Dalam pertanyaannya itu, menyimpan banyak harapan dan asa, terkait kabar menghilangnya Arka.
"Sejak dua minggu lalu, Bu." jawab karyawan tersebut.
Dadanya berdebar. Itu berarti sejak hari Arka menghilang, dia bahkan tidak pernah masuk kerja hingga hari ini.
Nadine melangkah pergi keluar kantor dengan langkah gontai. Pikirannya semakin kacau dan kalut. Ke mana perginya Arka? Mengapa suaminya pergi tanpa pamit terlebih dahulu?
Tiba-tiba, sebuah kemungkinan menghantam pikirannya. Apakah Arka pergi karena seseorang? Tega kah suami yang sangat mencintainya, pindah ke lain hati dan mengkhianati Nadine dari belakang?
Semua kecamuk dalam pikiran Nadine seolah digulung ombak samudera yang tak menentu. Menghempas dan menghantam batinnya dari arah tak terduga.
Tidak... Tidak!
Nadine masih menggeleng kuat-kuat. Sedikit rasa cinta megguatkan dirinya.
Ia kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali momentum pernikahan mereka. Meyakinkan dalam hati, bahwa: Arka selalu mencintainya.
Namun, saat ia pulang ke rumah, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Lemari pakaian Arka kosong. Beberapa baju dan barang pribadinya menghilang.
Saat itu juga, Nadine sadar.
Arka tidak sekadar menghilang. Suaminya pergi dengan sengaja. Tanpa pamit sedikitpun padanya.
Ke manakah tujuan Arka pergi dengan mempersiapkan semua itu? Batin Nadine semakin memberontak dan resah. Pikirannya kini bagaikan benang kusut.
------
Lebih dari dua minggu semenjak Nadine tinggal di rumah megah itu, tanpa kehadiran sosok Arka. Ia tabah menunggu.
Selama dua minggu itu pun, ia merasakan layaknya neraka di kediaman Hartono.
Berkali-kali ia mendapaat cemooh, caci maki, bahkan kekerasan oleh mertua dan juga kerabat suaminya.
Nadine sudah tidak sanggup lagi berada di rumah tersebut. Satu-satunya hal yang menguatkannya adalah kehadiran sang suami. Hanya Arka seorang, yang paling ditunggu Nadine.
Itulah satu-satunya obat paling ampuh, yang dapat menyembuhkan resah dalam pkiran, dan luka dalam batinnya saat ini.
Namun, Arka tak kunjung memberikan kabar maupun pesan sebelum kepergiannya.
"Anakku sedang pergi dalam jangka waktu yang lama untuk urusan bisnis penting. Kamu nggak usah nungguin dia lagi!" ketus Miranda kepada Nadine pagi itu.
"Kenapa saya dilarang untuk menunggu suami sendiri, tante?" tanya Nadine keheranan.
"Ya, cuma ngasih saran aja. Biasanya, seorang Manager atau CEO muda yang habis pulang dari rapat bisnis, di sana dia udah jajan atau punya simpanan baru. Laki-laki mana yang bisa tahan tiga hari tanpa kehangatan dari seorang wanita!" lanjut Miranda memprovokasi Nadine, menantu yang sama sekali tidak dianggap hingga sekarang.
"Nggak mungkin! Arka sangat mencintaiku. Dia tidak akan main wanita, apalagi berselingkuh di belakangku!" ucap Nadine dengan mantap dan penuh keyakinan.
"Yeee... gadis kampungan kayak kamu, mana paham dunia bisnis yang penuh kepenatan itu! Pasti lah mereka butuh hiburan selama memikirkan hal besar. Salah satu hiburannya... yaaa, apalagi kalau bukan sama wanita penggoda!" jawab Miranda dengan nada kesal.
"Toh... saat mereka jauh dari istri masing-masing, mereka kembali bujang dan burung mereka siap untuk mencari sarang baru!" lanjut Miranda, dengan analoginya yang dia rasa sangat keren.
Miranda belajar hal tersebut dari tontonan drama di televisi.
"Saya tetap nggak percaya, tante! Pokoknya, saya akan menunggu mas Arka sampai kapanpun!" sanggah Nadine.
"Terserah....!!! Kamu emang keras kepala orangnya!" ucap Miranda sambil meninggalkan Nadine yang terdiam di ruang tamu itu.
------
Nadine berkali-kali menguatkan pikirannya. Ia selalu meyakinkan hatinya, kalau Arka tidak akan pernah mengkhianati ataupun menyakitinya. Meski dalam jarak yang sangat jauh sekalipun.
Namun, batinnya kembali terusik oleh bisikan-bisikan yang melemahkan cinta kepada Arka.
Tapi, suami mana yang pergi tanpa berpamitan kepada istrinya? Apalagi, pergi dalam waktu yang lumayan lama? Batinnya kembali berguncang.
