Nadine mulai merasa lebih baik setelah beberapa saat.
Hans selesai memberikan pertolong pertama pada pujaan hatinya. Lalu, dokter itu duduk di samping Nadine, masih memperhatikan kondisi kesehatan wanita yang sudah menjadi istri orang lain.
"Seharusnya kamu nggak boleh diam saja, Nad. Kalau seseorang menyakitimu, kamu harus melawan balik! Begitulah sistem di dunia ini bekerja!" katanya pelan, namun penuh emosi dan dendam kepada sang penyiram.
Nadine tersenyum pahit dan berucap, "Beberapa hal tidak berjalan semudah itu, Hans. Ada sesuatu yang harus kulindungi!" katanya.
Hans menatapnya dengan penuh tanda tanya besar, "Lindungi? Siapa? Arka? Atau seseorang yang lebih penting lagi?" tanya Hans dengan nada menuntut jawaban.
Nadine hanya diam.
Wanita itu langsung paham. Jika ia menjawab dan menyebut nama Arka di depan dokter Hans, pasti akan memicu emosi dan amarah sang dokter menjadi lebih berapi-api. Nadine harus pintar menyiasati situasi saat berhadapan atau berbincang dengan teman semasa kecilnya itu.
Di lain sisi, Hans tahu betul dengan melihat wajah Nadine yang begitu tertekan, bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Ada kejanggalan dalam rumah tangga wanita yang sangat dicintainya itu. Entah cekcok dengan Arka atau mertuanya.
Hatinya berdebar, ingatannya berlarian membuka kenangan masa lalu.
Dulu, ia begitu mencintai Nadine, bahkan hingga saat ini. Dan nahasnya, tak pernah bisa memiliki wanita pujaan hatinya itu.
Kini, sekalipun takdir telah mempertemukan mereka kembali, namun dalam keadaan yang begitu menyakitkan.
"Aku nggak akan membiarkan ini berlalu begitu saja, Nad. Aku akan menuntut pelakunya!" katanya dengan penuh tekad dan amarah.
Nadine menatap Hans dengan ekspresi sedih, "Jangan, Hans. Aku tidak ingin membuka masalah yang lebih besar lagi. Terutama melibatkanmu dalam permasalahanku pribadi. Aku tidak ingin kehidupanmu yang sudah tenang dan tentram ini, jadi hancur dan berantakan lantaran dirku. Jangan, ya!" pinta Nadine dengan nada lembut seraya memohon. Banyak tenaganya habis dan terkuras karena ucapan panjangnya itu.
Mendengar ucapan penuh kehangatan dan lembut, hati dan nurani Hans kembali tersentuh. Akhirnya Hans luluh perlahan demi perlahan.
Namun, amarahnya yang meluap dan tak terbendung, mengendalikan otak dan keputusannya.
"Nggak bisa! Sudah terlambat, Nad. Aku nggak akan tinggal diam melihatmu diperlakukan secara tidak manusiawi seperti ini!" katanya tegas, tatapanmya tajam.
Di sudut hatinya, Hans merasa marah dan frustasi. Ia ingin membalaskan dendam untuk Nadine. Tapi, sang pujaan hatinya itu selalu menahan dirinya dan mencegah dengan sikap lembut yang tidak bisa Hans tolak.
"Baiklah, kalau itu maumu, Nad. Aku tidak akan membalaskan dendam. Tapi, kamu harus ikuti perintahku selama di rumah sakit ini. Walau bagaimanapun, sekarang aku adalah bosmu untuk kesehatan dan perbaikan wajahmu!" ucap Hans.
"Tapi... kamu nggak perlu menanggung semua beban biaya perawatanku. Semua akan ditanggung oleh mas Arka." ucap Nadine.
"Arka lagi... Arka lagiiiii.....! Nad, dengar ucapanku! Dia tidak ada di sini sekarang, Nad. Kamu udah ditinggal pergi sama suamimu! Lelaki mana yang masih berkeliaran di luar sana, sementara istrinya sedang terbaring di rumah sakit?" gerutu Hans, mencibir Arka yang tidak diketahui keberadaannya saat ini.
"Jaga mulutmu, Hans! Dia adalah suamiku. Kalau kamu menghinanya, secara otomatis kamu menghinaku juga!" bantah Nadine, yang merasa tidak terima jika Arka dihina seperti itu.
Rasa cintanya kepada Arka sudah mendarah daging dan menutup logika berpikir Nadine untuk saat ini.
"Oke, aku minta maaf soal itu. Terkait hal yang menyinggung dirimu." ucap lagi dokter Hans dengan lembut.
