BAB 4

Karena semua urusan di balai desa sudah selesai, kami pun akhirnya pulang.

Warga juga perlahan membubarkan diri.

Beberapa masih sempat menatap penuh iba, beberapa lainnya tampak hanya ingin segera melupakan aib yang baru saja mereka saksikan siang itu.

Sesampainya di rumah, suasana begitu hening.

Langit mulai menggelap. Tapi bagiku, bukan hanya hari yang gelap—hati ini pun masih dibungkus mendung yang tak kunjung pergi.

Suamiku duduk di kursi panjang dekat dapur.

Kemejanya masih setengah kusut, debu dari balai desa pun belum sepenuhnya hilang dari sandal yang ia kenakan.

Perlahan, ia membuka suara.

"Maaf... Bu ... maaf, Bapak benar-benar nyesel. Bapak khilaf... Bapak nggak mikir panjang waktu itu..."

Aku diam. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Tanganku hanya sibuk merapikan lauk yang tadi kubuat. Sayur lodeh, sambal, dan ikan goreng yang aromanya seharusnya mengundang selera—kini tak lebih dari simbol luka yang kutelan sendiri. Ia melanjutkan dengan suara yang lebih pelan.

"Bapak tahu ini salah. Tapi jangan dinginin Bapak begini. Aku masih suami kamu..."

Aku menoleh pelan. Pandanganku tajam, tapi tenang.

"Masih suamiku? Setelah bawa zina dengan perempuan janda lain dan bikin malu di depan warga? Jangan pakai kalimat 'masih' kalau yang kamu jaga saja sudah bukan aku."

Dia terdiam.

Terpaku seperti anak kecil yang baru dimarahi gurunya. Aku melipatkan tangan di dada.

Menatapnya tanpa rasa iba, hanya senyum miring yang keluar dari bibirku.

Senyum yang tak lagi mengandung cinta—hanya kepuasan melihat lelaki yang dulu merasa paling berkuasa, kini tak lebih dari bayangan dirinya sendiri.

Tanpa berkata apa-apa, aku berbalik dan masuk ke dalam kamar.

Langkahku mantap, setiap jejaknya adalah luka yang pernah aku telan bulat-bulat.

Di dalam kamar, aku duduk di depan meja kecil tempat biasa aku menyimpan berkas dan surat penting. Kutarik kertas putih dan kugenggam pulpen dengan erat.

Hari ini bukan hanya tentang air mata yang tumpah di depan warga.

Hari ini adalah momen di mana aku menulis kekuatanku sendiri.

Aku mulai menulis...Sebuah perjanjian yang harus dia patuhi.

Kalau dia ingin mempertahankan rumah tangga ini, kalau dia masih ingin disebut sebagai kepala keluarga—meski gelarnya itu sudah lama runtuh di mataku—maka dia harus tunduk pada isi kertas ini.

Setiap kalimat kutulis dengan hati-hati:Kutatap tulisan itu dengan dada penuh keyakinan.

Lalu kulipat kertas itu, dan keluar dari kamar dengan kepala tegak.

"Ramli," ucapku tegas, berdiri di ambang pintu. Dia mendongak, tubuhnya seperti membatu. "Baca ini. Tandatangani. Kalau kamu masih merasa pantas jadi bapaknya anak-anakmu."

"Ini bukan cuma untuk kamu," ucapku tajam.

"Ini juga buat keluargamu. Keluarga yang selama ini kamu bela mati-matian padahal hidupnya cuma numpang dan ngerongrong."

Ramli menatapku dengan dahi berkerut. Tangannya gemetar saat membuka lembaran itu.

"Ini surat perjanjian. Harus ditandatangani, aku tidak mau adikmu yang suka minta uang, kakakmu yang pura-pura miskin tiap Lebaran, dan sepupumu yang suka datang tiba-tiba buat pinjam motor atau duit." Aku menyilangkan tangan di dada. Senyumku masih sama, miring dan dingin.

"Seluruh harta kita—yang bapak dan aku bangun dari nol, dari jualan gorengan keliling, dari makan singkong tiap malam—nggak boleh jatuh ke tangan mereka. Apalagi ke tangan Wulan dan anak-anaknya."

Ramli menghela napas panjang.

"Bapak ngerti... Bapak tanda tangan. Tapi apa harus semuanya dibikin sejauh ini? Mereka itu adalah keluargaku, kalau bukan aku yang bantu, lalu siapa lagi?" Aku menyahut tanpa jeda, suaraku mantap.