Perlahan tapi yakin, Nadine percaya kalau ia sedang dijauhkan oleh suaminya. Semu karena rencana dan perbuatan sang mertua yang sangat membencinya, Miranda.
Sampai pada suatu hari, Nadine mendapat kekerasan yang sudah diluar batas seorang mertua kepada menantunya.
Ia disiram air keras oleh Miranda di bagian wajah..!!!
Untungnya ia sigap memejamkan mata dan melindungi indra penglihatannya itu.
Nadine masih terduduk di lantai, dengan tubuh yang menggigil hebat. Linangan air matanya mengalir deras dan sepasang mata yang bengkak akibat tangis isak berkepanjangan.
Wajahnya yang melepuh oleh sirama air k-ras dari Miranda, terasa semakin perih, seolah terbakar api yang tak kunjung padam.
Sesekali, ia mencoba untuk menguatkan dirinya, mengangkat kepala yang mulai terasa berat, hanya untuk menatap ke arah Bu Minah, asisten rumah tangga kepercayaan Arka.
Namun, rasa sakit yang luar biasa sampai membuatnya kehilangan kekuatan. Tubuh istri muda itu kembali terkulai di pangkuan asisten rumah tangga yang masih setia menemaninya.
Di sekitar mereka, lantai marmer yang berwarna dasar putih, kini berceceran air yang berasal dari teko yang sebelumnya digunakan oleh Miranda untuk menyiram danmenyakiti Nadine.
Tidak ada satu pun penghuni rumah yang peduli, seolah pemandangan menyedihkan barusan, hanyalah hiburan yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
Dalam tangisnya, Nadine mengutuk mereka semua!
Bu Minah pun tak mampu menahan belas kasihan dan iba yang semakin membuncah di dalam relung hatinya. Dengan tangan yang gemetar hebat, ia mencoba menyeka keringat yang membasahi kening Nadine, berharap bisa sedikit meringankan penderitaan istri majikannya itu.
"Nyonya Nadine, tolong ditahan rasa sakitnya. Saya akan membawa Anda ke rumah sakit sekarang juga. Bertahanlah!" bisiknya penuh kepanikan, tapi diselimuti kepedulian besar.
Namun, langkahnya segera terhenti saat suara Miranda kembali menggema di ruangan yang luas itu.
"Berani-beraninya kau bawa perempuan murahan ini keluar dari rumahku! Biakan dia tergeletak di situ, supaya merasakan penderitaan yang lebih besar lagi!" Bentakan barusan membuat Bu Minah semakin geram, namun ia tambah kesal karena tidak bisa berbuat banyak.
Asisten senior itu tahu betul, kalau tak ada gunanya melawan wanita kejam seperti Miranda.
Hartono yang sejak tadi hanya berdiri mematung, mengamati rentetan kejadian dengan wajah dingin, akhirnya membuka suara.
"Minah, kau sebaiknya ingat posisimu di rumah ini. Jika kau berani membawa perempuan ini keluar dari rumah, apalagi ke rumah sakit, saya pastikan kau akan menyesal perbuatan itu hingga seumur hidup." gertak Hartono, suaranya terdengar dingin namun penuh aancaman, membuat jantung Bu Minah berdebar lebih cepat.
Bu Minah kini berada dalam dilema besar.
Namun, rasa takutnya tak sebesar iba dan kasihan yang ia rasakan terhadap Nadine.
Dengan napas berat, Bu Minah menggenggam tangan Nadine sampai erat, seolah memberi isyarat khusus, bahwa ia tak akan membiarkan wanita itu menderita sendirian. Ia takkan membiarkan istri cantik majikannya, tersakiti lebih dari ini.
"Saya tidak peduli dengan ancaman itu, Tuan Hartono. Saya cuma mau menyelamatkan Nyonya Nadine. Apalagi beliau ini istri dari majikan saya. Menantua kalian berdua!" balasnya dengan suara bergetar.
Nadine yang merasakan sakit teramat perih, dan masih terisak, hanya bisa mendengar semua perdebatan itu dengan pandangan lemah.
Di dalam hatinya, ia merasa telah hancur lebur, sampai berkeping-keping!
Bagaimana bisa, dua orang yang seharusnya menjadi orang tuanya, menyayangi dan menghormatinya layaknya menantu pada umumnya, tega memperlakukannya seperti ini?
Bahkan, ketika tubuhnya sudah hampir tak berdaya lagi seperti saat ini, mereka masih enggan menunjukkan sedikit pun belas kasih. Justru yang ada malah tambah senang melihat penderitaannya.
"Bu Minah… saya mohon… bawa saya pergi dari sini…" lirihnya hampir tak terdengar. Ia meminta dengan nada parau.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments