Di tempat Yoga terlihat dirinya yang tengah mengantri makan siang bersama napi yang lain. Bams dan Fajri juga mengantri dan berdiri di belakangnya. Yoga mengambil sepiring makanan yang telah petugas kantin sediakan kemudian mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Di sana!" Fajri menunjuk bangku kosong di sudut ruang makan yang sepertinya cukup untuk mereka bertiga. Suasana amat ramai di mana ruang makan untuk para napi itu bisa diisi kurang lebih 300 orang walau sedikit berdesakan.
Prang!
Suara nampan yang beradu dengan kerasnya lantai terdengar saat seorang napi tanpa sengaja menabrak Yoga. Makan siang Yoga pun jatuh di lantai dan berserakan.
"Ya ampun, maaf, maafkan aku!" kata pria itu dengan ketakutan yang tampak samar di wajah. la berniat menyela antrian namun tanpa sengaja menabrak Yoga yang berjalan berlawanan arah dengan lajur antrian.
"Hei! Ada ribut-ribut apa di sana!" teriak polisi penjaga mendengar kegaduhan yang pria itu ciptakan. Yoga hanya diam dan berniat kembali mengantre. Namun, pria itu segera mencegah.
"Tunggu, aku akan mengambil makanan untukmu. Tunggulah di tempat dudukmu, aku akan mengambilkannya," ucap pria tersebut sebagai permintaan maafnya. Setelah itu segera membereskan makan siang Yoga yang berserakan.
"Tsk, sudah, Ga. Biarkan dia bertanggung jawab ," ucap Bams mengajak Yoga segera duduk membiarkan pria itu mengambilkan Yoga makan siang.
Yoga hanya diam kemudian mengikut saran Bams berjalan menuju tempat duduk yang telah mereka incar.
Pria tersebut segera membuang makanan Yoga ke tempat sampah kemudian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. "Kau akan mati."
---
"Ini, silakan." Pria yang sebelumnya menabrak Yoga, memberinya sepiring makanan. Meletakkannya ke atas meja di depan Yoga, ia kembali meminta maaf dan berniat pergi sana.
Yoga menatap makanannya dalam diam tak mendengarkan celotehan yang pria itu utarakan. Dan saat pria itu hendak pergi, ia segera mencegah dengan menahan tangannya.
"Tunggu, mana milikmu?" tanya Yoga tanpa ekspresi berarti.
"Aku akan mengantri kembali," jawabnya.
Yoga hanya diam tanpa melepas tangan pria tersebut. Setahunya tidak ada jatah makanan kedua. Jika ada insiden seperti ini, napi tidak akan mendapat jatah makan lagi dan harus menunggu makan malam.
"Sudahlah, Ga. Biarkan saja dia. Siapa suruh dia menabrakmu," sahut Bams agar Yoga memakan jatah pria itu.
Yoga menarik tangan pria tersebut dan mendudukkannya di sampingnya. "Aku tidak lapar. Kau makanlah."
"A- apa? Ti- tidak perlu. Lagipula aku sudah bersalah menabrakmu. Ini sebagai bentuk tanggung jawabku," kata pria tersebut dengan sedikit terbata. la tampak gugup dengan keringat yang tampak basah di dahi.
"Baiklah. Kalau begitu kita bagi dua," kata Yoga yang membagi makan siangnya itu menjadi dua bagian namun tetap di satu piring yang sama.
Fajri dan Bams menatap Yoga dengan pandangan tak terbaca. "Kau terlalu baik, Ga," batin keduanya.
"Su-sungguh, ti- tidak perlu." Pria bertubuh sedikit kurus itu berusaha menolak. la berusaha pergi, namun tangan Yoga menahan pahanya agar tetap duduk.
"Sekarang, makan dulu punyamu. Bagaimanapun ini tetap milikmu," ucap Yoga yang tiba-tiba raut wajah serta suaranya menjadi dingin. Hal itu pun membuat Fajri dan Bams curiga. Seketika mereka pun memikirkan hal yang sama.
Seringai Bams merekah. la mengambil sesendok makanan milik Yoga dan berniat menyuapkannya pada lelaki tersebut. "Bagaimana kalau aku suapi?"
Fajri bangkit dari duduknya kemudian duduk di sebelah pria tersebut. Kini pria tersebut diapit oleh Yoga dan Fajri. Fajri merangkul bahu pria tersebut membuat pria itu kian gusar dan tampak jelas tak tenang.
"Ngomong-ngomong, siapa namamu? Kau napi baru? Aku baru melihatmu di sini," ucap Fajri.
"Ayo, aaa ...." Bams membuka mulutnya mencontohkan pria tersebut agar melakukan hal yang sama dan menerima suapan darinya.
Pria tersebut berusaha bungkam, menutup mulutnya saat sesendok nasi dan lauk itu nyaris menyentuh bibirnya yang terkatup. Namun, Fajri segera menghalangi, tangannya mendorong sendok yang Bams sodorkan.
"Tunggu dulu, kita belum berkenalan. Biarkan dia mengatakan siapa namanya dulu," ujar Fajri.
Bams menjentikkan jari. "Ah, ya, kau benar. Jadi, siapa namamu, kawan."
Keringat dingin semakin membanjiri tubuh pria tersebut. "Ma- maaf, aku harus ke toilet. Aku sudah tidak tahan lagi," ucap pria itu berusaha bangun dan berdiri. Sayangnya Fajri kembali membuatnya duduk dengan kasar.
"Apa maksudmu? Kau bahkan belum makan dan minum sudah mau ke toilet? Bams, berikan dia makanan. Lihat ini, tubuhnya gemetaran, dia pasti sangat lapar."
Senyuman Bams merekah, namun tampak mengerikan di mata pria itu. la tak berani menyebutkan namanya, ia juga berusaha pergi dari sana membuat Bams dan Fajri semakin yakin ada yang tidak beres dengannya.
"Aaa ...." Bams kembali membuka mulutnya menuntun pria itu ikut membuka mulut.
"Tu-tunggu. A- aku bisa sendiri," kata pria itu dengan suara lantang dan hal itu cukup membuat Fajri dan Bams terkejut. Berbeda dengan Yoga, dirinya tetap tenang menatap pria itu dalam diam.
Bams meletakkan sendok dari tangan dan mempersilakan pria tersebut melakukan seperti yang dikatakannya.
Tangan pria itu bergetar. la melirik Yoga dan Fajri di sebelahnya kemudian sekilas menatap Bams di hadapan. la menelan ludah susah payah saat tangannya yang gemetar hendak mengambil sendok tersebut. la telah mencampur makanan itu dengan racun, jika ia memakannya ia akan mati dalam hitungan menit. Tapi, jika dirinya tidak melakukannya, penyamaranya pasti terbongkar. Hanya ada dua pilihan, mengaku pada Yoga, atau tetap menuruti perintah dengan mengorbankan nyawa.
Tangan pria itu kian gemetar hebat, keringat kian membanjir wajah. Dan saat sendok berisi nasi itu telah berada di depan mulutnya, matanya tampak berkaca-kaca. la kira tugasnya bisa berjalan dengan mudah, tapi sepertinya Yoga telah mengetahui rencananya.
Pria itu menelan ludah susah payah dan membuka mulutnya pelan-pelan. Dan saat sendok itu tinggal sedikit lagi masuk ke dalam mulutnya diiringi derai air mata yang lolos dari sudut matanya, tangan Yoga menepuk bahunya.
"Sudahlah, sepertinya dia memang tidak lapar," ucap Yoga dan membantu pria tersebut menurunkan sendok di tangan. "Baiklah, kalau begitu biar aku makan," ucapnya kembali seraya mengambil sendok yang pria itu letakkan ke piring.
Air mata pria itu kian mengalir deras dan sebelum ujung sendok itu menyentuh mulut Yoga, ditepisnya tangan Yoga hingga sendok berisi nasi itu terlempar.
Pria itu bangkit dari duduknya kemudian bersujud pada Yoga dan meminta maaf. "Maaf, maafkan aku. Maafkan aku!" ucapnya dengan tangisan keras. Seluruh emosinya keluar. la tak mengira Yoga berniat menyelamatkanya, membuatnya pun melakukan hal yang sama. Dirinya belum ingin mati.
Seluruh pandang mata para napi tertuju pada pria tersebut. Mereka berpikir telah terjadi sesuatu yang berhubungan dengan Yoga. Semua orang di sana sudah tahu siapa Yoga dan tidak ada yang berani dengannya. Bukan karena takut, tapi Yoga merupakan napi yang selalu tenang dan tidak pernah membuat ulah dengan napi lainnya. Lebih tepatnya dia disegani napi-napi di sana.
Yoga bangkit dari duduknya, berjongkok di depan pria itu dan menuntunnya mengangkat kepala. "Jangan pernah bersujud selain pada Sang Pencipta," ucapnya.
Pria itu mengangkat kepala, menatap Yoga dengan jejak air mata membasahi wajah. Ia tidak tahu kenapa seseorang menyuruhnya menghabisi Yoga, padahal ternyata Yoga adalah orang baik meski ia tahu Yoga berada di sana karena kasus pembunuhan.
"Siapa yang menyuruhmu," tanya Yoga dengan suara terdengar datar.
Bibir pria itu bergetar, ia ingin menjawab namun ancaman seseorang yang menyuruhnya terus terngiang dalam kepala.
"Aku akan menghancurkan keluargamu."
Satu kalimat orang itu terus berputar-putar dalam otak. Tapi mengingat Yoga mencegah kematiannya, ia ingin membalas budi dengan menjawab pertanyan Yoga.
"Ada apa ini!" Dua orang penjaga menghampiri mereka.
"Pria ini berusaha mengganggu Yoga makan siang," celetuk seorang napi yang duduk di sebelah meja Yoga.
Mendengar itu dua polisi segera mengangkat tubuh pria itu. Kedua tangan kekar polisi itu mencengkram punggung pria tersebut dan satu tangan masing-masing mencengkram tangan pria itu di balik punggung.
Pria itu bernafas lega, berpikir dua polisi itu telah menyelamatkannya. Sayangnya, ia salah.
Beberapa saat kemudian erangan dan rintihan menahan sakit terdengar dari sebuah ruangan gelap.
"Kumohon, maafkan aku, ampuni aku. Aku sama sekali tidak mengatakan apapun padanya," ucap pria yang saat ini terikat di kursi di tengah ruangan. Kedua matanya ditutup selembar kain hitam dan tubuhnya telanjang.
Seseorang yang berdiri di dalam kegelapan melangkah mendekat. Dan saat berdiri tepat di hadapan, sebuah tongkat besi menghantam tubuh pria itu. Pria yang sebelumnya berniat meracuni Yoga.
Rintihan pria itu kian terdengar pilu. Tubuhnya telah babak belur. Meski begitu tak ada belas kasih dari dua orang berseragam polisi serta satu orang berpakaian rapi yang menjadi penyebab kemalangannya saat ini.
"A- apa?" suara Novi bergetar begitu juga dengan bibir dan tubuhnya setelah mendengar dari Satya bahwa Reza telah meninggal. Pantas saja Reza tak pernah lagi mengunjunginya selama ini. Tapi karena masih ada uang yang masuk ke rekeningnya, ia pun tak berpikir jauh, berpikir Reza telah mati.
"Jadi Satya. nenek benar-benar tidak tahu?" tanya
Tangan Novi yang menutupi mulut turun perlahan. Air matanya mengalir jatuh dengan derasnya. Suaranya terdengar lirih kala menyebut nama Reza. "A- aku... sama sekali tidak mengetahuinya. Kenapa harus Reza?" Novi menahan isak tangisnya.
Satya mencoba menjelaskan semuanya, mengenai jalan kematian Reza dan apa yang terjadi pada ayahnya sekarang. Dan hal itu semakin membuat Novi tak sanggup berkata-kata.
Setelah Reza membawanya tinggal di sana, ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi dengan seluruh keluarganya. Dan ia begitu tak menyangka semua masalah yang terjadi selama ini karena ulah satu orang, yaitu Indra.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments