3

Tangan ibunya mencengkeram erat lengan Ulan yang kurus. Tanpa banyak kata lagi, ia menyeret gadis itu menuruni anak tangga tanah yang mengarah ke sisi dapur. Langkahnya cepat dan kasar, seolah menarik karung beras yang dianggap mengganggu, bukan darah daging sendiri.

 “Cepat kau ke belakang! Jangan sampai matahari naik duluan sebelum pekerjaan selesai!”

Ulan tidak melawan. Ia hanya mengikuti langkah kaki ibunya dengan linglung, walau langkahnya sedikit limbung. Pandangannya menelusuri sekeliling rumah reyot itu yang perlahan-lahan terasa begitu familiar dan menyakitkan.

Di sudut pintu dapur, sebuah baskom besar dari besi berkarat tampak penuh dengan pakaian kotor. Kain-kain dekil bertumpuk, beberapa bahkan mulai menimbulkan bau apek yang memualkan. Itu pakaian seluruh anggota keluarga dari kakek, nenek, ayah, ibu, adik laki-lakinya, sampai dirinya sendiri.

Warga desa, hanya memiliki beberapa potong pakaian.Merka jarang mengganti pakaian jika tidak diperlukan.Jika pun mungkin itu dalam durasi satu Minggu atau dua Minggu sekali setelah daki nya menumpuk menjadi hitam dan sebau toilet.

Tapi semua itu, hanya Ulan yang mencuci.

Dulu pun begitu.

 “Setelah makan nanti, cepat ke sungai. Jangan pikir kau bisa duduk santai! Pakaian itu harus bersih sebelum siang. Kalau tidak bersih, awas saja!”

Ulan hanya menunduk. Tapi pikirannya sudah jauh melayang.

Ulan ingat. Ia selalu menjadi orang yang paling terakhir makan, dan yang pertama menyelesaikan pekerjaan.Bangun tidur lebih awal dari ayam dan dia tidur lebih lambat dari anjing, yang lebih menyedihkan dia makan lebih buruk daripada.

Setiap pagi setelah mengisi perut dengan bubur encer dan asinan sayur yang hanya cukup mengisi celah-celah kosong di lambung, ia harus memikul pakaian kotor itu di pundaknya, menuju ke sungai di ujung desa.

Sungai itu sekarang adalah satu-satunya tempat bagi penduduk desa untuk mencuci pakaian dan mandi.

Di tahun-tahun itu, tidak ada satu pun rumah di Desa yang memiliki toilet pribadi, apalagi kamar mandi. Semua orang menggunakan toilet umum desa, yang dibangun dari papan kayu dan bambu. Bentuknya hanya bilik tanpa pintu yang digali ke dalam tanah, berjajar di dekat ladang,jauh dari rumah penduduk agar baunya tidak mengganggu. Tapi tetap saja, baunya selalu tercium, terutama saat angin barat bertiup.

Toilet itu digunakan bersama-sama oleh seluruh desa, dari anak-anak hingga orang tua. Tak ada privasi. Tak ada kenyamanan. Dan tentu saja,tak ada kebersihan.

Nanti semua kotoran ini digali kembali jika sudah penuh. Dan itu digunakan sebagai pupuk kandang. Ngomong-ngomong saat ini semua pekerjaan adalah kolektif. Semuanya untuk rakyat dan segalanya harus kembali kepada rakyat.

Pekerjaan yang anda lakukan akan dihitung dengan poin. poin ini akan digantikan dengan uang pada akhir periode.

Untuk mandi? Pergilah ke sungai.

Bahkan di musim dingin sekalipun, sungai tetap dipakai bersama. Airnya dingin menusuk tulang. Tapi tak ada pilihan. Jika ingin bersih, maka tahanlah gigilmu.

Itulah kenapa para penduduk desa lebih sering terlihat jorok dan dekil dibanding warga kota yang punya sumur pribadi atau bahkan pemandian umum. Di sini, mandi bukan kebutuhan harian—tapi hanya dilakukan jika benar-benar perlu, atau saat tubuh sudah sangat bau hingga tak tertahankan.

Ulan ingat dulu ia bahkan mencuci sambil berdiri di air setinggi lutut, dengan sabun yang bukan sabun tapi abu dari tungku dapur yang dicampur air. Tangan kecilnya memukul-mukul kain dengan batu sungai, sementara kulitnya pecah-pecah karena detergen murahan dan gigitan dingin.

Terkadang, para wanita desa berkumpul di tepi sungai sambil bergosip, menyindir satu sama lain. Tapi Ulan? Ia hanya bekerja diam-diam, menunduk dalam hinaan dan cibiran. Karena siapa yang akan peduli pada anak perempuan dari keluarga yang dikenal miskin, dengan ibu yang suka memaki dan nenek yang suka mengomel?

 “Kau dengar tidak, hah?! Jangan melamun! setelah memasak Kau harus mencuci Kalau cucian itu tidak selesai, nanti kau tidak usah makan malam!” bentak ibunya lagi, kali ini diiringi lemparan kain basah ke pelataran.

Ulan tersentak dari lamunannya.

Tangannya terangkat pelan, menyentuh bekas cubitan yang masih terasa di lengannya.

Dan tidak peduli seberapa berat ingatan itu menghantam, Ulan tidak ingin menanggungnya lagi seperti dulu.

Ulan segera mengangkat baskom kecil berisi beras jagung kering dan beberapa lembar daun kubis yang mulai layu. Tangannya masih gemetar, tetapi ia tetap melangkah ke dapur kecil di sisi rumah, yang hanya dibatasi dinding bambu dan atap yang bocor di beberapa titik. Dapurnya tak punya jendela, hanya celah-celah sempit di bilik kayu yang membiarkan cahaya pagi masuk samar-samar.

Di sudut dapur, tungku tanah liat setinggi lutut berdiri bersama tumpukan kayu bakar yang masih basah. Ia menyusun potongan kayu kecil, meniup perlahan dengan sedotan bambu agar bara api bisa menyala. Asap putih tebal segera mengepul, menusuk mata dan hidungnya. Ulan terbatuk, tapi ia tidak berhenti.

Sudah biasa.

Sudah terlalu sering.

Ia menuangkan air ke dalam panci besar berwarna hitam keabu-abuan, lalu menambahkan segenggam beras jagung. Tidak ada daging. Tidak ada minyak. Hanya sedikit garam yang dia tuang ke dalam panci, cukup untuk menghindari rasa hambar yang terlalu menyiksa.

Ini adalah bubur jagung khas orang miskin lebih banyak airnya daripada jagungnya.

Ulan ingat betul, di masa lalunya, setiap pagi ia akan memasak bubur seperti ini. Kadang bubur bahkan terlalu encer untuk disebut makanan. Tapi itu yang ada. Dan itu harus cukup.

 “Kau akhirnya bangun juga, ya? Kukira tadi kau benar-benar sudah mati.”

Suara tajam datang dari belakangnya. Gu Yueqin, sepupu perempuan dari jalur paman kedua, berdiri sambil menyisir rambutnya dengan jari. Usianya sebaya, tapi tubuhnya sedikit lebih sehat.

Ayahnya adalah anak laki-laki kedua keluarga, tapi dia sangat licik dan pandai mengambil hati nenek dan kakek. tidak seperti ayahnya yang selalu ingin berbakti kepada orang tuanya sampai melakukan segala cara untuk menyenangkan hati dua lansia itu.

Akibatnya segala jatah, perhatian, dan makanan sedikit lebih condong kepada keluarga Paman kedua.

Ulan tidak menjawab. Ia hanya tetap mengaduk perlahan, memastikan bubur tidak menggumpal di dasar panci.

“Sakit, katanya?” Yueqing tertawa sinis. “Sakit apa? Sakit malas? Dasar perempuan malas. Kalau aku yang jadi Ibumu, sudah kucambuk kau sejak subuh.”

Kalimat itu diucapkan dengan nada bangga, seolah menyanjung dirinya adalah bentuk bakti kepada keluarga. Ulan meliriknya sekilas.

Ulan ingat,. Ia seharusnya memang sedang sakit.Sekarang saja kepalanya masih terasa berat, tubuhnya lemah. Di kehidupan sebelumnya, dia tahu saat ini tubuhnya sedang menderita demam akibat kerja berlebihan dan kekurangan gizi. Tapi siapa yang peduli? Tidak ada yang menyebutnya ‘sakit’ jika yang sakit adalah dia.

Apalagi dia terlahir sebagai seorang perempuan dengan kedua orang tua yang tidak peduli sama sekali.

Di desa ini, anak lelaki adalah warisan sedangkan anak perempuan adalah beban. Itulah mengapa setiap kali makanan dibagi, bagian lelaki selalu lebih banyak. Ayah, adik-adik lelaki, sepupu laki-laki,mereka duduk di depan mangkuk lebih dulu. Sisa dari mereka, barulah diberikan pada anak perempuan dan para istri.

Seringkali, Ulan hanya mendapat setengah mangkuk bubur encer dan satu sendok acar lobak asin.

Sepupu ini sebenarnya memiliki usia yang sama dengan Ulan. tapi karena nasibnya yang bagus dia terlihat lebih cantik dan lebih terurus dibandingkan dengan Ulan sendiri.

Singkatnya semua orang menganggap dia terberkati. Dan berharap jika suatu hari dia bisa menikah dengan orang kaya dan mengajak mereka pergi ke kota.

Dalam artian menerima berkah.

Tapi Ulan, bisa menikah saja adalah sebuah berkat.

 “Jangan sampai kau gosongkan buburnya. Kalau sampai gosong, aku akan lapor ke Nenek. Biar dia cabut rambutmu lagi seperti waktu itu!” ujar Yueqing sambil tertawa kecil, lalu pergi meninggalkannya.

Ulan menunduk. Wajahnya tidak berubah, tapi hatinya bergemuruh.

"ini bukan waktunya tunggu saja waktu yang tepat sepupu...

Ulan ingat, pria itu membayar rp100 dengan tambahan sepotong kain .uang sekecil itu diambil oleh keluarganya dan menghabiskannya dengan membeli beberapa kg jagung. sedangkan sepotong kain di pakai oleh sepupunya ini.

Ulan tidak tahu hal itu sampai dia bertemu suatu hari dan sepupunya itu memamerkan pakaian bagusnya seraya berterima kasih karena dia yang menikah dengan imbalan sepotong kain.

Ulan memiliki sedikit rencana di benaknya, saat ini dia menyendokkan bubur jagung ke dalam baskom besar dan meletakkannya di atas meja kayu reyot. Uap panas naik perlahan, menembus udara pagi yang masih lembap.

"Dulu aku hanya diam. Tapi sekarang..."

Tangannya mengepal pelan.

 “...aku sudah tahu apa yang akan kulakukan.”

Dan meskipun hanya bubur air yang ia sajikan hari ini, satu hal sudah pasti,pagi-pagi seperti ini, ejekan seperti tadi, akan selalu dia dengar.

Tapi Gu Xiulan yang sekarang, bukan lagi gadis yang hanya tahu menangis dalam diam.

Ulan menyendokkan sendok terakhir bubur jagung ke dalam baskom besar yang penyok di ujungnya. Bubur itu terlalu encer, lebih banyak air daripada jagungnya. Tapi memang begitulah masakan mereka setiap pagi untuk mengisi perut dengan air panas dan sedikit rasa asin.

Uap hangat perlahan naik, menyelimuti udara dapur yang sempit, namun justru saat ia hendak meletakkan sendok kayu ke dalam baskom lainnya,sesuatu yang asing muncul.

Cahaya tipis mengambang di udara, persis di depan wajahnya. Bukan api, bukan asap, tapi seperti lembaran kaca bening yang mengambang tanpa tali, tak bersuara, memancarkan cahaya kebiruan redup. Ulan tersentak mundur, tubuhnya menegang.

Sebuah layar transparan. terlihat tidak nyata tapi ada.

Teks-teks muncul di atasnya dalam karakter huruf yang dikenal oleh Ulan.Ulan tidak sekolah tapi entah bagaimana dia bisa membaca Baris demi baris yang menampilkan nama-nama barang. Seperti katalog pasar. Tapi bukan di kertas. Bukan poster.

Ini menggantung di udara seperti sihir dalam dongeng rakyat yang sering diceritakan nenek-nenek di sore hari.

> 「Toko Serba Ada – Versi Awal」

> Barang tersedia:

>

> * Sabun batang (4 sen)

> * Bubuk sabun cuci (7 sen)

> * Permen malt (2 sen)

> * Celana dalam kapas (5sen)

> * Gula merah batangan (3 sen)

> Dan lainnya…

Ulan menatap layar itu tanpa bergerak. Tangan kanannya masih memegang gagang sendok, namun jari-jarinya sudah tak lagi menggenggam kuat.

“Apa ini…?” bisiknya pelan.

Ia ingin berpikir ini mimpi. Tapi punggungnya masih terasa sakit akibat cubitan ibunya tadi pagi. Paha kirinya masih pegal karena harus membungkuk terlalu lama menyapu abu dapur. Semua ini terlalu nyata.

Di tahun 1960-an, di desa belum punya listrik , tapi dari mana datangnya gambar ini?

Pada hari ulan meninggal itu masih di tahun 77 . Sehari sebelum hari kematiannya dia mendengar kabar jika universitas dibuka kembali setelah 10 tahun ditutup. Dia tidak pernah mempelajari apapun karena dia sibuk untuk menjaga keluarga suaminya dan terakhir dia sibuk mencari kemana anak-anaknya dibawa pergi.

Sebagai informasi pada tahun 77, teknologi di Cina masih belum terlalu berkembang. Jadi tidak ada yang namanya layar sentuh jika pun ada layar itu sebenarnya adalah sebuah televisi versi awal.Ulan pernah melihat itu dan dia sangat yakin televisi yang dia lihat jauh berbeda dari apa yang dia lihat di layar saat ini.

Di seberang layar, ia membaca lagi dengan cermat. Ada sabun. Gula. Bubuk pencuci. Bahkan pakaian dalam. Harga-harga itu… bisa ia pahami. Tapi…

"Kok tidak ada kupon."bahkan seketika dia mati kupon masih diberlakukan. membeli sesuatu tanpa kupon sebenarnya adalah hal yang ajaib menurutnya.

Ia mengerutkan kening.

Sesuatu tidak benar.

Setelah negara resmi dibangun,uang saja tidak bisa membeli apapun. segala sesuatu yang ingin anda beli ,butuh kupon resmi. atau yang akrab dipanggil dengan stempel . bahkan untuk membeli sabun sebatang, Orang-orang harus menunggu jatah kuartalan. kupon beras, kupon kain, kupon sabun, bahkan ada kupon daging yang hanya didapatkan saat tahun baru.

Di desa seperti ini, hanya kepala brigade dan orang-orang kota yang bekerja di pabrik yang bisa memiliki lebih banyak kupon. Di keluarga Ulan, kupon mereka terbatas. mereka adalah keluarga Miskin. Yang selalu kekurangan.

Tapi jangan khawatir hampir semua keluarga di desa mengalami hal itu.Jadi keluarga gu bukan keluarga termiskin di desa, ok.

Tapi di layar ini… semuanya ada harga hanya menyebutkan harga doang

Tanpa kupon. Tanpa stempel. Tanpa tanda apapun.

“Ini tidak masuk akal…” gumam Ulan, matanya menyapu daftar itu sekali lagi.

Sebagai orang desa yang sejak kecil dilatih untuk mengantre demi jatah sabun adan sebatang jarum,hal seperti ini adalah kemewahan yang tidak pernah ia bayangkan.

Bahkan dalam mimpi sekalipun.

Layar itu tetap menggantung di tempatnya,tak mendekat, tak menjauh juga .

Ulan ragu. Ia mengulurkan tangan pelan, ingin menyentuh permukaannya. Namun segera menariknya kembali. Takut. Namun rasa takut itu kini berganti dengan rasa penasaran yang menggelitik dadanya.

Bagaimana jika hal ini adalah hadiah dari dewa berikut dengan kembalinya dia di tahun ini. Mungkin ini adalah sebuah senjata untuk membalikkan keadaan.

Jika ini benar jika benar layar ini nyata dan jika ia bisa membeli sesuatu dari sana hanya dengan uang, maka…

…apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Ulan berdiri terpaku di antara uap dapur dan bau kayu bakar.

Sesuatu telah berubah.

Dan semuanya… dimulai dari layar ini.

Terpopuler

Comments

Cha Sumuk

Cha Sumuk

sdh bab 3 tp mc cewek nya msh bodoh ms ga phm2 bahwa dirinya lg ngulang waktu, cerita ga jls berbelit Belit kesan nya,

2025-06-24

1

Fauziah Daud

Fauziah Daud

luarbiasa

2025-06-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!