Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi

*📝** Diary Mentari – Bab 3**

“Dulu aku berpikir, cinta orang tua seperti cahaya lilin di ruang gelap: cukup untuk kami berdua—aku dan Senja. Tapi kemudian datang orang baru, dan aku mulai bertanya… apakah cinta itu bisa dibagi tanpa membuat siapa pun merasa kehilangan?”***

Tahun 1998. Usia kami makin bertambah, tapi kehidupan seakan tak berubah banyak. Rumah kami masih kecil, berdinding bambu, berlantai tanah. Tapi kini ada yang berbeda. Hari itu, seorang anak laki-laki datang dari Sulawesi. Namanya Raka. Dia adalah anak dari kakak ayahku. Usianya sekitar tiga tahun lebih tua dariku. Ia datang dengan tas kecil berisi pakaian lusuh dan sepasang sandal yang sudah mulai menipis.

“Mulai sekarang, dia tinggal di sini,” kata Ayah singkat.

Aku hanya mengangguk. Jujur, dalam hati aku senang. Aku tak punya kakak laki-laki, dan entah mengapa, kehadirannya seperti membawa angin baru di rumah kami. Tapi aku juga sadar, hidup kami tidak sedang mudah. Dan sekarang, harus dibagi lagi.

Di Bali, anak laki-laki adalah penerus keluarga. Mereka yang akan tinggal dan merawat orang tua di masa tua. Aku tahu itu sejak kecil. Bahkan saat aku belum tahu arti menikah, aku sudah diberi tahu bahwa suatu hari nanti, aku akan “ikut” suamiku. Dan rumah ini bukan lagi tempatku. Maka ketika Ayah memutuskan mengangkat Raka sebagai anaknya, semua orang tampak setuju. Terutama Kakek dan Nenek. Mereka bahkan terlihat bahagia. Rumah kami jadi lebih ramai.

Raka agak nakal, dan banyak bicara. Tapi walaupun nakal dia sigap membantu. Ia ikut menyapu halaman, memotong kayu bakar, bahkan menemani Ayah ke kebun. Aku tak bisa membantah—kehadirannya memang meringankan beban. Tapi di balik semua itu, aku mulai merasa sesuatu berubah.

Dapur kami kini harus berbagi lebih banyak. Makanan yang tadinya pas-pasan, harus dibagi lagi. Kacang saur, lauk favoritku—kacang tanah goreng dengan kelapa parut kering yang dibumbui gurih—sekarang harus aku bagi. Dulu, satu wadah kecil bisa aku nikmati dengan Senja, kadang bisa kusembunyikan sedikit untuk malam. Sekarang, itu tak mungkin lagi.

Aku tahu, ini bukan salah Raka. Tapi perasaan tak enak itu tetap muncul. Seperti bayangan yang tak mau pergi dari benakku.

Malam-malam pun berubah. Dulu, Ayah suka duduk di sampingku, menceritakan kisah masa kecilnya di kebun. Ibu sering bercerita tentang mimpi-mimpinya yang tak kesampaian. Tapi kini, Ayah lebih sering berbicara dengan Raka. Tentang kebun, tentang alat pertanian, tentang tanah warisan. Aku duduk mendengarkan, kadang tertawa kecil, tapi dalam hati seperti ada yang retak.

Ibu juga jadi lebih sering sibuk. Ia harus mencuci lebih banyak, memasak lebih banyak, menyiapkan keperluan lebih banyak. Wajahnya lelah, langkahnya cepat, dan suaranya kadang tak semanis dulu. Aku tahu, bukan karena dia tak sayang lagi. Tapi karena lelah. Dan mungkin, karena waktu kami memang sudah habis terbagi.

Suatu malam, aku duduk sendiri di dekat tungku. Api menyala kecil, hanya cukup untuk menghangatkan tangan. Nenek datang dan duduk di sampingku.

“Kamu diam saja malam ini,” katanya pelan.

Aku mengangguk.

“Kamu merasa kehilangan, ya?”

Aku tak menjawab. Tapi mataku mulai panas.

“Begini, Tar… Dalam hidup, kadang cinta tak berkurang. Tapi memang terbagi. Sama seperti nasi di piring. Bukan berarti ibu kamu tak cinta. Tapi karena perut semua orang di rumah ini harus kenyang juga.”

Aku memandang nenek. Kalimatnya sederhana, tapi menusuk.

“Yang penting, jangan simpan iri. Karena rasa itu kalau disimpan, bisa membuat hati keras.”

Aku diam. Lalu bertanya pelan, “Kalau aku tidak iri, tapi merasa tidak penting lagi… itu salah, Nek?”

Nenek tersenyum. “Itu manusiawi. Tapi jangan percaya sama rasa itu. Karena kadang, rasa bukan cerminan kebenaran. Hanya perasaan sesaat.”

Hari-hari berikutnya, aku berusaha menerima. Aku mulai melihat Raka bukan sebagai ‘saingan’, tapi bagian dari keluarga. Meski tak semua hari mudah, aku mencoba. Aku tetap bangun pagi, tetap ke sungai dengan perakpak, tetap menyapu dan mencuci seperti biasa. Hanya saja, kini ada satu tambahan: aku belajar menerima kenyataan baru.

Di buku diary-ku malam itu, aku menulis:

“Cinta orang tuaku mungkin tak lagi utuh untukku sendiri. Tapi mungkin itu memang harus terjadi. Aku harus belajar membagi, seperti nasi di piring, atau lauk favoritku yang kini tak bisa kuhabiskan sendiri. Kalau aku ingin jadi cahaya, aku harus bisa menyinari walau tak lagi jadi pusat.”

Terpopuler

Comments

Putu Suciptawati

Putu Suciptawati

kisah ini mengingatkan kisqh keluarga kami. aku 5 bersaudara perempuan semua akhirnya biar ada purusa dalam keluargq,bpk mengangkat adik sepupu laki2 sbg anak. begitupun dirumah kami sering ada keluarga dari kampung yg ikut diam dirumah kami krn bersekolah dikota dan kebetulan rumah kamj dkt
sebuah SMA negeri dikota. jadi ingat wkt kecil aku tidur dikamar ber4, dikamar ada 2 dipan, 1 dipan kami pake ber2

2025-06-03

1

K.M

K.M

Hehe iya kk, ini cerita kisah nyata penulis, kirain keluarga aku aja yg gitu ternyata ada juga yang sama, makasi kk udah mau baca kisahku

2025-06-03

0

Arbai

Arbai

Kak Author, ceritanya kereeen banget banget

2025-06-03

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2 Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3 Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4 Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5 Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6 Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7 Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8 Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9 Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10 Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11 Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12 Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13 Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14 Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15 Bab 15. Langit Abu Abu
16 Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17 Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18 Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19 Bab 19. Namanya Bumi
20 Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21 Bab 21. Satu Foto Terakhir
22 Bab 22. Ubud Aku Datang
23 Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24 Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25 Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26 Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27 Bab 27. Uniform Pertama
28 Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29 Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30 Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31 Bab 31. Ponsel Pertamaku
32 Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33 Bab 33. Kencan Tak Bernama
34 Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35 Bab 35. Aku dan Bintang
36 Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37 Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38 Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39 Bab 39. Istanaku Sendiri
40 Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41 Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42 Bab 42. Senja Terakhir
43 Bab 43. Kenangan terakhir
44 Bab 44. Hati Yang Kacau
45 Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46 Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47 Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48 Bab 48. Mentari Yang Baru
49 Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50 Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51 Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52 Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53 Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54 Bab 54. Catatan Tengah Malam
55 Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56 Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit
Episodes

Updated 56 Episodes

1
Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2
Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3
Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4
Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5
Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6
Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7
Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8
Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9
Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10
Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11
Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12
Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13
Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14
Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15
Bab 15. Langit Abu Abu
16
Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17
Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18
Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19
Bab 19. Namanya Bumi
20
Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21
Bab 21. Satu Foto Terakhir
22
Bab 22. Ubud Aku Datang
23
Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24
Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25
Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26
Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27
Bab 27. Uniform Pertama
28
Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29
Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30
Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31
Bab 31. Ponsel Pertamaku
32
Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33
Bab 33. Kencan Tak Bernama
34
Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35
Bab 35. Aku dan Bintang
36
Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37
Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38
Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39
Bab 39. Istanaku Sendiri
40
Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41
Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42
Bab 42. Senja Terakhir
43
Bab 43. Kenangan terakhir
44
Bab 44. Hati Yang Kacau
45
Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46
Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47
Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48
Bab 48. Mentari Yang Baru
49
Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50
Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51
Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52
Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53
Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54
Bab 54. Catatan Tengah Malam
55
Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56
Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!