Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu

*📝** Diary Mentari – Bab 5**

“Kasurku keras, seperti hidupku. Tapi setidaknya hari ini Sabtu—hari di mana sepi akhirnya datang meski hanya sebentar.”***

Aku masih lelah. Sangat lelah. Tubuhku kulempar ke atas kasur yang keras, sekeras hidupku. Tapi aku bersyukur, setidaknya hari ini hari Sabtu. Hari yang paling aku tunggu setiap minggu, bukan karena libur, tapi karena semua sepupuku akan pulang ke rumah mereka masing-masing. Rumah kami jadi sedikit lebih lapang, sedikit lebih tenang, dan sedikit lebih milikku.

Kasur yang kupakai ini bukan milikku sepenuhnya. Di hari-hari biasa, aku berbagi dengan Senja, adikku, dan dua sepupu perempuan yang tinggal bersama kami selama mereka sekolah di kampung ini. Kadang kami tidur berhimpitan, saling menyikut dan menarik selimut. Tapi hari Sabtu… ah, aku bisa tidur leluasa. Setidaknya sebentar, sebelum tugas-tugas lain menanti.

Pelajaran di sekolah tadi cukup melelahkan. Otakku seperti penuh dan mataku berat. Tapi saat sampai di rumah, belum sempat berganti baju, Ayah sudah berdiri di depan pintu, membawa tali dan pisau kecil. Itu pertanda: kami akan ke kebun.

Aku hanya ingin tidur. Tidur sebentar saja. Tapi aku tahu, tidur tidak menghasilkan uang.

Dengan lesu aku mengganti seragamku dengan pakaian kebun—baju kumal yang penuh tambalan di lengan dan rok panjang yang sudah lusuh. Senja juga sudah bersiap. Dia bahkan lebih bersemangat dariku. Mungkin karena dia belum tahu lelah macam apa yang harus kami jalani di kebun nanti.

Padahal besok aku ada acara kemah—perkemahan pramuka mewakili sekolah. Aku dan sepuluh teman terpilih. Aku sangat menantikan itu. Aku suka kegiatan pramuka. Aku suka petualangan. Dan yang paling penting, dua hari ke depan aku akan tidur di tempat lain—bukan di kamar sempit yang penuh sesak. Bukan di rumah yang selalu penuh suara. Walaupun tidur di tenda, setidaknya aku merasa hidupku sedikit berbeda.

Aku membayangkan malam-malam di tengah hutan pinus. Suara jangkrik, obor, dan nyanyian api unggun. Aku bahkan sudah menyiapkan puisi pendek untuk kubacakan saat malam pentas seni nanti.

Tapi sebelum itu, aku harus ikut ke kebun.

Kami berjalan di jalan setapak yang sempit, menyusuri kebun milik warga yang ditanami pisang, kelapa, dan semak liar. Ayah berjalan di depan membawa sabit dan karung. Ibu di belakang kami, menjunjung tandan pisang di atas kepalanya, seimbang dan penuh wibawa. Aku dan Senja, masing-masing memikul kelapa yang kami kumpulkan satu per satu dari bawah pohon.

Kelapa itu berat, dan jalanan licin karena hujan semalam. Kami harus menyeberangi sungai kecil yang arusnya deras. Aku takut terpeleset. Tapi aku juga takut kalau aku jatuh. Karena kalau aku jatuh, Ayah akan marah. Kalau aku menangis, Ayah juga akan marah. Bahkan kalau aku hanya mengeluh sedikit saja, Ayah akan lebih marah lagi.

Ayah bilang: “Laki-laki tidak suka perempuan cengeng.”

Itu ucapan yang sering aku dengar sejak kecil. Bahkan sebelum aku mengerti arti “cengeng”, aku sudah tahu aku tak boleh menangis.

Hari itu, beban di kepala dan di hati sama-sama berat.

Setelah hampir dua jam di kebun, tubuhku terasa habis. Lututku nyeri, punggungku panas karena gendongan karung kelapa. Tapi aku tak mengeluh. Tak berani. Senja pun tampak mulai kelelahan. Tapi tidak ada yang berani bersuara. Kami tahu, Ayah akan bilang, “Kalau lelah, jangan makan malam nanti.”

Sesampainya di rumah, aku langsung menyiapkan perlengkapan untuk acara kemah. Aku memeriksa tali-temali, botol air, dan seragam pramuka yang sudah disetrika oleh Ibu tadi pagi. Tapi Ibu hanya diam, tidak berkata apa-apa tentang kepergianku besok. Tidak bilang “hati-hati,” apalagi “semangat ya.” Seakan keberadaanku tidak penting. Atau mungkin mereka sudah terlalu lelah untuk peduli.

Aku tahu Ibu menyetrika bajuku tadi pagi, sebelum subuh. Itu bentuk cintanya, mungkin. Tapi tetap saja aku ingin lebih. Aku ingin Ibu bertanya, “Apa kamu senang ikut kemah?” atau sekadar, “Nanti kamu tidur sama siapa di tenda?”

Tapi tidak ada.

Malamnya, aku mencuri waktu menulis di diary, satu-satunya sahabatku yang tidak pernah marah saat aku menangis.

“Hari ini Sabtu. Rumah lebih sepi. Tapi hatiku tetap ramai oleh lelah dan kecewa. Aku ingin tidur lebih lama, tapi bahkan tidur saja aku harus bayar dengan kelapa dan pisang. Aku tahu Ayah hanya ingin aku jadi kuat. Tapi hari ini aku merasa… mungkin Ayah tidak sayang padaku.”

Aku menutup diary perlahan. Menatap langit-langit kamar dengan pelita yang bergoyang-goyang. Bayang cahaya bermain di dinding bambu. Aku menyentuh dada, mencari detak yang sering kusebut harapan.

Aku tahu pikiran itu tak adil. Tapi kadang, anak-anak hanya ingin dimengerti, bukan dinasihati. Aku tahu Ayah dan Ibu mencintaiku, dengan cara mereka sendiri. Tapi bukankah cinta juga butuh ditunjukkan? Butuh disentuh? Butuh dikatakan?

Kadang, cinta yang diam justru paling menyakitkan.

Malam itu, sebelum tidur, aku melihat Senja sudah lelap. Napasnya pelan. Tangannya menggenggam ujung selimut. Aku mencium keningnya dan berkata dalam hati:

“Suatu hari nanti, aku akan membuat rumah baru untuk kita. Rumah yang lebih hangat. Rumah yang tak ada air mata dan suara marah.”

Aku menggenggam jari-jarinya. Dia masih kecil. Dia belum tahu dunia macam apa yang sedang kami hadapi. Tapi aku berjanji. Aku akan jadi kakak yang bisa diandalkan. Aku akan cari jalan keluar. Walau harus menunggu, walau harus jatuh—aku akan bangkit. Demi kami.

🕊️ “Lelah bisa hilang, luka bisa sembuh. Tapi mimpi yang terus dipeluk—akan tumbuh menjadi tujuan.”

Terpopuler

Comments

Wanita Aries

Wanita Aries

Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.

2025-06-03

1

Komang Arianti

Komang Arianti

autoo mewekk🥺🥺🥺🥺🥺🥺😭😭

2025-05-30

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2 Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3 Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4 Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5 Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6 Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7 Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8 Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9 Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10 Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11 Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12 Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13 Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14 Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15 Bab 15. Langit Abu Abu
16 Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17 Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18 Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19 Bab 19. Namanya Bumi
20 Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21 Bab 21. Satu Foto Terakhir
22 Bab 22. Ubud Aku Datang
23 Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24 Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25 Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26 Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27 Bab 27. Uniform Pertama
28 Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29 Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30 Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31 Bab 31. Ponsel Pertamaku
32 Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33 Bab 33. Kencan Tak Bernama
34 Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35 Bab 35. Aku dan Bintang
36 Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37 Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38 Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39 Bab 39. Istanaku Sendiri
40 Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41 Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42 Bab 42. Senja Terakhir
43 Bab 43. Kenangan terakhir
44 Bab 44. Hati Yang Kacau
45 Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46 Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47 Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48 Bab 48. Mentari Yang Baru
49 Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50 Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51 Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52 Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53 Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54 Bab 54. Catatan Tengah Malam
55 Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56 Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit
Episodes

Updated 56 Episodes

1
Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2
Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3
Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4
Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5
Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6
Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7
Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8
Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9
Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10
Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11
Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12
Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13
Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14
Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15
Bab 15. Langit Abu Abu
16
Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17
Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18
Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19
Bab 19. Namanya Bumi
20
Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21
Bab 21. Satu Foto Terakhir
22
Bab 22. Ubud Aku Datang
23
Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24
Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25
Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26
Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27
Bab 27. Uniform Pertama
28
Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29
Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30
Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31
Bab 31. Ponsel Pertamaku
32
Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33
Bab 33. Kencan Tak Bernama
34
Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35
Bab 35. Aku dan Bintang
36
Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37
Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38
Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39
Bab 39. Istanaku Sendiri
40
Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41
Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42
Bab 42. Senja Terakhir
43
Bab 43. Kenangan terakhir
44
Bab 44. Hati Yang Kacau
45
Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46
Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47
Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48
Bab 48. Mentari Yang Baru
49
Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50
Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51
Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52
Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53
Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54
Bab 54. Catatan Tengah Malam
55
Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56
Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!