Kendi

Langkah Lestari terhenti tepat di hadapan pohon beringin tua. Cahaya bulan menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan yang menari-nari di tanah. Pohon itu berdiri diam, tapi udara di sekitarnya terasa seperti bernafas, dingin, berat, dan hidup.

Orang yang berdiri di balik pohon perlahan melangkah maju. Seorang perempuan tua, berkerudung lusuh dengan sorot mata kosong. Bukan perempuan yang pernah Lestari lihat dalam mimpinya, tapi ada aura serupa, dingin, kuno, dan tak berasal dari dunia yang sama.

"Kau datang," suara perempuan itu berat, nyaris tanpa intonasi. "Tapi kau terlambat satu malam."

"Apa maksudmu?" tanya Lestari. Ia memeluk mushaf lebih erat di dada. Angin malam seperti menghembuskan sesuatu yang tak terlihat ke arahnya.

"Seseorang sudah menanam darah di bawah rumahmu. Dan pintu itu… sudah terbuka."

Lestari menelan ludah. "Apa yang harus aku lakukan?"

Perempuan itu menyodorkan sebuah kendi kecil dari tanah liat. Permukaannya dipenuhi ukiran kuno.

"Isi ini dengan air doa, campurkan rambutmu dan setetes darah dari tangan kananmu. Letakkan di bawah loteng rumahmu sebelum fajar. Jika tidak... yang bersembunyi di balik istri muda suamimu akan sepenuhnya mengambil alih."

Lestari menatap kendi itu dengan gentar. "Siapa sebenarnya kamu?"

"Aku hanya penjaga gerbang. Yang bisa menyampaikan, tapi tak bisa menyelamatkan." Lalu ia memutar tubuh, perlahan berjalan ke arah bayang-bayang beringin. Dalam sekejap, perempuan itu menghilang, seolah menyatu dengan kabut.

Lestari masi berdiri di bawah pohon beringin, angin malam mengaduk rambut dan perasaannya. Kendi tanah liat hangat dalam genggamannya, masih terasa sedikit getar dari doa-doa yang baru saja ia bacakan. Hatinya dipenuhi firasat, malam ini bukan malam biasa.

*******

Di rumah, Arman duduk di ujung ranjang dengan kepala tertunduk. Lantai kamar berantakan, sobekan kain, bunga melati berserakan, dan sebuah mangkuk tanah liat kosong yang tergeletak pecah.

Melati berdiri di ambang pintu kamar mandi. Bajunya kusut, wajahnya pucat, rambutnya basah karena baru dibilas. Tapi bukan itu yang membuat Arman resah.

Melati menatapnya… terlalu lama.

"Kenapa kamu pandangi aku seperti itu?" tanya Arman akhirnya.

Melati menggeleng pelan. "Aku cuma heran... kenapa kamu pulang?"

"Kenapa kamu bertanya seperti itu? Ini rumahku tentu saja aku pulang ke rumahku. " jawab Arman cepat.

Melati tersenyum tipis. "Iya, aku tau. Tapi kamu sudah lama pergi. Bahkan waktu tubuhmu ada di sini, jiwamu tetap tertinggal di pondok itu. Di Lestari."

Arman menghela napas. "Aku ke sana karena melihat Dara."

"Karena Dara?" Melati berjalan pelan, duduk di ranjang, menjaga jarak. "Bukan karena Lestari? Atau karena kamu merasa bersalah?"

Arman tidak menjawab.

Melati menunduk. Suaranya pelan. "Kamu tahu, Mas... aku cuma ingin kamu bersamaku, tidak berasamanya. Aku mencintaimu, mas. "

"Lalu kamu lakukan ini semua? Taruh foto yang sudah dicoret di loteng? Bikin simbol aneh di rumah?" suara Arman naik satu oktaf. "Kamu pikir itu cinta?"

Melati menoleh cepat. "Itu bukan dari aku!" melsti mengelak

Arman menatapnya tajam. "Jangan bohong, Melati."

Melati berdiri. "Aku memang simpan foto itu. Tapi aku tidak pernah mencoretnya. Aku... aku juga takut, Mas. Aku dengar suara langkah di malam hari, pintu terbuka sendiri, dan... dan suara anak kecil ketawa."

Arman menegang. "Suara anak kecil?"

Melati mengangguk mengiba. "Beberapa malam terakhir. Aku pikir kamu juga dengar."

"Tidak aku tidak mendengarnya dan aku harap kamu tidak berbohong. " Arman memperingatkan.

Disisi lain, Lestari membuka pagar perlahan dan masuk ke halaman rumah. Gelap dan dingin. Semua terasa lebih sunyi dari biasanya, seolah rumah itu tahu ia datang dengan niat berbeda.

Di tangan kirinya, kendi doa. Di tangan kanan, senter kecil.

Saat hendak masuk dari pintu samping, ia melihat cahaya lampu kamar menyala.

Suara terdengar samar: Melati dan Arman sedang bicara. Lestari mendekat pelan dan berhenti di balik dinding kamar.

"Apa kamu yakin bukan kamu yang menggambar simbol-simbol itu?" suara Arman terdengar jelas.

"Aku tidak pernah belajar hal-hal seperti itu!" suara Melati terdengar panik. "Aku mengatakan hal hal Seprti itu hanya untuk menakuti Lestari. Tapi jujur saja akhir-akhir ini aku terkadang tidak tau apa yang aku lakukan. "

Arman terdengar menghela napas. "Kita butuh bantuan."

"Apa maksudmu?" Melati benar-benar terkejut mendengar ucapan suaminya.

"Aku akan panggil ustadz. Atau orang pintar. Aku ingin bersihkan rumah ini."

Hening sebentar. Lalu suara Melati.

"Kalau kamu lebih percaya mereka... aku pergi saja."

"Silahkan jika itu maumu. Aku tidak akan memaksamu untuk tetap tinggal. Aku ingin rumahku kembali bersih."

Lestari menggenggam kendi lebih erat mendengar ucapan Arman. Ia merasa waktu makin sempit.

Pukul 3 dini hari.

Arman turun ke ruang bawah tanah rumah, gudang tua yang jarang dibuka. Entah kenapa malam itu ia merasa ditarik ke sana. Seperti ada sesuatu yang ingin ditemukan.

Lestari menyusul diam-diam dari belakang, lalu berhenti di pintu atas tangga. Nafasnya tertahan saat mendengar suara Arman berkata pelan:

"Apa ini?"

Senter kecil di tangan Arman menyinari dinding gudang. Di sana, seseorang telah menggambar pola melingkar. Seperti matahari dengan garis-garis memanjang. Di tengahnya… ada nama "Dara" ditulis dengan arang, lalu dicoret.

Lestari menahan napas.

"Siapa yang buat ini?" bisik Arman. Suaranya genting.

Lalu, dari dalam kegelapan gudang, terdengar suara seretan pelan.

Arman membalik badan. Senter menyapu sudut gelap.

Tak ada apa-apa.

Tapi kemudian, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas

Lestari turun perlahan. "Mas," panggilnya dengan suara serak.

Arman menoleh. "Lestari?"

"Kita harus taruh kendi ini sekarang. Tepat di tengah ruangan."

Mereka membuka jalan. Lestari menaruh kendi itu perlahan, membaca doa sambil memejamkan mata.

Tiba-tiba... lampu gantung tua di gudang menyala sendiri.

Arman terdiam. Lestari berhenti membaca.

Di belakang mereka, suara kaki kecil berlari di lantai kayu. Tapi saat mereka menoleh, tidak ada siapa pun.

Kemudian... terdengar suara Dara dari arah atas.

"Bunda… Ayah… tolong aku, "

Arman panik. "Itu suara Dara!"

Lestari menggeleng. "nggak mungkin! Dara di pondok!"

Mereka berdua menoleh ke arah tangga.

Di atas sana, pintu gudang terbuka sendiri,perlahan.

Dan sosok anak kecil berdiri di sana.

Tapi bukan Dara.

Dia memakai baju putih... wajahnya tertutup rambut.

Tubuhnya tidak bergerak.

"Siapa kamu?" tanya Lestari dengan suara bergetar.

"Dimana Dara, aku ingin menjemputnya. " ucap sosok itu diiringi tawa yang melengking.

"Kamu tidak akan pernah bisa membawa anakku. " Meski sedikit gemetar karena takut tapi Lestari harus tetap kuat.

"Aku harus membawanya pergi, jika tidak aku yang disiksa olehnya–, "

Terpopuler

Comments

Mefiani

Mefiani

lanjut...

2025-06-02

1

Desy Desol

Desy Desol

lanjooooot

2025-06-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!