Dara Sakit

"Apa malam ini kamu akan bersamaku, mas? " tanya Melati dengan senyum penuh arti menyambut suaminya.

Arman hanya mengangguk, dan berjalan mendekati istri mudanya itu.

Dan malam itu mereka habiskan bersama.

Di kamar lain di lantai bawah, Dara tiba-tiba menggigil kedinginan. Lestari yang sedang melakukan sholat malam dan melihat anaknya gelisah langsung mendekatinya dan mengecek apa yang terjadi.

Tubuh Dara sangat panas namun kaki dan tangannya terasa dingin. Dia Langsung ke dapur untuk mengambil air hangat dan mengompres Dara. Lestari terjaga semalaman menjaga anaknya, bahkan dia tidak memanggil Arman untuk meminta tolong, karena sepertinya suaminya itu sedang sibuk dengan istri mudanya.

******

Pagi datang tanpa cahaya yang benar-benar cerah. Awan mendung menutupi langit, seolah tahu bahwa hari itu bukan hari biasa.

Lestari duduk di samping ranjang, menggenggam tangan Dara yang masih terbaring lemas. Anak itu demam tinggi sejak semalam, dan tak ada obat yang mampu menurunkan panasnya.

"Bunda... kepalaku berat..." rintih Dara dengan suara lirih.

"Istirahat ya, Sayang. Nanti bunda bikinkan teh jahe hangat," jawab Lestari sambil mengelus kening putrinya.

Tubuh Dara terasa panas, dan tangannya masih dingin. Nafasnya berat, dan matanya tak benar-benar fokus. Lestari sudah membawanya ke dokter pagi ini tapi hasilnya nihil. Tak ada infeksi, tak ada virus. Dokter hanya bilang, "stres atau kecapekan."

Tapi Lestari tahu ini bukan sekadar stres.

Di ruang tamu, Arman duduk sambil membaca koran pagi seolah tak terjadi apa-apa. Melati menyusul beberapa menit kemudian, mengenakan daster sutra berwarna merah. Rambutnya digelung rapi, wajahnya segar, kontras dengan kepucatan Lestari dan sakitnya Dara.

"Mbak, Dara masih sakit, ya?" tanya Melati dengan suara manis.

Lestari hanya melirik, tak menjawab.

"Kasihan… anak kecil memang paling mudah kena hawa negatif," lanjutnya sambil menuang teh ke cangkir.

Hawa negatif?

Lestari menahan diri agar tidak menyemburkan kata-kata. Ia tak mau bertengkar di depan anaknya. Tapi matanya menatap Melati dalam-dalam, seolah ingin menerobos lapisan senyum palsu itu.

Siang itu, Lestari menghubungi Ustadz Malik, guru ngaji lama yang dulu sering membimbing pengajian di komplek sebelum Arman mulai menjauh dari kegiatan keagamaan. Namun, Ustadz itu datang menjelang sore.

"Kita coba rukyah dulu, Bu," kata Ustaz Malik setelah memeriksa kamar Dara.

Lestari mengangguk, lalu menutup pintu. Di luar kamar, Melati berdiri di ujung lorong atas, memperhatikan dalam diam.

Ketika bacaan ayat-ayat suci dilantunkan, tubuh Dara mulai menggigil. Bibirnya bergetar, keringat dingin mengucur deras. Tiba-tiba, ia menjerit keras dan tangannya mencakar-cakar udara.

"Bunda! Bunda! Dia ada di situ! Dia liatin aku!"

Lestari nyaris pingsan karena kelelahan menahan tenaga besar Dara. Ustadz Malik mempercepat bacaan, suaranya tegas dan lantang. Setelah hampir setengah jam melakukan rukyah, jeritan Dara mulai mereda. Ia menangis tersedu, tubuhnya gemetar di pelukan ibunya.

"Anak Ibu... kena kiriman. Jin sihir. Kuat sekali," kata Ustadz Malik serius.

Lestari menatapnya dengan mata berkaca.

"Dari siapa, Ustaz?"

"Belum bisa dipastikan. Tapi ini bukan sihir biasa. Ini ilmu yang dikirim dengan maksud menyingkirkan."

Lestari mengangguk perlahan. Dalam hatinya, ia tahu siapa yang dimaksud. Tapi tuduhan tanpa bukti hanya akan membuatnya tampak lemah, atau lebih buruk, dia akan dianggap gila.

Malam itu, setelah rumah sepi, Arman belum pulang dari tempat kerjanya. Lestari berdiri di depan cermin kamar. Ia memandangi wajahnya sendiri, letih, pucat, tapi masih ada kekuatan yang bertahan di balik mata itu.

Ia membuka laci lemari dan mengeluarkan mushaf tua warisan ibunya. Dulu ia sering membacanya tiap malam, tapi sejak Arman mulai sibuk, kegiatan itu pelan-pelan ia tinggalkan. Kini, mushaf itu seperti satu-satunya tameng yang tersisa di hidupnya.

Di kamar atas, Melati sedang duduk di atas ranjang, menatap selembar foto kecil yang dibakar perlahan di atas lilin hitam. Asap tipis mengepul naik ke langit-langit, dan suara lirihnya memanggil sesuatu yang tak bisa dilihat manusia biasa.

"Kuatkan ikatannya... hapus yang pertama... sisakan aku seorang..."

Tiba-tiba, cermin di kamar Lestari berembun dengan sendirinya. Suara ketukan pelan terdengar dari balik dinding, meski tak ada siapa-siapa di luar kamar.

Lestari membuka mushaf, dan mulai membaca surat Al-Baqarah dengan suara lirih tapi mantap. Air matanya mengalir, tapi bukan karena takut, melainkan karena pasrah. Di sampingnya Dara sudah terlelap, Ia tahu hanya ada satu kekuatan yang bisa melawan ini, kekuatan dari pemilik semesta.

Pagi berikutnya saat sarapan, Arman mengatakan sesuatu yang semakin membuat hati dan dunianya hancur berkeping-keping.

"Melati akan tinggal di sini, Selamanya."

Lestari menghentikan gerakan menyajikan sarapan. Telurnya masih setengah matang di atas piring. Suara Arman terasa seperti palu godam menghantam dinding terakhir pertahanannya.

"Jadi ini keputusanmu?" tanyanya pelan.

"Dia sudah sah jadi istriku. Aku sudah menikahinya secara agama minggu lalu."

Lestari terdiam. Hatinya seperti runtuh, tapi wajahnya tetap tenang.

"Aku tidak akan pernah pergi dari sini, Mas."

Arman memicingkan mata. "Apa maksudmu?"

"Aku istri sah. Ibu dari anak-anakmu. Aku tidak akan menyerahkan rumah ini begitu saja kepadanya. Dan aku tidak takut."

Melati masuk ke ruang makan, mengenakan baju tidur tipis berwarna hitam. Ia menarik kursi dan duduk dengan senyum lebar.

"Mbak sangat kuat, ya? Tapi hati-hati, kadang kekuatan bisa jadi kelemahan kalau terlalu percaya diri," bisiknya sambil menyeruput kopi.

Lestari menatapnya. Kali ini, tidak dengan marah, tapi dengan tenang. Seolah ia sudah tahu cara menghadapi badai berikutnya.

Malam harinya, Bi Minah datang terburu-buru ke kamar Lestari dengan wajah panik.

"Bu... maaf saya terbangun karena mendengar sesuatu di belakang, dan saya lihat Melati tadi keluar rumah. Tengah malam begini lewat jalan belakang, ke pohon beringin itu."

Lestari langsung berdiri.

"Sendirian?"

"Enggak. Ada yang nunggu dia. Perempuan tua, bungkuk, bajunya hitam semua. Saya ngintip dari dapur. Saya takut, Bu."

Tanpa pikir panjang, Lestari membuka lemari dan mengambil senter. Hatinya berdebar hebat. Tapi rasa takutnya berubah jadi tekad.

Ia keluar pelan-pelan dari pintu samping rumah, menelusuri jalan berbatu menuju kebun kecil di belakang rumah yang berbatasan dengan tanah kosong dan pohon besar. Hujan gerimis turun lagi, tipis seperti bisikan langit.

Dari kejauhan, ia melihat dua bayangan di bawah pohon beringin tua. Melati berdiri membelakangi pohon, sementara sosok perempuan tua membungkuk di hadapannya, menggenggam sesuatu.

Lestari mendekat perlahan, bersembunyi di balik semak.

"Ini darahnya. Cukup satu tetes, maka dia tak akan bisa bangkit lagi," suara si perempuan tua terdengar jelas.

Lestari menahan napas. Tangannya gemetar.

Melati mengangguk. "Yang penting dia pergi. Atau mati."

Terpopuler

Comments

Nandi Ni

Nandi Ni

sebelumnya,aku jarang baca genre horor gini krn suka parno sendiri.tapi kini mulai tertarik membaca novel ini,makasih thor

2025-05-31

1

Yuliana Tunru

Yuliana Tunru

hola ya melati benar2 sihir dan santet x bust lestari dan dara apa tak bahaya bertahan aoa tdk lbh baik pergi z drpd byawa xjg ank x jd taruhan

2025-05-31

1

Mefiani

Mefiani

bener2 menantang nich cerita...tenang aja lestari,kamu punya Allah sang pemilik kehidupan..serahkan dan pasrahkan kepadaNya..

2025-05-31

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!