lereng yang memanggil

Mereka berjalan menyusuri jalan tanah yang mengarah kembali ke pertigaan, langkah-langkah mereka berat dan pikiran masing-masing dipenuhi tanda tanya. Tidak ada dari mereka yang bicara sepanjang jalan. Hanya suara dedaunan yang tergesek angin dan langkah kaki yang menghantui kesunyian pagi itu.

Warung yang mereka tuju tampak sepi. Seorang perempuan setengah baya duduk di bangku kayu di depan warung, tengah mengupas bawang dengan santai. Ia menoleh saat keempat orang itu mendekat.

"Permisi, Bu," sapa Galang dengan sopan. "Kami mau nanya-nanya sedikit, boleh?"

Perempuan itu mengangguk, senyum tipis menyambut mereka. "Iya, silakan. Lagi nyari apa?"

Danu maju, menatap perempuan itu penuh harap. "Bu… kami mau nanya soal rumah Nyai Laras. Yang agak di ujung jalan sana, deket pohon kamboja besar."

Mendengar nama itu disebut, perempuan setengah baya itu memandang Danu beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan.

"Rumah Nyai Laras ya?" ujarnya sambil melanjutkan mengupas bawang. "Itu rumah memang agak jarang dihuni. Dulu sering kelihatan buka tutup, tapi orangnya... ya, tertutup. Gak semua warga dekat sama beliau."

Danu sedikit lega, tapi masih penasaran. "Tapi Bu, terakhir saya ke sana, rumahnya masih hidup. Maksudnya, ada orangnya, saya bahkan sempat ngobrol sama beliau. Nginep juga beberapa malam di sana. Tapi tadi pagi kami ke sana lagi, rumahnya udah kayak ditinggal tahunan. Padahal belum seminggu."

Si ibu mendongak lagi, alisnya mengernyit. "Lho? Serius? Baru beberapa hari lalu? Tapi rasanya gak ada yang lihat siapa-siapa masuk atau keluar dari situ akhir-akhir ini, Nak."

Naya maju, ikut bicara, "Kami cuma mau tahu, Bu… apakah ada yang bisa kami ajak bicara? Mungkin tetangga terdekat atau—"

"Kalau soal rumah itu… lebih baik kalian langsung tanya ke Pak Kepala Desa saja," potong si ibu, suaranya tenang. "Beliau yang paling paham. Soalnya Nyai Laras itu… ya begitu, gak suka banyak bicara sama orang sekitar. Tapi kalau urusan penting, biasanya beliau ngabarin langsung ke kepala desa."

Dany mengangguk pelan. "Pak Kades, ya? kami pernah berbincang di warung, tapi untuk rumahnya aku tidak tau. Apa tempat tinggalnya jauh dari sini, Bu?"

"Gak. Belok kanan dari pertigaan tadi, terus aja sampai mentok, rumahnya yang ada pohon rambutan besar di depannya. Nanti kalian bisa tanya-tanya di sana."

Danu mengucap terima kasih sebelum mereka pamit dan berbalik pergi.

Begitu mereka menjauh dari warung, Naya mendesah pelan. "Nyai Laras ini… makin hari makin misterius ya. Rasanya semua orang tahu dia, tapi gak ada yang benar-benar kenal."

"Iya," timpal Galang. "Kayak semua petunjuk selalu muter balik ke satu titik, tapi gak pernah nembus."

Danu menatap ke depan, ke arah jalan yang akan mereka tuju berikutnya. Rumah Nyai Laras masih terbayang di benaknya, sunyi, tertutup, dan terasa asing meski pernah ia tinggali.

"Yuk," katanya singkat.

Dan langkah mereka pun kembali menyusuri jalan desa, kali ini menuju rumah Pak Kepala Desa, mencari jawaban yang mungkin bisa mengurai benang kusut dari kedatangan mereka ke tempat ini.

Setibanya mereka di rumah Pak Kepala Desa, keempatnya sempat berpandangan. Rumah itu terlihat hangat, dengan dinding kayu yang mengilap terkena cahaya matahari pagi. Pohon rambutan besar menjulang kokoh di sisi kanan, dan suara aliran air dari sungai kecil di belakang rumah terdengar sayup-sayup, menenangkan.

Danu melangkah maju dan mengetuk pintu perlahan. Tak sampai hitungan ketiga, pintu terbuka. Pak Kades berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja lusuh dan sarung yang digulung sebatas betis. Tapi yang membuat keempatnya saling menoleh adalah senyuman pria itu, senyum tenang yang terasa… seperti sedang menunggu mereka.

"Ah, akhirnya datang juga," ucapnya tenang, matanya menatap Danu sejenak, lalu menelusuri wajah ketiga temannya satu per satu.

Mereka saling melirik dengan pandangan penuh tanya.

"Lho… Bapak tahu kami mau datang?" tanya Galang hati-hati.

Pak Kades tak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, seolah pertanyaan itu bukan hal yang penting.

"Ayo, ikut ke belakang. Ngobrolnya lebih enak di sana."

Alih-alih mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah seperti yang mereka harapkan, Pak Kades justru berbalik arah, berjalan memutar ke samping rumah, menyusuri jalan setapak yang mengarah ke lahan kosong. Mereka ragu sejenak, tapi akhirnya mengikuti.

Di sana, terbentang lahan kosong dengan rumput pendek yang basah oleh embun. Di dekat sungai kecil, ada bekas pohon tumbang yang kini tampak sudah sering dijadikan tempat duduk. Pak Kades menunjuk ke arah batang itu.

"Ayo, duduk" ujar Pak Kades sambil menepuk batang pohon.

Mereka pun menuruti, meski dalam hati masing-masing timbul keganjilan, kenapa tidak di dalam rumah? Tapi tak satu pun dari mereka berani bertanya. Seolah suasana itu sendiri membungkam lidah mereka.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang janggal.

Akhirnya, Danu bicara. Suaranya terdengar ragu, tapi cukup jelas.

"Pak… kami sebenarnya kesini bertujuan untuk menanyakan soal rumah Nyai Laras."

Mendengar nama itu, Pak Kades menarik napas panjang. Ia mengangguk pelan, lalu perlahan menoleh ke Danu.

"Aku sudah tau itu"

Danu membeku. Lagi-lagi kalimat yang terlalu tepat waktu. Ia menoleh ke teman-temannya yang tampak sama bingungnya.

"Jadi, soal rumah Nyai Laras," ucap Pak Kades, matanya menatap sungai, tidak langsung menatap mereka. "Memang benar, beliau datang ke sini beberapa hari yang lalu. Diam-diam, seperti biasanya. Ia pamit mau ke lereng gunung."

"Lereng gunung?" Naya memiringkan kepala.

"Ya. Katanya ada yang harus dia selesaikan di sana. Tapi sebelum pergi, dia bilang satu hal… bahwa kalau Danu datang dan mencari, maka biarkan dia menyusul."

Pak Kades menatap Danu, kali ini langsung. Matanya tajam, seperti menelanjangi pikiran.

"Hanya Danu," ulangnya. "Yang lain... tetap di rumah singgah. Jangan ikut. Biarkan mereka di sana sampai semuanya selesai."

Ketiganya sontak menoleh ke arah Danu dengan ekspresi bingung. Galang membuka mulut, ingin bertanya, tapi tak ada suara yang keluar. Danu menggenggam lututnya gelisah, dan Naya hanya bisa menatap Danu dengan pandangan penuh tanda tanya.

"Tunggu… kenapa hanya Danu?" tanya Galang mewakili perasaan teman-teman nya.

Pak Kades menatap Galang sejenak, lalu kembali menatap Danu. Senyumnya memudar, digantikan ekspresi serius.

"Karena katanya, cuma Danu yang bisa mendengar… dan mengerti. Kalian tidak."

Suasana tiba-tiba menjadi lebih dingin. Angin yang tadi sepoi-sepoi kini terasa menusuk. Danu melirik Naya, yang tampak menggigit bibir bawahnya.

"Pak…" Danu mencoba bicara lagi, tapi suaranya patah. "Apa maksudnya bisa mendengar dan mengerti?"

"Itu bukan pertanyaan yang bisa kujawab. Tapi Nyai Laras kelihatan sangat yakin waktu bilang begitu. Katanya, kau yang 'diutus'."

"Diutus?" Danu mengulang dengan suara gemetar.

Pak Kades mengangguk perlahan, kemudian mengambil sesuatu dari balik saku sarungnya—sebuah kantong kain kecil berwarna hitam yang diikat dengan benang merah. Ia menyerahkannya ke Danu tanpa penjelasan.

"Buka hanya saat kau sudah sampai di sana. Di lereng."

Danu memandang benda itu dengan kening berkerut.

"Dan satu lagi," sambung Pak Kades, suaranya lebih rendah. "Apa pun yang terjadi di rumah singgah selama kau pergi… biarkan, jangan balik sampai Nyai Laras sendiri yang memintamu kembali"

Galang menatap Danu, bibirnya mengecap seperti ingin berkata, tapi yang keluar hanya gumaman, "Ini makin aneh, Nu…"

Danu tidak bergeming, dan justru menatap pak Kades yang kini kembali menatapnya. Wajah pak Kades yang keriput tampak jauh lebih tua daripada sebelumnya, seolah beban dari apa yang ia tahu membuatnya lelah bertahun-tahun lebih cepat.

"Itu… jika kau ingin segera menemui Nyai Laras," katanya pelan, hampir seperti bisikan yang hanya untuk Danu seorang.

Danu menatap kantong kain di tangannya. Rasanya berat, padahal ukurannya kecil. Seolah ada sesuatu di dalamnya yang lebih dari sekadar benda biasa.

"Lalu… kalau aku tidak pergi?" tanyanya, masih menatap lurus ke kantong itu.

Pak Kades menghela napas panjang, lalu tersenyum sekali lagi.

"Maka tunggu saja di rumah singgah. Nyai Laras bilang, mungkin beberapa hari lagi dia akan pulang. Tapi kalau kau memilih menunggu, jangan tanyakan apapun. Jangan cari apapun. Dan jangan buka kantong itu, sampai kau benar-benar sudah memutuskan."

Danu mengangguk perlahan, tapi Galang tak bisa menahan diri lagi.

"Pak… kenapa semua ini terasa seperti teka-teki? Kenapa kami tidak boleh ikut? Kenapa harus Danu saja?"

Pak Kades menatap Galang lekat-lekat, kali ini dengan sorot yang hampir seperti… iba.

"Karena kalian akan menjadi saksi, bukan pelaku. Bukan bagian dari kisahnya… hanya penonton yang diberi tempat duduk paling depan."

Galang terdiam. Begitu pula Naya dan Bima. Kata-kata Pak Kades seperti menampar pikiran mereka yang mencoba menalar semua ini dengan logika.

Danu menatap ke sungai, suara gemericik air tiba-tiba terdengar lebih keras dari sebelumnya.

"Aku akan pikirkan, Pak," ujarnya lirih.

Pak Kades mengangguk. "Pikirkan baik-baik. Tapi jangan terlalu lama. Ada waktu untuk menunggu, dan ada waktu untuk berjalan. Kalau kau menunda saat waktumu datang… maka pintunya akan tertutup."

Setelah itu mereka pun berpamitan. Tak ada lagi pembicaraan aneh. Tak ada tanda perpisahan. Bahkan Pak Kades tak menatap mereka saat mereka melangkah menjauh.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah singgah, mereka semua terdiam. Bahkan Bima yang biasanya suka menggoda, tak membuka suara sedikit pun. Hanya suara langkah kaki, dan detak jantung mereka sendiri yang terasa begitu keras.

Sesampainya di rumah singgah, matahari sudah mulai berdiri di atas kepala. Angin semilir juga mulai punah, berganti rasa panas yang menyengat. Mereka memilih duduk melingkar di ruang tengah rumah singgah.

"Aku nggak ngerti ini semua, tapi perasaan gue nggak enak," gumam Naya sambil melepas jaket yang tadi ia kenakan.

Danu memandangi kantong kain kecil itu sejak tadi. Sesekali ia memainkannya di telapak tangan, merasakan tekstur kain yang kasar dan simpul benang merah yang erat. Ia belum membuka, tapi hatinya sudah seakan-akan tahu apa yang harus dilakukan.

"Aku mau nyusul Nyai Laras," katanya tiba-tiba, suaranya tenang.

Galang menoleh cepat. "Siang-siang begini? Sendirian?"

"Iya, tapi nanti agak sorean"

"Enggak bisa, Nu. Kita ikut. Biar rame, biar aman. Lu gila? Itu lereng gunung, bukan warung kopi," sahut Bima, setengah berdiri.

Naya memegang tangan Danu, matanya terlihat cemas. "Lu yakin? Barusan Pak Kades bilang jangan balik sebelum Nyai Laras yang manggil. Kalau terjadi apa-apa—"

"Aku harus pergi," potong Danu. "Aku juga gak ngerti kenapa… tapi makin lama di sini, perasaanku justru makin gak enak. Bukan buat aku. Buat kalian," lanjut Danu. Matanya bergantian menatap Galang, Bima dan Naya.

Suasana jadi hening. Hanya suara angin yang menggesek dedaunan di luar jendela, dan detak jam tua di dinding.

"Kalau kalian ikut, justru aku takut ada yang salah. Kayak… kalian gak seharusnya ke sana. Tapi aku? Aku kayak ditarik ke sana. Serius, aku gak bohong."

Galang menghela napas panjang. Ia ingin membantah, tapi sorot mata Danu tidak bisa dia bantah.

Bima akhirnya duduk lagi, menyandarkan punggung di dinding. "Kalau lu maksa pergi… kita gak bisa cegah. Tapi, hati-hati. Kalau bisa, kabarin. Atau kasih tanda."

Naya yang sejak tadi masih memegangi tangan Danu, seperti belum rela melepaskan.

"Lu yakin beneran bakal baik-baik aja?" tanyanya pelan.

Danu mengangguk. "Yakin. Anehnya… aku malah ngerasa tenang. Kayak… aku bakal nemu jawaban di sana."

Galang menunduk, tangannya mengusap tengkuknya yang basah keringat. "Oke lah… tapi tetap aja gue masih gak sreg lu jalan sendiri. Tapi ya udahlah, lu juga keras kepala."

Bima menatap Danu lama, sebelum akhirnya menarik napas dan berkata, "Yaudah… kalau gitu sekarang istirahat dulu. Jangan langsung berangkat. Gue sama Galang sama Naya yang siapin bekalnya. Minimal lu bawa makanan, air, senter… dan pisau kecil kalau ada."

Danu menoleh, sedikit terkejut. "Lu yakin?"

"Yakinlah. Ini bukan cuma jalan ke warung, Nu," sahut Bima. "Lereng gunung itu kadang jalurnya gak jelas. Gue pernah naik gunung juga, meski cuman beberapa kali. Disana penuh semak. Kabut juga cepet turun. Jadi lu harus siap."

Galang mengangguk setuju. "Gue bantu nyiapin juga. Naya, lu bantu cari termos kecil, ya?"

Naya mengangguk, meski sorot matanya masih khawatir.

"Lu tidur bentar, Nu. Atau sekadar rebahan," lanjut Bima. "Kita bangunin lu kalau semua udah siap. Gue gak mau lu jalan dalam keadaan capek atau gak fokus."

Danu terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Makasih, ya…"

"Udah. Tidur sana," potong Galang sambil mengibaskan tangan, "Jangan drama, ntar sore baru drama."

Mereka tertawa kecil, meski canggung. Tapi setidaknya, tawa itu sedikit mencairkan atmosfer aneh yang sejak tadi menggantung di antara mereka.

Danu kemudian melangkah masuk ke kamar, meninggalkan tiga temannya yang mulai sibuk mengumpulkan perlengkapan seadanya. Di luar, langit mulai mendung… seolah ikut menyimpan rahasia yang akan segera terkuak di lereng gunung itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!