Suara ayam jantan yang berkokok memecah keheningan pagi, namun bagi Aisyah, malam belum benar-benar berakhir. Tidurnya tak lebih dari sekadar kedipan gelisah yang diselimuti mimpi buruk—mimpi tentang masa lalu yang kini mengetuk kembali, lebih keras dari sebelumnya.
Di luar, embun menggantung di ujung dedaunan, seolah alam pun menahan napasnya untuk mendengarkan detik-detik kehidupan Aisyah yang perlahan runtuh. Rumah tempat ia bermalam terasa seperti penjara tanpa jeruji, tempat di mana kenangan berkeliaran seperti hantu lapar.
Khaerul berdiri di halaman, memandangi langit yang mulai berubah warna. Matanya menatap kosong, tapi pikirannya dipenuhi labirin pertanyaan. Surat itu, nama-nama yang tertera, simbol-simbol aneh di sudut halaman—semuanya seperti teka-teki yang saling mengunci.
"Kita harus ke rumah Haji Aswad," kata Aisyah tanpa menoleh. Ia sudah siap, jilbabnya rapi, wajahnya tegas.
Khaerul mengangguk, walau hatinya mengganjal. Rumah Haji Aswad adalah tempat terakhir yang ingin ia datangi—bukan karena takut, tapi karena ia tahu, di sanalah kebohongan yang selama ini tersembunyi bisa terbongkar dengan cara paling menyakitkan.
---
Rumah Haji Aswad berdiri di ujung kampung, seperti benteng tua yang menantang waktu. Dindingnya kokoh, namun pintu kayunya berderit seperti merintih. Saat Aisyah mengetuk, waktu seolah menahan napas.
Pintu terbuka, dan muncullah wajah yang sudah lama mereka hindari. Haji Aswad, dengan sorot mata tajam yang bisa menelanjangi batin siapa pun. "Aisyah," sapanya pendek. Tidak ada kehangatan, hanya formalitas yang dingin.
"Kami perlu bicara, Pak Haji," kata Aisyah. Suaranya mantap, meski detak jantungnya menghantam seperti palu godam.
Di dalam rumah, aroma kayu cendana bercampur debu tua menyambut mereka. Aisyah menatap sekeliling, mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan.
"Apa yang sebenarnya terjadi 20 tahun lalu? Siapa orang dalam surat itu?" tanyanya.
Haji Aswad terdiam lama. Lalu, dengan suara serak, ia menjawab, "Kebenaran tak selalu layak untuk diungkap. Kadang, ia lebih baik dikubur bersama waktu."
"Tapi aku bagian dari rahasia itu, Pak Haji! Aku berhak tahu!" Aisyah menatapnya, matanya menyala.
Haji Aswad menatap balik. "Kau anak dari seseorang yang memilih menghilang demi menyelamatkan lebih banyak jiwa. Dan rahasia itu, jika kau ungkap, akan membakar banyak nama besar."
Khaerul melangkah maju. "Kami tidak mencari sensasi. Kami mencari kebenaran."
Suasana menjadi tegang. Lalu, perlahan, Haji Aswad berjalan menuju lemari tua. Ia membuka laci tersembunyi dan mengeluarkan sebuah buku lusuh berbalut kain.
"Ini catatan ayahmu, Aisyah. Tapi aku beri peringatan: sekali kau baca ini, hidupmu tak akan sama lagi."
Aisyah menerima buku itu dengan tangan gemetar. Ketika membuka halaman pertama, sebaris tulisan membuat napasnya tercekat: "Jika kau membaca ini, maka aku telah gagal menyelamatkanmu dari takdir kelam yang sama."
---
Dari halaman ke halaman, terkuaklah nama-nama tokoh terpandang, aliran dana misterius ke yayasan-yayasan, dan jaringan pengaruh yang menyebar dari desa kecil hingga ke kota besar. Nama ibunya muncul, bukan sebagai korban, tapi sebagai pelindung rahasia—seorang penjaga garis depan yang diam-diam menyelamatkan banyak jiwa.
Aisyah menutup buku itu. Dunia terasa berguncang. Identitasnya bukan hanya seorang gadis kampung atau guru mengaji biasa. Ia adalah warisan dari sejarah yang dipenuhi pengkhianatan, pengorbanan, dan rahasia yang menunggu untuk diledakkan.
"Kita harus hati-hati," kata Khaerul. "Kalau ini tersebar ke tangan yang salah, bukan cuma nama baik, tapi nyawa yang jadi taruhan."
Aisyah mengangguk. Tapi di balik ketakutannya, ada nyala tekad. Jika ibunya memilih jalan diam untuk menyelamatkan, mungkin kini saatnya ia bersuara untuk menebusnya.
Langit siang berubah kelam. Di luar, bayangan-bayangan mulai bergerak, mengikuti setiap langkah Aisyah. Karena ketika kebenaran mulai muncul ke permukaan, selalu ada yang ingin menguburnya kembali—dengan cara apa pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments