Jalur Langit

Pagi datang seperti biasa, tapi hati Lestari masih gelap. Sepanjang malam ia tak bisa tidur, bayangan tentang darah, mantra, dan perempuan tua di bawah pohon beringin terus berputar dalam pikirannya.

Ia belum tahu apa yang harus dia lakukan. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tidak kunjung berakhir. Tapi pagi ini, ia tidak boleh lemah. Bukan untuk dirinya. Bukan untuk Dara dan adiknya. Ia harus bangkit.

Lestari berdiri di depan cermin dan menatap dirinya sendiri. Mata sayunya kini menyimpan sesuatu yang lain, keteguhan.

Dia memutuskan satu hal, dia tidak akan melawan Melati dengan cara yang sama. Ia akan memilih jalan yang lebih tinggi, jalan yang tak bisa disentuh sihir. Jalur langit.

Di meja makan, Arman duduk membaca koran seperti biasa sambil menyeruput kopi. Melati duduk di seberangnya, terlihat segar dan berseri. Rambutnya digerai, wajahnya dipulas ringan, nyaris seperti pengantin baru. Ia tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun atas apa yang terjadi malam tadi.

Lestari hanya berdiri sebentar, menatap pemandangan itu seolah menatap panggung sandiwara di hadapannya

"Dara masih lemah. Aku akan membawanya ke pondok pesantren Ibu Nurul siang ini," katanya lirih.

Arman menurunkan koran, wajahnya ragu.

"Untuk apa? Dirawat di rumah saja cukup, kan? untuk apa ke sana. " Arman seolah tidak suka dengan keinginan istrinya itu.

Lestari menggeleng. "Dia butuh tempat yang bersih. Tempat yang penuh doa. Rumah ini... terlalu sesak baginya. "

"Heh, terlalu sesak untukmu apa, Dara? " ucap Arman sinis.

Lestari menggeleng

Melati menyelipkan senyum miring. "Kakak khawatir Dara terkena sihirku yang mengganggu, ya?"

Arman memandang tajam. "Melati, jangan begitu—"

"Aku tidak takut sihirmu," potong Lestari, tajam dan dingin. "Tapi aku tahu, doa jauh lebih kuat daripada kebencian dan sihirmu."

Melati tersenyum, tapi kali ini tak sampai ke matanya. Ada kegelisahan samar dalam raut wajahnya. Ia tidak menyangka Lestari bisa setenang itu menghadapinya

Lestari membawa Dara ke pondok pesantren yang terletak di kaki bukit. Tempat itu sunyi dan dikelilingi sawah. Ibu Nurul adalah pengasuh pondok yang juga guru ngaji ibunya dulu, menyambutnya dengan pelukan hangat.

"Anak ini harus dijauhkan dari rumah untuk sementara waktu," kata Ibu Nurul setelah meraba ubun-ubun Dara dan membaca doa-doa.

"Ada kiriman yang melekat di tubuhnya, masih baru. Jadi tenanglah, ini masih bisa dilepaskan. Dengan syarat, ibunya harus kuat."

Lestari mengangguk. "Saya siap,bu. Apapun untuj anakku."

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Dara bisa tidur tanpa demam. Wajahnya tenang, nafasnya stabil. Lestari duduk di mushala kecil yang ada disana dan membaca surat Yasin sambil menahan tangis.

Ia tahu ini baru permulaan. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendirian.

Sementara itu, di rumah, Melati gelisah. Dupa yang biasa ia bakar kehilangan wangi. Cermin ritualnya retak tanpa sebab. Dan sosok perempuan tua yang biasa membimbingnya dalam mimpi... menghilang.

"Kenapa dia tidak muncul?" bisiknya pelan sambil menatap nyala lilin hitam yang mulai mengecil.

Ia mencoba membaca mantra pemanggil, tapi kata-katanya terpatah-patah. Ada gangguan. Ada kekuatan lain yang mulai menghalangi. Dan itu membuatnya resah.

"Apa yang dia lakukan kenapa aku tidak bisa menembusnya?" gumam Melati.

Ia berdiri dan menatap cermin, lalu mengambil sehelai kain merah yang dililitkan di pinggangnya. Ia robek sedikit ujungnya dan menuliskan sesuatu dengan darahnya.

Jika kekuatan gelap mulai melemah, maka ia harus memperkuat ikatan. Bagaimanapun caranya.

******

Keesokan harinya, Lestari kembali ke rumah untuk mengambil pakaian dan perlengkapan anak-anak. Ia sengaja tidak menginap, karena tahu jika terlalu lama meninggalkan rumah, Melati akan mengambil alih segalanya.

Namun ketika masuk ke kamar, ia menemukan bantal tempat tidurnya terbakar sebagian. Di lantainya, ada bekas arang membentuk lingkaran.

Refleks, ia mundur dan menahan napas.

"Aku tahu kau akan datang," terdengar suara dari belakangnya.

Melati berdiri di ambang pintu dengan gaun hitam panjang. Wajahnya datar, tapi matanya menyala.

"Kau pikir doa-doamu bisa menyaingi kekuatanku? Kau naif, Lestari. Dunia ini milik mereka yang berani mengambil alih, bukan hanya yang pasrah menunggu."

Lestari berbalik, menatapnya dengan tajam. "Dunia ini milik Tuhan. Dan kau hanya tamu yang sebentar lagi akan diusir. Kau tidak pantas hidup lebih lama didunia ini karena telah berbuat kerusakan. "

Melati terkekeh. "Aku tidak datang untuk pergi. Aku datang untuk mengambil semuanya. "

"Termasuk suamiku?"

"Termasuk hidupmu dan anak-anak mu. "

Lestari terkejut mendengar ucapan Melati, namun dia segera mengubah ekspresi terkejutnya dengan bersikap tenang. Agar wanita itu tidak bisa membaca ketakutan di wahahnya.

Setelah mengatakan semua itu, Melati pergi begitu saja dari kamar Lestari. Meninggalkan Lestari yang hanya diam mematung tanpa ekspresi.

Setelah sadar dia segera mengambil beberapa baju Dara dan Dimas, untuk tinggal disana sementara waktu dan meminta Bi Minah untuk membersihkan kamarnya yang terlihat aneh saat ini

Lestari memeluk anak-anaknya erat malam itu. Ia tidak bisa meninggalkan mereka di rumah. Maka ia membawa semuanya ke pondok—walau hanya untuk sementara.

Di malam keempat di pondok, Lestari bermimpi aneh.

Ia berada di padang yang luas, di bawah langit malam yang penuh bintang. Seorang perempuan tua berjubah putih menghampirinya.

"Kamu sudah memilih jalan langit. Maka bersiaplah. Karena malam berikutnya... darah akan kembali tumpah."

Lestari terbangun dengan tubuh basah oleh keringat. Tapi hatinya tenang.nIa tahu mimpi itu bukan sekadar bunga tidur. Itu adalah... peringatan.

Sementara itu, di rumah, Arman duduk di ruang kerja sambil menatap foto lama. Foto pernikahannya dengan Lestari.

Ia mengingat hari itu dengan jelas—wajah Lestari yang cerah, mata yang penuh harap. Wanita yang sudah membantunya dari nol dan saat itu ia bersumpah akan menjaganya seumur hidup. Tapi lihat sekarang... segalanya berubah.

Pintu ruang kerja terbuka pelan. Melati masuk tanpa mengetuk.

"Kamu kenapa?" tanyanya manja.

Arman menyembunyikan foto itu cepat-cepat. "Nggak apa-apa."

Melati mendekat, duduk di pangkuannya. Tapi Arman tidak membalas pelukannya. Ada sesuatu yang mulai retak dalam dirinya—kesadaran kecil yang selama ini tertutup oleh pesona Melati.

"Kalau kamu ragu, kamu akan kehilangan segalanya," bisik Melati lembut. "Termasuk aku."

Tapi sebelum Arman bisa menjawab, terdengar suara keras dari loteng, seperti sesuatu jatuh, atau… dihempaskan.

Mereka berdua terdiam. Suara itu datang lagi. Tiga kali.

Arman berdiri, mencoba menyamakan napasnya. "Apa itu?"

Melati tak menjawab. Wajahnya mendadak pucat.

Tanpa pikir panjang, Arman membuka tangga lipat dan naik ke lantai atas.

Langkahnya pelan, menyusuri gelap dan debu. Senter di tangannya menyapu sisi-sisi ruangan sempit itu… hingga akhirnya ia melihat sesuatu.

Foto Lestari jatuh begitu juga dengan. foto mereka berdua jatuh dengan kaca yang retak.

"Apa in? kenapa foto kami bisa jatuh? " tanya Arman dalam gumamannya

Terpopuler

Comments

Mefiani

Mefiani

ceritanya masih panjang dan akan ada perang2 goib yg lainnya...tpi tetep jalur langit paling utama karena Allah pemilik segalanya..tetep berjuang lestari buat dirimu dan anak2mu..

2025-05-31

1

Yuliana Tunru

Yuliana Tunru

mana munkin kekuatan dia dan Allah busa kau kalahkan wahai pemuja iblis ..dan kau arman bisa2 x terlena nene sihir gitu smoga hidup mu msh panjang dan bisa meminta maaf pd lestari dan ank2mu

2025-05-31

1

Desy Desol

Desy Desol

suka

2025-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!