"Itu bukan urusanku. Karena bapak yang bikin semuanya sejauh ini. Sekarang tanggung. Kalau keluarga bapak nggak terima, biar mereka datang ke aku langsung. Aku nggak takut, Ramli. Aku cuma nggak mau semua hasil keringat kita dikunyah sama orang yang bahkan nggak tahu rasanya tidur di lantai rumah kontrakan bocor waktu hujan." Ramli menunduk. Tak lagi menjawab. Dia tahu, hari ini bukan lagi tentang cinta atau pengampunan.

Hari ini adalah tentang keadilan. Dan aku tak akan diam demi menjaga perasaan siapa pun.

Sebenarnya, suamiku begitu berat hati saat aku menyerahkan surat perjanjian itu untuk keluarganya.

Dia menunduk lama, tampak bergulat dengan perasaan sendiri.

Setiap bulan, Ramli sudah terbiasa memberikan uang ke keluarga besarnya.

Seolah itu kewajiban yang tak bisa ditinggalkan, tanpa pernah memikirkan bagaimana dulu kami hidup susah, bahkan miskin.

Aku tahu betul, waktu itu kami makan seadanya, tidur di lantai rumah bambu yang bocor saat hujan.

Bapak dan aku berjuang bersama tanpa bantuan siapa pun, sementara keluarganya seperti benalu yang selalu menuntut dan mengambil tanpa rasa syukur. Namun, Ramli seakan terjebak dalam dilema.

Di satu sisi, dia ingin menjaga keluarganya, tapi di sisi lain dia tahu, kalau terus begitu, keluarga besarnya yang seperti benalu itu akan terus menggerogoti hasil jerih payah kami.

Aku berharap, dengan perjanjian ini, semua bisa lebih jelas.

Agar suamiku tahu, bahwa aku bukan hanya menuntut hak, tapi juga ingin menjaga sisa kebahagiaan yang masih bisa kami genggam, demi anak-anak kami yang masih berjuang di sekolah.

...****************...

Tibalah hari yang sudah lama dinanti—hari pernikahan siri Ramli dengan Wulan.

Acara akan berlangsung di balai desa, sederhana dan tanpa kemewahan.

Wulan tampak tidak puas.

"Aku keberatan, Mas Ramli," katanya pelan tapi tegas, "Kenapa harus seadanya? Sebentar lagi kita menikah, harusnya dapat pesta yang layak."

Ramli hanya menghela napas, wajahnya letih.

"Uang ini cuma cukup buat bayar penghulu, Wulan. Nggak ada pesta mewah, nggak ada hantaran. Bahkan mahar pun ala kadarnya."

Wulan semakin marah dan kecewa. Ia meronta-ronta, matanya menyala penuh amarah.

“Kenapa aku harus terima seadanya?!” teriak Wulan, suaranya menggema di dalam kantor balai desa.

“Sebentar lagi aku akan jadi istrimu, Ramli! Aku pantas menikmati semua ini—harta, kebahagiaan, dan kemewahan yang selama ini kamu punya!”

Ramli menatapnya dengan wajah letih dan suara yang lebih tenang tapi tegas.

“Wulan, kamu salah paham. Aku sudah membuat janji padamu... tapi janji itu hanya sebatas kebahagiaan, bukan soal harta.”

Wulan mengerutkan dahi, suaranya berubah menjadi suara penuh dendam.

“Janji? Apa artinya janji kalau aku tidak diberi apa-apa? Aku ingin lebih dari sekadar kata-kata!”

Ramli menghela napas berat dan berkata,

“Harta ini hasil kerja kerasku dan istri pertamaku. Aku berikan kebahagiaan untukmu, tapi harta itu tetap ada batasnya. Aku tidak akan biarkan keluargaku dirugikan.”

Wulan semakin geram, wajahnya memerah.

“Jadi kamu memilih keluargamu dari pada aku? Padahal aku sudah rela jadi istrimu kedua jika kita menikah, bahkan keluarga besarku sebentar lagi datang ke sini. Tapi apa yang aku dapat? Hanya menikah di balai desa dan mahar uang 500ribu. Kamu pikir aku wanita apa? jangan mentang-mentang aku janda kamu menuruti semua perkataan istri tua kamu itu. ”

Ramli menunduk, menahan rasa bersalah.

“Ini bukan soal memilih, Wulan. Ini soal keadilan dan tanggung jawab.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!