Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri

*📝** Diary Mentari – Bab 2**

“Waktu kecil, aku pikir semua anak bangun jam lima pagi dan mencuci piring sebelum sekolah. Aku baru sadar kemudian, bahwa tak semua anak belajar disiplin dari air sungai yang dingin, atau cahaya perakpak yang harus dibakar sendiri agar tak mandi dalam gelap.”***

Pagi-pagi buta, ayam pun belum berkokok. Ibu sudah bangun, menyalakan api di dapur. Asap mengepul pelan dari tungku kayu. Aku bangun saat langit masih gelap, tanpa alarm, hanya dengan suara kayu patah dan derak sendok dari dapur.

“Ayo, Tar, jangan malas!”

Itu suara Ibu. Tegas, tapi tak pernah kasar. Suara itu jadi penanda bahwa hariku dimulai.

Aku mengikat rambutku dengan cepat, meraih perakpak—ikat daun kelapa kering yang sudah kusiapkan semalam. Aku menyalakannya, lalu berjalan menuruni jalan kecil menuju sungai. Tak ada lampu, tak ada listrik, hanya cahaya oranye dari nyala perakpak yang menari-nari di antara pepohonan.

Suara sungai mulai terdengar. Alirannya deras, kadang menabrak batu-batu besar. Udara pagi terasa menggigit kulit, tapi aku sudah terbiasa. Kubiarkan api dari perakpak menyala di atas batu besar di tepi sungai. Cahayanya cukup untuk melihat sekilas air, sabun, dan pakaian. Sambil menggosok tubuh, aku menggigil pelan. Tapi mandi di sungai adalah bagian dari hidup kami. Bukan karena pilihan, tapi karena memang begitu adanya.

Sekembalinya ke rumah, tugas belum selesai. Sapu halaman, cuci piring, isi tempayan dari sumur. Semua harus selesai sebelum aku berangkat ke sekolah. Senja, adikku, baru bangun saat aku menjemur seragam dan menyisir rambut dengan cepat.

“Mentari, roti gorengnya bawa dua ya, satu buat Bu Guru,” kata Ibu sambil membungkus dengan kertas minyak.

Aku hanya mengangguk. Aku tahu kenapa Ibu menyuruhku berbagi. Kami miskin, tapi Ibu selalu mengajarkan untuk tetap berbudi. “Orang miskin jangan pelit,” begitu katanya.

Perjalanan ke sekolah tak pernah mudah. Jalan tanah merah akan berubah menjadi kubangan kalau hujan semalam. Aku harus mengangkat ujung rok seragam agar tidak kotor. Sepatuku sering basah, tapi aku selalu berusaha tampil rapi.

Di sekolah, aku anak pendiam. Banyak teman mengira aku jutek. Padahal aku hanya tidak pandai bicara. Aku lebih suka menulis. Di balik buku tulis, aku mencatat perasaan—tentang rumah, tentang sungai, tentang keinginan besar yang tak bisa kuucapkan lantang.

Aku ingat suatu siang sepulang sekolah, aku kembali duduk di dapur bersama nenek. Api di tungku masih menyala. Nenek sedang mengupas singkong.

“Nek,” aku berkata perlahan, “Mentari ingin kuliah nanti…”

Nenek tidak langsung menjawab. Matanya menatap api, seperti mencari kata yang tepat dari nyala bara.

“Bagus itu,” katanya akhirnya. “Tapi jangan cuma ingin. Harus siap susah. Sekolah tinggi itu bukan soal uang saja, tapi soal kuat hati. Kamu kuat, Tar. Tapi jangan lupa juga, doa dan kerja keras harus jalan bareng.”

Aku mengangguk. Kata-kata nenek masuk seperti air ke tanah kering. Tenang, tapi meresap dalam.

Malamnya aku menulis lagi:

“Aku mandi di sungai, membawa cahaya dari perakpak. Aku belum punya lampu. Tapi aku punya harapan. Suatu hari, aku ingin jadi cahaya itu. Bukan cuma untukku, tapi untuk keluarga, untuk Kampung Karet.”

Waktu terus berjalan. Aku tumbuh dalam pola yang sama: bangun sebelum fajar, bekerja sebelum belajar, lalu kembali ke rumah dengan tubuh lelah tapi hati tetap penuh harap. Sekolah adalah pelarianku. Tempat di mana aku merasa dihargai karena nilai, bukan karena nama belakang atau uang saku.

Aku ingat suatu hari, seorang guru berkata di depan kelas:

“Anak pintar itu banyak. Tapi yang bisa bertahan sampai sukses, cuma sedikit. Bukan karena bodoh, tapi karena hidup tak memberi semua anak kesempatan yang sama.”

Aku terdiam. Seolah kata-kata itu ditujukan langsung padaku.

Sore itu, langit mulai memerah. Senja duduk di sampingku, main boneka dari kain perca. Di depan kami, Ibu sedang menjemur pakaian. Nenek memanggil dari dapur, minta tolong ambil daun pisang.

Aku berdiri dan berjalan menyusuri jalan kecil. Langit jingga menggantung di atas pohon kelapa. Aku berhenti sebentar, menatap awan yang berubah warna. Lalu berkata pelan dalam hati:

“Kalau langit bisa berubah… aku juga bisa.”

"Jika langit gelap aku bisa buat cahayaku sendiri"

Episodes
1 Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2 Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3 Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4 Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5 Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6 Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7 Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8 Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9 Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10 Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11 Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12 Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13 Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14 Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15 Bab 15. Langit Abu Abu
16 Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17 Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18 Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19 Bab 19. Namanya Bumi
20 Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21 Bab 21. Satu Foto Terakhir
22 Bab 22. Ubud Aku Datang
23 Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24 Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25 Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26 Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27 Bab 27. Uniform Pertama
28 Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29 Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30 Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31 Bab 31. Ponsel Pertamaku
32 Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33 Bab 33. Kencan Tak Bernama
34 Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35 Bab 35. Aku dan Bintang
36 Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37 Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38 Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39 Bab 39. Istanaku Sendiri
40 Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41 Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42 Bab 42. Senja Terakhir
43 Bab 43. Kenangan terakhir
44 Bab 44. Hati Yang Kacau
45 Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46 Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47 Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48 Bab 48. Mentari Yang Baru
49 Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50 Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51 Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52 Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53 Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54 Bab 54. Catatan Tengah Malam
55 Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56 Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit
57 Bab 57. Yang Datang Saat Aku Hampir Lupa
58 Bab 58. Hadiah Terakhir dari Bumi
59 Bab 59. Bayu dan Bumi
60 Bab 60. Aku yang Terpilih, Tapi Tak Pernah Dipilih Sepenuhnya
61 Bab 61. Memilih untuk Tidak Melukai
Episodes

Updated 61 Episodes

1
Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek
2
Bab 2. Cahaya Kita Ciptakan Sendiri
3
Bab 3. Cinta Orang Tuaku Yang Terbagi
4
Bab 4. Cinta Terbagi Lagi
5
Bab 5. Sabtu Yang Aku Tunggu
6
Bab 6. Aku Hari Ini Mau Bahagia
7
Bab 7. Tak Pernah Dijemput
8
Bab 8. Aku Ingin Pergi, Tapi Bagaimana ?
9
Bab 9. Aku dan Mimpi Terlalu Besar
10
Bab 10. Mimpi di Depan Televisi
11
Bab 11. Proposal Pertama Mentari
12
Bab 12. Seragam Putih Abu Abu
13
Bab 13. Hadiah Untuk Yang Bertahan
14
Bab 14. Jejak Pena, Jejak Mimpi
15
Bab 15. Langit Abu Abu
16
Bab 16. Diam - Diam Menyimpan Rasa
17
Bab 17. Bara Yang Tak Kunjung Padam
18
Bab 18. Semangkuk Mie dan Seribu Detak Jantung
19
Bab 19. Namanya Bumi
20
Bab 20. Mentari dan Bumi Suka Menulis
21
Bab 21. Satu Foto Terakhir
22
Bab 22. Ubud Aku Datang
23
Bab 23. Malam Pertama Di Istana
24
Bab 24. Bahasa Yang Tidak Aku Kuasai
25
Bab 25. Antara Harus Bertahan atau Pulang
26
Bab 26. Aku Baik Baik Saja
27
Bab 27. Uniform Pertama
28
Bab 28. Waktu Yang Kupilih Untuk Pergi
29
Bab 29. Jalan Baru Yang Kupilih
30
Bab 30. Kasur Kecil dan Diary Baru
31
Bab 31. Ponsel Pertamaku
32
Bab 32. Pertemuan di Jalan Ubud
33
Bab 33. Kencan Tak Bernama
34
Bab 34. Mesin Yang Bisa Mengeluarkan Uang
35
Bab 35. Aku dan Bintang
36
Bab 36. Kenangan Lama Bangkit Lagi
37
Bab 37. Uang Di Bawah Pot dan Hati yang Mulai Miring
38
Bab 38. Kamar Yang Bukan Lagi Milikku
39
Bab 39. Istanaku Sendiri
40
Bab 40. Kenangan Lama Muncul Kembali
41
Bab 41. Cerita di Bawah Pohon Beringin
42
Bab 42. Senja Terakhir
43
Bab 43. Kenangan terakhir
44
Bab 44. Hati Yang Kacau
45
Bab 45. Cinta Yang Tak Bisa Kutebus
46
Bab 46. Lagu Yang Mengakhiri Segalanya
47
Bab 47. Sakit Tak Berdarah
48
Bab 48. Mentari Yang Baru
49
Bab 49. Masih Aku Walau Tak Sama
50
Bab 50. Perpisahan Yang Manis
51
Bab 51. Lembar Yang Tak Pernah Usai
52
Bab 52. Sudut Terkecil Hatiku
53
Bab 53. Jalan Pulang Yang Tak Pernah Sama
54
Bab 54. Catatan Tengah Malam
55
Bab 55. Ingatan Yang Tumbuh Diam-Diam
56
Bab 56. Antara Pagi Yang Sempit
57
Bab 57. Yang Datang Saat Aku Hampir Lupa
58
Bab 58. Hadiah Terakhir dari Bumi
59
Bab 59. Bayu dan Bumi
60
Bab 60. Aku yang Terpilih, Tapi Tak Pernah Dipilih Sepenuhnya
61
Bab 61. Memilih untuk Tidak Melukai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!