Livia menatap pabrik besar di depannya dengan perasaan tidak karuan. Dadanya bergetar, sulit dipercaya ibunya benar-benar memintanya untuk menjadi kepala pabrik teh dan mengurus semuanya.
"Kenapa aku? Apa aku terlihat mampu melakukan hal ini?" batin Livia menelan ludah, mencoba meredam rasa gentar yang tiba-tiba menyeruak.
Dara pemilik di pabrik ini, berdiri di samping sambil menjelaskan semua detail. Mulutnya bergerak cepat, memaparkan tanggung jawab besar yang harus ditangani. "Ini ruangan kerjamu, Nak. Kamu harus mengerjakan semua berkas ini, lalu memberikan hasilnya kepada Joseph, pemimpin kantor yang berada di kota," ucapnya tegas.
Livia mengangguk pelan, meski benaknya dipenuhi kekhawatiran. Begitu masuk ke ruangan, ia menghembuskan napas berat. "Tamat SMP saja aku hanya Wulan yang sederhana. Mana mungkin aku mampu melakukan pekerjaan serumit ini?" pikirnya, sambil membolak-balik berkas di atas meja. Tapi kemudian ia teringat sesuatu. "Tidak ... aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus belajar, langkah demi langkah. Waktu pasti akan membantuku," gumamnya pelan, mencoba menyemangati diri sendiri. Dengan ragu, ia memberanikan diri bertanya pada ibunya yang berdiri di dekat.
"Apa aku mendapatkan gaji?" tanya Livia pelan, mencoba mengalihkan pikiran dari ketakutan.
Dara tersenyum, anggukannya membawa sedikit rasa tenang dalam dada. "Tentu, kamu akan mendapatkan gaji besar. Fokuslah pada dirimu sendiri, Nak. Jangan biarkan masalah suamimu terus-menerus mengganggu pikiranmu. Mama yakin, nanti melihat perubahanmu, suamimu juga akan luluh dengan sendirinya."
Kata-kata Dara seharusnya menjadi motivasi, namun Livia masih merasa bingung. Sekuat apa pun ia ingin percaya, ada bagian dari dirinya yang penuh keraguan.
Livia menghela napas panjang sekali lagi, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Apa ada seseorang yang bisa membantuku, Ma?" Suaranya terdengar bergetar. "Ak ... aku benar-benar tidak paham dengan semua ini." Dipandangi wajah ibunya, berharap ada kepastian di sana. "Apakah aku bisa benar-benar menjalani peran ini? Atau aku hanya akan menjadi beban baru di tempat ini?" batinnya.
Beberapa menit kemudian, seorang pria masuk ke dalam ruangan dan memperkenalkan diri dengan nada serius. "Namaku Tino. Saya ditugaskan untuk mengajari Nona ke depannya. Setelah itu, saya akan pindah ke pabrik di luar kota."
"Panggil nama saja, jangan sebut Nona-Nona. Itu membuatku tidak nyaman, apalagi kamu lebih tua dariku. Senang berkenalan denganmu, Tin. Maaf merepotkanmu nanti," ucap Livia sambil tersenyum manis.
Dara hanya berdiri dan memperhatikan mereka dari jauh. "Sejak kapan Livia bisa mengucapkan kata maaf dan terima kasih dengan begitu santun? Hatinya terkejut sekaligus sedikit lega melihat perubahan ini. "Ada apa dengannya? Apa mungkin dia mulai belajar untuk bersikap lebih baik?" gumamnya dalam hati, sebelum perlahan meninggalkan mereka berdua.
Hari ini, Livia mulai memahami tugas yang harus dikerjakannya nanti di pabrik. Ia dulunya murid yang sangat cerdas, tapi pendidikan tinggi tidak bisa digapainya karena keadaan ekonomi keluarga yang minim. Baginya menyimpan potensi besar yang selama ini terabaikan.
Namun, raut Tino yang tampak enggan sejak awal. Wajahnya memberi isyarat yang tidak bisa disembunyikan, dan membayangkan apa yang mungkin berkecamuk dalam pikirannya.
"Dia benar-benar Livia? Gadis yang dulu selalu menyindir orang dengan kata-katanya yang tajam? Bahkan dia pernah berkata bahwa bekerja di pabrik milik ibunya adalah hal yang memalukan," batin Toni bisa melihat keraguan di matanya, seolah ia sedang bertanya-tanya apakah perubahan Livia ini adalah sesuatu yang tulus atau hanya permainan untuk sesaat..
******
Malam itu, Livia duduk di depan laptop, melanjutkan pekerjaannya sambil berusaha menyerap pelajaran dari Tino. Pikiran Tino tadi siang benar-benar masuk akal. "Dia benar, aku memang harus cepat tanggap kalau ingin berhasil."