"Tapi... dengan tidak adanya sosok Arka di belakangmu saat ini, kamu mau bayar pakai apa semua biaya perawatan dan pengobatan ini, Nad?" tanya balik Hans.
Nadine semakin dibuat terdiam kelu. Mulutnya terasa kaku dan berat, untuk mengucap hal berbau finansial tanpa keberadaan atau kehadiran Arka.
Lalu, tiba-tiba Bu Minah dengan senyum mereka, membuat Nadine penasaran.
"Kenapa Bu Minah senyum-senyum sendiri?" tanya nya dengan polos.
"Nggak ada yang lucu! Nggak perlu diketawain segala!" sergah dokter Hans. Ia merasa, Bu Minah sedang mengolok-olok dirinya yang sedang berbincang dengan Nadine.
Kemudian, Bu Minah mengeluarkan sebuah kartu sakti titipan Arka. Sebuah kartu kredit yang mungkin bisa melunasi seluruh tagihan perawatan dan pengobatan Nadine, dengan sekali gesek.
Hans hanya mengangguk pelan. Ia menyerah untuk melunasi biaya Nadine.
Bukan karena kartu sakti Arka, tetapi Hans tahu, Nadine akan semakin merasa tidak enak dan akhirnya marah terus-terusan kepada dirinya, dengan alasan tidak terima kebaikan itu.
Hans tidak mau hal tersebut terjadi.
"Istirahatlah, Nad. Aku akan berjaga di sini," katanya lembut.
Nadine menatapnya sejenak, "Nggak usah repot-repot, Hans. Ada Bu Minah yang selalu siap siaga menemaniku. Kamu tangani pasien-pasienmu, yah!" ucapnya penuh kelembutan.
"Oke. Aku paham. Tapi, minimal banget kamu harus rawat inap di sini selama tiga hari. Tidak boleh kurang!" perintah Hans.
Nadine mengiyakan.
Tak lama, ia lalu menutup matanya karena sudah lelah dan tak berdaya lagi.
Hans mengusap wajah sang pujaan hati yang sudah terlelap, tanpa perlu meminta izin kepada Bu Minah.
Ia pun coba menenangkan dirinya sendiri. Di luar ruangan, suasana rumah sakit nampak sibuk seperti biasa.
Tapi, di dalam hati dan jiwa Hans, badai mulai berkecamuk. Dokter itu tidak akan membiarkan kejadian ini berlalu begitu saja. Hans mulai merencanakan untuk balas dendam, meskipun tanpa meminta izin atau persetujuan Nadine.
Hans menyarankan agar Nadine melakukan operasi atau cangkok kulit. Karena sebagian wajahnya sudah rusak.
Setelah bangun dari tidur panjang dan sebelumnya telah mendapatkan perawatan (pertolongan pertama) dari Hans, Nadine mulai merasa lebih baik.
Nadine juga telah mendapat kamar rawat inap yang sangat nyaman dan privasi, tidak bersama pasien lain. Tak tanggung-tanggung, langsung berada di kamar kelas VVIP.
Ia menatap keluar jendela kamar rumah sakit dengan pandangan kosong. Pikirannya hanya diisi oleh satu wajah, Arka.
Niatnya dipenuhi keinginan untuk segera pulang. Secepat dan sebisa mungkin. Namun, ketika ia hendak bangkit dari ranjang, Hans segera menahannya.
"Kamu kok bandel sih dibilanginnya? Kamu masih belum boleh pergi, Nad. Aku sudah bicara dengan tim medis dan memeriksa hasilmu. Intinya, kamu harus menjalani rawat inap! Minimal selama tiga hari tiga malam di sini," ucap Hans tegas.
Nadine menghela napas panjang, merasa frustasi dengan keputusan itu.
"Aku nggak bisa, Hans. Aku harus segera pulang dan beristirahat di rumah. Aku takut, ketika mas Arka pulang, aku tidak ada di rumah." jawabnya dengan suara lemah dan penuh kekhawatiran.
Namun, Hans tidak goyah dengan keputusannya.
"Untuk sementara, kamu fokus untuk dirimu sendiri, Nad. Aku tidak ingin kamu keluar ruangan ini dengan kondisi yang masih sangat lemah." ucap Hans.
Hans semakin mendekat dan menatap Nadine dengan penuh perhatian. "Aku yang akan nanggung seluruh biaya pengobatanmu. Tenang saja. Kamu nggak perlu khawatir tentang apapun. Tugasmu cuma satu: Fokuslah untuk sembuh!" pinta Hans sekaligus memerintah Nadine.
Bersambung......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments