narel. Ia telah menemukan titik terang, keluar dari lorong yang kelam, meski tak selamanya setidaknya untuk sesaat dia juga ingin merasa bahagia yang selalu dirindukan nya. Ia menatap gadis itu, tersenyum dan mengucap sepotong kata sapaan untuk kemudian melajukan mobil menyusuri setiap ruas ruas jalan malam.

❄❄❄

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!