Namun, suasana serius Livia mendadak terusik. Jeni tiba-tiba menyelonong masuk ke kamar tanpa izin.
"Kamu seriusan kerja di pabrik ibumu? Kenapa nggak sekalian jadi manajer di hotel? Kamu terlalu polos, Livia. Ada rencana bodoh apa lagi kali ini?" sindir Jeni dengan nada mengejek.
Livia mendesah pelan sambil menahan rasa kesal. Masih menatap laptop, ia menanggapi dengan santai, "Sepertinya kamu lupa diajarkan sopan santun, ya? Main nyelonong masuk ke kamar orang begitu saja." Ada sedikit tawa ringan di suaranya, cukup untuk menunjukkan tidak terpancing emosinya.
Namun, Jeni jelas tidak terima dengan responku. Ia mengepalkan tangannya dengan keras, lalu membalik kursi Livia hingga kini berhadapan dengannya. Tatapannya tajam, penuh emosi. "Jangan pura-pura bodoh! Kamu pikir kebodohanmu ini bisa menipu kami semua? Sampai kapan pun, Alex tidak akan pernah jatuh cinta sama kamu!" Ucapan itu membuat Livia tertegun untuk sesaat, tapi segera menarik napas dalam-dalam dan memulihkan ketenangan dirinya.
Livia tersenyum kecil, menyiratkan kepercayaan diri yang baru saja didapatkan. "Dulu aku memang sengaja bersikap manja kepadanya," katanya pelan, namun nada tegas, "tapi sekarang segalanya berubah. Aku sudah selesai menjadi Livia yang dulu. Apakah dia mau mencintaiku atau tidak, itu bukan urusanku lagi."
Livia mendongakkan dagu sedikit, menatap Jeni tanpa rasa gentar. "Kalau kamu ingin menyalahkan aku yang sekarang lebih dingin, salahkan diriku yang dulu terlalu naif. Hidup mengajarkan banyak hal, Jeni," tambahnya sebelum kembali fokus ke layar laptop.
"Mau sampai kapan pun, kapten Alex tetap dingin denganmu dan tidak akan pernah mencintai istrinya. Padahal Alex mau dijodohkan kepadaku, tapi karena jebakanmu yang licik! Aku kehilangannya!" Jeni menatap tajam ke wajah Livia sangat dekat, aura marahnya keluar langsung.
"Hahahha ... kasihan sekali, itu berarti kamu lemah dan tidak mampu menyeimbangiku ini. Satu lagi, kalau kamu menginginkan suamiku ... silahkan kamu ambil," kata Livia kembali dengan laptopnya.
"Apa yang kamu lakukan, Jeni?" tanya Vanesha ikutan masuk ke dalam. "Jangan mencari gara-gara dengan Livia, kamu harus jaga etika dan jangan merusak reputasimu."
Jeni tersenyum tipis. "Tenang saja, aku bisa menjaga etikaku dan mendekati ibu mertuanya Livia. Pelan-pelan aku menghasut beliau itu, lalu membenci menantunya ini. Besok pagi, aku diundang minum teh bersama keluarga Verick. Sayangnya Livia tidak."
"Sudahlah, tidak peduli dengan Livia mau diundang atau tidaknya. Dia pasti datang besok pagi," Vanesha menarik lengan kakaknya itu.
Namun, Livia mengacuhkan semuanya dan tetap fokus dengan tujuan. Bukannya tenang bekerja di kamar, Rekha masuk tanpa basa-basi maupun mengucapkan permisi.
"Sumpah! Aku ingin mengamuk kali ini, bisa-bisanya kamarku tidak bisa terkunci. Besok aku harus mengganti pintu itu," batin Livia meremas pena di tangannya.
"Besok kamu datang dengan Tante ke acara minum teh bersama, ya? Jangan pedulikan soal mereka," kata Rekha mendekati keponakannya.
"Jangan harap aku mau, wanita ular. Pasti wanita ini, suka sekali mendukung Livia dan membuat semua orang benci pada pemilik asli tubuhmu. Sekarang aku Wulan ... tidak ada siapapun yang bisa memainkanku," batin Livia mengangguk kecil.
"Bagus, Livia mau aku ajak pergi besok ke acara itu. Meyakin keluarga Verick semakin membenci seseorang yang datang tidak diundang," batin Rekha. "Hmmm ... Tante punya ide bagus."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Dewi Sri
ceritanya lumayan bagus tp sepi komentar...tetap semangat ya othor, sy baru nemu cerita ini
2025-06-20
0