Kepala Briel terasa begitu pusing setelah mendengar penuturan Tere, sang bunda tercinta pagi tadi. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul 13:00 waktu Jerman, 5 jam lebih lambat dari waktu negara keluarganya tinggal. Dia masih tetap berada di posisi yang sama. Duduk di kursi dengan tangan yang menyangga kepalanya yang tertunduk. Matanya terpejam namun ia tetap terjaga.
Pintu ruangan Briel terbuka saat itu juga. Adam masuk ke ruangan Briel tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia membawa sekotak makan siang. Rupanya Briel masih tidak terganggu dengan kedatangan Adam.
Adam menghela napas panjang. Pasalnya baru kali ini ia melihat Bosnya seperti itu. Seperti manusia yang ingin merenggang nyawa.
"Bos sudah siang, waktunya makan. Mau sampai kapan meratapi nasib Bos? Atau mau saya carikan informasi pribadi tentang calon istrimu itu Bos?"
Sudah 4 jam setelah Tere telepon, Briel masih belum beranjak dari sana. Bahkan makan siang hampir terlewatkan. Adam khawatir Briel jatuh sakit karena lupa makan siang.
Briel mendongakkan kepala menatap Adam dengan sorot mata tajam.
"Jangan pernah sesekali kau cari informasi tentangnya, atau nilai nol yang ada di rekeningmu saya kurangi beberapa!" ucapnya tegas.
Seketika Adam menelan ludah dengan tenggorokan yang terasa mengering. Ia hanya membungkukkan badannya. Ia tidak mau mengambil risiko kehilangan jumlah nol dibelakang nominal uangnya.
"Kenapa begitu Bos? Bukannya biasanya kebanyakan orang akan mencari tahu siapa mereka?" tanya Adam heran. Ia memberanikan diri untuk bertanya
Briel berdecak kesal, "Aku bukan mereka. Aku ya aku. Jadi jangan pernah bandingin diriku sama yang lain," ucap Briel dengan bahasa yang lebih santai.
"Biarlah, sekali kejutan ya kejutan sekalian, sekali hancur juga biar hancur sekalian," ucapnya lagi.
Briel bersandar pada punggung kursi. Tatapannya lurus ke depan, senyum kecut tergambar jelas di wajahnya. Ia tidak yakin dengan nasibnya kali ini. Terkadang firasatnya begitu kuat hingga dia mampu merasakan bagaimana untuk kedepannya walau ia tidak tahu akan berjalan seperti apa.
"Astaga Bri, Bri. Kelemahanmu ada disitu. Kau terlalu terpaku dan pasrah pada tujuan tertentu. Buktinya kau kerja, kerja sekalian sampai kau lupa harus mencari pasangan untuk melanjutkan keturunan."
Adam hanya bisa mengungkapkan semua unek-uneknya dalam hati. Briel memang tipe orang yang bisa menyesuaikan sikap sesuai keadaan, namun dia akan menjadi orang tegas yang menyebalkan ketika dia kesal atau marah. Bagi Adam akan lebih berbahaya lagi jika nilai nol yang di rekeningnya berkurang. Berkurang sedigit saja berkurang juga uangnya untuk semua yang harus ia cukupi.
"Siap bos."
Itulah kata-kata yang bisa keluar dari mulutnya.
Briel mengalihkan pandangannya ke arah Adam. Ia mengambil bolpoin di meja lalu mengacungkannya ke arah Adam. Sorot matanya tajam, hingga lawan bicara akan mudah terintimidasi. Yang terbiasa saja masih saja terintimidasi apalagi yang belum.
"Ingat. Jangan cari info apapun. Saya tidak akan segan-segan untuk melakukan hal itu terhadapmu!"
Suaranya tidak keras, namun terdengar tegas dan penuh dengan ancaman.
"Iya Bos, iya," ucapnya sedikit malas.
"Bagus! Mana makan siangku?" tanya Briel. Untuk bergalau ria, ia juga butuh tenaga lebih. Perutnya juga sudah bernyanyi lagu lapar. Ternyata kedatangan Adam membantunya untuk merasakan rasa lapar kembali setelah ia lupa akan rasa lapar.
Adam menyerahkan sekotak makanan kepada Briel. Ia memberikan hormat dengan membungkukkan badan, lalu berlalu berjalan meninggalkan ruangan Briel.
"Dam,"
Seketika Adam menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Briel.
"Batalkan meeting yang tersisa hari ini. Aku ingin pulang lebih awal."
Adam diam, berpikir sejenak. Kata-kata Briel terdengar ambigu di telinganya.
"Hah? Pulang? Bukannya acaranya sebulan lagi ya Bos?"
Briel menepuk dahinya, merutuk dalam hati.
"Aku yang salah bicara atau kau yang bodo sih Dam."
"Adam asisten Briel Tampan yang ganteng, saya mau pulang ke apartemen bukan pulang ke negara asal kita. Saya pulang ke sana masih lama, 2 hari sebelum pernikahan kita baru pulang Adam," ucap Adam sambil merapatkan giginya dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
"Gila!" ucap Adam dengan suara lantang. Ia tidak percaya Briel bisa berbuat demikian. Menikah sebulan lagi, calon belum dikenali, bagaimana mereka akan akan saling mengerti?
"Dasar Bos Gelo," umpatnya dalam hati.
Seketika Briel menatapnya tajam, menguarkan aura pembunuh uang. Briel menghentikan kegiatannya mengunyah makanan.
"Apa?! Sudah berani mengumpati bosnya gila?"
Bukannya gentar, kali ini Adam malah memandang Briel dengan tatapan yang tak kalah tajam dan serius.
"Maafkan saya jika saya lancang Bos. Pernikahan bukan hal untuk bermain-main. Jika Anda tidak mau menikah, tolaklah pernikahan itu. Jika Anda menerima maka terimalah risikonya. Namun keputusan Anda, tetap adalah perintah paten untuk saya."
Briel meletakkan sendok yang ia pegang. Ia menjauhkan sekolah makanan ke depan dengan kasar, namun elegan.
"Jangan ikut campur terlalu dalam dengan urusan saya sebelum saya memperintahkanmu untuk ikut campur!"
Sepenggal kalimat yang keluar dari mulut Briel mampu membungkam Adam. Penekanan urusan Briel membuat Adam tidak bisa berkutik, karena yang menjalani itu Briel bukan Adam. Walaupun ucapan Briel menusuk, namun ia sadar bahwa emosi bosnya sedang meledak-ledak.
Adam membungkuk hormat lalu pergi meninggalkan ruangan Briel. Briel mengusap wajahnya kasar.
"Arrrggh shit!" umpatnya.
Bukan maksud Briel ingin berkata demikian. Namun keputusannya sudah bulat. Ia tidak akan merubah keputusannya. Ada pun yang terjadi akan tetap Briel jalani. Namun emosi sialan telah menguasainya, ego berdiri di depannya.
"Hahhh Bri, Bri. Kau itu orang cerdas yang bodoh," ucap Adam yang berjalan menjauh menuju ruangannya. "Bolehlah cerdas dalam hal berbisnis, namun kenapa nihil dalam hal asmara? Ide gilanya sangat tidak masuk akal. Menikah tanpa tahu siapa dia bahkan hanya sekadar nama. Dan pulang 2 hari sebelum pernikahan dilaksanakan. Otomatis dia sampai di sana sehari sebelum pernikahan. Ini gila!"
Adam berhenti sejenak. Ia merasakan gawainya bergetar. Ia merogoh kantung jasnya. Ia melihat nama Bunda Tere terpampang jelas dilayarnya.
"Halo Bun," Adam memanggil Tere sama seperti Briel memaggilnya.
"Hei Adam yang katanya sudah nggak ngejomblo lagi. Ada kabar?"
Adam terkekeh begitu pun juga dengan Tere.
"Baik Bun. Bunda sama Ayah?"
"Kami sehat selalu Dam."
"Syukurlah."
Hanya itu yang dikatakan Adam. Ia menunggu apa keperluan Bunda menelponnya. Namun ia sudah bisa menebak kalau ini ada berhubungannya dengan Briel.
"Dam, Bunda mau minta tolong. Jaga Briel untuk sebulan ini. Yeah walaupun kamu selama ini memang telah menjaganya. Bunda tidak mau Briel berbuat aneh-aneh hanya untuk menghancurkan pernikahannya. Ya meski persyaratannya sangatlah aneh dan terbilang gila, tapi biarlah itu menjadi tanggungannya sendiri."
Adam mengangguk meski lawan bicaranya tidak melihat.
"Apakah kamu mau bunda kasih tahu siapa calon istri Briel?" tanya Tere kemudian.
Adam berpikir sejenak. Rasa penasaran menelusup ke dalam hatinya. Adam menggelengkan kepalanya.
"Jangan Dam. Jangan ikut campur sebelum diperintah." Adam menolak rasa penasaran yang hampir saja mengusainya.
"Gak usah Bun, Adam gak perlu tahu."
"Adam gak mau Briel marah kalau sampai Briel tahu kalau Adam mencari informasi tentang calon istrinya Bun. Adam bilang iya, sama saja Adam mengingkari janjiku Bun." lanjutnya dalam hati. Ia tidak mungkin membuat Briel bersalah di mata Bundanya.
"Yakin nih gak mau tahu?"
"Yakin Bun," ucap Adam yang lembut namun ada ketegasan yang terselip di dalamnya.
"Baiklah. Bunda minta bantuanmu ya Dam, bye."
Panggilan itu telah diakhiri oleh Tere. Adam akan melakukan semua permintaan Tere sebelum Tere meminta. Karena itu adalah salah satu tugas yang tidak tertulis namun menjadi suatu kewajiban bagi Adam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 310 Episodes
Comments
Thyna
klau q maux briel kyakx msih suci tdk sperti davin yg nggak suci🤭🤭🤭
2022-02-09
0
Cinta Maha Dewi
masih nyimak
2021-06-22
0
D.R.S
jgn2 calon istrinya nnti ya gea itu. ,,,,wkwkwkwkwk
2021-06-13
0