Seorang laki-laki dewasa tengah sibuk meneliti dokumen-dokumen perusahaannya. Tumpukan kertas tinggi menunggunya untuk dijamah. Melambai-lambai agar segera diambil untuk diselesaikan. Kacamata yang ia pakai menambah kesan dewasa di wajah tampannya.
"Dam, ke ruanganku sekarang." Ia menekan tombol otomatis untuk memanggil asisten pribadinya ke ruangannya.
Pintu ruangan terbuka. Adam, sang asisten pribadinya menghampirinya. Ia membungkukkan badannya.
"Ck, gak usah bungkuk-bungkuk Dam nanti punggungmu encok baru tahu rasa!" ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang ia teliti.
Memang, dia adalah seorang CEO, namun ia tidak pernah mengijinkan Adam untuk memberinya hormat, karena Adam adalah sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara. Kebaikannya yang pernah ia berikan kepada Adam dan keluarga, membuat Adam ingin berkerja dengannya.
"Yaampun Bos, umurku masih muda. Masak iya belum apa-apa sudah encok. Kasihan masa depanku kelak dong Bos," ucapnya tak terima.
"Sudah?"
Adam hanya memperlihatkan gigi putihnya.
"Ada apa Bos memanggil saya kemari," ucap Adam yang sudah kembali memposisikan dirinya sebagai bawahan.
"Bawa kembali dokumen ini. Suruh mereka merevisi kembali dokumen yang telah mereka buat. Untuk selanjutnya pasti kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan," perintahnya.
Ia mengatakan semua itu tanpa menoleh sedikitpun. Menurutnya kertas itu nampak lebih menarik dari pada yang lain. Adam sudah tahu tabiat bosnya itu. Adam membawa keluar tumpukan dokumen yang masih salah itu. Ia masih sibuk meneliti dokumen yang masih menggunung.
Suara panggilan masuk terdengar dari gawainya. Namun karena kesibukannya, ia mengabaikan dering itu. Berkali-kali gawainya tetap berbunyi namun tidak kunjung mendapat jawaban dari sang empunya.
"Arrggh siapa sih yang menggangguku dari tadi!" Dia mengerang frustasi.
"Gak tahu apa sini baru pusing meneliti dokumen-dokumen penting!" geruntunya sambil meraih gawainya dengan kesal.
Seketika tenggorokkannya kering. Matanya membulat karena nama yang tertera di layar gawainya.
"Astaga, tamat riwayatku" ucapnya mengasihani diri sendiri.
Ia mengangkat panggilan itu dengan hati-hati. Dengan ragu, ia menempelkannya ke telinga.
"Astaga anak durhaka! Dari tadi ditelponin gak diangkat! Mau bunda kutuk jadi piscok ha?!"
Terdengar suara lantang sang bunda dari seberang. Ia sangat kesal karena anaknya tidak segera menjawab telpon darinya.
"Loh Bun, perasaan biasanya kalau mengutuk anak durhaka itu jadi batu kan?" ucapnya mengalihkan kekesalan bundanya.
"Itu mah udah jadul, udah nggak jaman. bunda kan udah modern. Lagian piscok itu enak. Manis-manis nyoi."
Terbukti. Kekesalan sang bunda sudah meredam. Dia terkikik senang karena berhasil mengalihkan topik.
"Eh eh, bunda dengar suara ketawamu. Jangan senang dulu. Bunda masih ingat kekesalan bunda!" ucap bundanya yang mendengar suara cekikikan halus darinya.
"Iya Bun iya. Ada apa Bun, tumben telpon anaknya?"
"Tumben katamu? Memang harus ada perlu dulu baru telpon anaknya sendiri."
"Ya kan siapa tahu, Bun."
"Haihh anak ini memang pinter kaya bundanya," ucap bunda pelan namun masih terdengar.
"Iya, bunda ingin memintamu pulang. Bunda dan Ayah ingin menjodohkan kamu dengan anak teman ayah. Setuju tidak setuju, mau tidak mau kamu harus pulang!" paksa bundanya.
"Tapi Bunn…."
"Gabriel Abraham Yohandrian yang tersayang, gak ada tapi-tapian. Umurmu sudah tua, sudah saatnya kamu menikah, sudah saatnya kami menimang cucu. Bundamu ini sudah tua. Nanti kalau tiba-tiba bunda dipanggil Tuhan, bunda sudah tidak sempat melihatmu menikah bahkan menimang cucuku kelak!"
"Bun jangan ngomong gitu dong Bun. Mati bukan hal yang bisa digunakan untuk bahan candaan," ucap Briel yang terselip ketakutan. Ia masih belum rela kehilangan orang-orang yang ia sayangi.
"Ya memang begitu kenyataannya Briel. Kita nggak tahu kapan umur kita usai. Umurmu juga sudah hampir 30 tahun, tapi apa? Sampai sekarang belum pernah sekalipun mengenalkan pasaganmu sama bunda," omel Bunda.
"Atau jangan-jangan kamu sukanya sama suntikan sapi juga ya? " selidik Bunda. Ia takut anaknya memiliki kelainan yang menyukai sesama jenisnya.
"Yaampun Bunda, ya masak iya anak sendiri yang ketampanannya tak tertandingi suka sesama suntik. Amit-amit Bun. Briel masih normal Bun, astaga!"
Briel tidak habis pikir kenapa bundanya sampai berpikir demikian.
"Siapa tahu kan? Seumur-umur, bunda cuma sering lihat kamu kemana-mana sama si Adam. Terus si Adam juga masih betah ngejomblo. Nah apa hayo yang dipikirkan orang lain, selain kalian suka sesama jenis. Secara kalian berdua sangat tampan dibanding yang di luar sana."
"Bun, Adam udah punya pacar, Bun. Dia sudah nggak jomblo."
"Nahh justru itu karena dia udah ada pacar, makanya kamu mau bunda nikahin sama anak temannya Ayah. Masak bos kok kalah sama asisten. Huh payah! " ledek Bunda.
Briel memijit pelan pelipisnya yang semakin pusing mendengar tuturan bundanya itu. Ia tidak habis pikir, kenapa bundanya pingin anaknya cepet- cepet menikah.
"Astaga Bun Bun. Udah pusing tambah pusing nih kepalaku." batinnya.
"Bun, menikah bukan perkara mudah Bun. Harus menyelaraskan hati dan pikiran. Mungkin saja saat ini jodohku baru digandeng orang. Akan ada waktunya, Bun. Tinggal tunggu tanggal mainnya," ucap Briel.
"Mau nunggu umur berapa? 35? 40? Keburu lebaran katak! Udah deh Briel, kamu kalau nggak dipaksa paling cintamu cuma mentok sama tumpukan dokumen yang menggunung."
Bunda memang tahu kalau anaknya terlalu sibuk bekerja hingga melupakan tujuan hidup yang sesungguhnya, yaitu melanjutkan keturunan.
"Bunda gak mau tahu. Pokoknya kamu harus segera pulang. Sebulan lagi adalah pelaksanaan pernikahan kalian. Masih ada waktu untuk saling mengenal! " putus Bunda tak terbantahkan.
"Iya Bun, iya."
Dengan berat hati Briel mengiyakan permintaan bundanya. Ia sudah teramat pusing mendengar kata-kata dari Bundanya. Belum lagi masih banyak dokumen yang menunggunya.
"Tapi dengan syarat Bun. Pernikahan diadakan secara tertutup, cukup dua keluarga saja dan Briel pulang 2 hari sebelum Hari H. Oh ya Briel gak mau tahu siapa dia, bahkan hanya sekedar nama. Semua Briel serahkan ke Bunda. Briel terima jadi saja," putus Briel dengan senyum liciknya.
"Lah kalau begitu bagaimana kenalnya?" bantah Bunda.
"Yaudah kalau Bunda gak setuju, nunggu Briel dapat jodohnya sendiri saja," ucap Briel dengan santai. Ia berharap ancamannya itu mengurungkan niat bundanya untuk menikahkannya. Tapi....
"Baiklah bunda setuju. Persiapkan dirimu Briel sayang. Bye, selamat bekerja"
Tanpa menunggu jawaban Briel, bunda menutup panggilan teleponnya. Briel terperangah, tak percaya. Ternyata Bunda menyetujui syaratnya.
"Bodoh Briel, bodoh. Kenapa kamu mengucapkan kata-kata itu sih. Ini dia, senjata makan tuan namanya,"
Briel merutuki kebodohannya. Ia lupa kalau bundanya tak tertebak. Ia mengusap wajahnya kasar. Pernikahan itu akan tetap terjadi. Ayahnya pasti juga menyetujuinya. Karena sang ayah sudah cinta mati dengan istrinya. Tidak mungkin juga dia membantah bundanya. Selama ini dia jarang membantah kemauan bundanya. Briel sangat menyayangi dan menghormatinya. Baginya pertaruhan nyawa seorang ibu adalah suatu pengorbanan yang tak ternilai.
Baru saja Adam kembali masuk ke ruangan Brielle. Ia menatap bingung, kenapa bosnya bisa sefrustasi itu. Jarang sekali ia melihatnya begitu. Dia menghampiri Briel.
"Kau kenapa, Bos?"
"Tamat Dam, tamat," ucap Briel yang menumpukan tangannya pada meja kerjanya. Tangannya menjambak rambutnya sendiri. Pandangannya lurus ke depan.
"Tamat kenapa Bos?" Adam masih belum paham apa yang terjadi dengan bosnya itu.
"Aihh gara-gara kamu ini Dam, Dam!" Briel meluapkan kekesalannya pada Adam.
"Loh kenapa gara-gara saya Bos?" tanyanya.
"Gara-gara kamu punya pacar jadi aku mau dinikahin sama Bunda, Dam," ucapnya sedih.
"Hahh?!" Adam terkaget.
"Kapan?"
Respon Adam sungguh tak sesuai dengan ekspektasinya. Ia kira Adam akan ikut memikirkan namun apa? Ck tak ada gunanya, geruntu Briel.
"Sebulan lagi Dam" ucapnya semakin frustasi.
Adam malah tertawa kencang. Sampai-sampai ia memegangi perutnya yang sakit karena tertawa. Karena kesal ditertawakan, Briel melempari bolpoin di mejanya ke arah Adam dengan kencang.
Klotak
Bolpoin itu mengenai kepala Adam dengan keras. Ia meringis kesakitan. Ia mengelus kepalanya yang cukup sakit karena terkena timbukan.
"Sudah Bos, gak usah diratapi. Jalani saja Bos. Anggap saja rejeki Bos, gak perlu cari langsung dapet." saran Adam.
Briel meliriknya dengan tajam. Suasana horor seketika Adam rasakan. Ia segera berbalik lalu paint undur diri. Ia tidak mau menerima pelampiasan lebih lanjut.
Pintu tertutup kembali. Briel kembali meratapi nasibnya. Ia menekan kembali tombol untuk memanggil Adam ke ruangannya.
Tak lama kemudian Adam kembali ke ruangan Briel.
"Udah Dam, bawa tumpukan dokumen lucknut ini ke ruanganmu. Selesaikan sisanya. Pusing aku dengan permintaan Bunda." Dia memerintah sekaligus mengusir Adam agar segera pergi dari ruangannya.
Tanpa berpikir panjang Adam membawa semua dokumen itu ke ruangannya, meski batinnya menolak.
"Haisst nasib-nasib. Bos yang pusing, bawahan yang terkena imbasnya." ucapnya sambil melenggang menuju ruangannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 310 Episodes
Comments
Elsa Rahma
nasi jadi bawahan ya gitu deh
2023-01-16
0
nichic
😆😆🤣😂
asli konyol jg nih CEO sama ibunya
2021-09-06
1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
sabar ya mas Adam....
2021-08-10
1