Bab 3: Api yang Belum Padam

Langkah kaki Aisyah dan Khaerul terhenti di depan lahan kosong yang penuh semak dan ilalang. Di sinilah dulu berdiri rumah yang dikatakan menyimpan kitab pusaka—rumah La Besse. Tapi sekarang, hanya abu masa lalu yang tersisa, ditutupi alam seolah waktu sendiri bersekongkol untuk menghapus jejaknya.

“Aku ingat... dulu aku dilarang main ke sini,” bisik Aisyah. “Kata Ibu, rumah ini berhantu. Tapi mungkin... hantunya bukan makhluk halus. Tapi kebenaran yang dikubur.”

Khaerul menyapu pandangannya ke sekitar, lalu membuka lipatan peta yang mereka dapatkan dari lelaki tua itu. “Tanda merahnya ada di sini. Harusnya ada sesuatu terkubur. Kita gali.”

Dengan sekop pinjaman dari rumah tetangga, mereka mulai menggali di tempat yang ditandai. Tanah terasa keras, seolah enggan mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Namun, setelah lebih dari satu jam, bunyi logam menabrak kayu menggetarkan keduanya.

Aisyah berjongkok dan mulai membersihkan tanah di sekelilingnya. Di sana, sebuah kotak kayu tua tertanam. Kunci besinya sudah berkarat, tapi tetap kokoh.

Saat Aisyah hendak membukanya, suara gemeretak terdengar dari belakang. Mereka menoleh cepat. Seorang pria berjubah hitam berdiri tak jauh, wajahnya tertutup separuh kain, dan matanya seperti bara api yang menyala dalam kelam.

“Kalian tak seharusnya di sini,” katanya datar namun penuh ancaman.

Khaerul berdiri di depan Aisyah, melindungi. “Siapa kau?”

“Penjaga masa lalu. Dan kalian membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.”

Pria itu bergerak cepat seperti bayangan. Dalam sekejap ia sudah berdiri di samping mereka. Tapi sebelum sempat merebut kotak itu, Aisyah menatapnya tajam dan berkata, “Aku cucu La Besse. Jika kau sungguh penjaga masa lalu, kau akan tahu darah siapa yang mengalir di tubuhku.”

Mata pria itu membelalak. Ia mundur satu langkah, lalu tanpa berkata lagi, ia berbalik dan menghilang di antara kabut pagi.

Aisyah membuka kotak itu dengan gemetar. Di dalamnya, terdapat dua benda: sebuah manuskrip tua berbahasa Bugis kuno, dan sebuah liontin berbentuk bulan sabit, dengan ukiran yang tak ia kenali.

Khaerul mengambil manuskrip itu, membacanya pelan. “Ini... bukan hanya kitab. Ini adalah catatan sejarah yang mengaitkan ulama-ulama besar dengan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Dan nama La Besse disebut sebagai salah satu penyelamatnya.”

Aisyah merasakan dadanya sesak. “Lalu... kenapa semua orang menghapus namanya?”

“Karena ia tahu sesuatu yang terlalu besar untuk disimpan dalam kampung kecil seperti ini.”

Tiba-tiba, liontin dalam genggaman Aisyah menghangat. Ia menatapnya. Ukiran di permukaannya mulai bercahaya lemah, seperti memberi isyarat.

“Aku rasa... ini bukan hanya kenangan. Ini kunci.”

Malam pun datang perlahan, membawa hawa yang lebih dingin dari biasanya. Mereka memutuskan untuk kembali, namun tak menyadari bahwa sejak pagi, langkah mereka telah diikuti oleh lebih dari satu bayangan. Di balik pohon besar tak jauh dari tempat mereka menggali, seseorang mengintai dengan mata penuh dendam dan gelisah.

Dan dalam kegelapan yang menyelimuti malam itu, suara bisikan bergema:

“Rahasia harus dijaga, meski nyawa jadi taruhannya.”

Pagi harinya, langit menampakkan semburat merah seperti luka di dada langit. Aisyah terbangun dari tidurnya di rumah nenek tua tempat mereka menumpang sementara. Keringat dingin membasahi dahinya. Ia baru saja bermimpi melihat rumah La Besse utuh kembali, dan dari balik jendelanya, sosok perempuan tua menatapnya dengan mata yang tak berkedip.

“Dia ingin aku tahu lebih banyak...” gumamnya.

Ia bangkit dan menemukan Khaerul sudah duduk di teras, memandangi langit. Di tangannya, manuskrip tua masih terbuka, halaman-halamannya yang rapuh dijaga dengan hati-hati.

“Beberapa bagian sudah bisa kuterjemahkan,” katanya tanpa menoleh. “Tapi bagian terakhir ini... seperti petunjuk. Tentang sesuatu yang disebut 'Langgeng Tala'. Kau tahu apa itu?”

Aisyah menggeleng. Kata itu asing, tapi terasa begitu penting. Ia duduk di samping Khaerul dan menyentuh liontin di lehernya. “Mungkin ini terkait liontin ini.”

Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu. Seorang perempuan paruh baya dengan tatapan gugup berdiri di ambang. “Kalian... cari tahu tentang La Besse?”

Aisyah menatapnya tajam. “Iya. Apakah Anda kenal beliau?”

Perempuan itu menunduk. “Aku anak dari sahabatnya. Aku tahu sesuatu yang bisa membantu. Tapi kita tak bisa bicara di sini. Mereka mengawasi.”

Tanpa banyak bicara, mereka mengikuti perempuan itu menuju kebun bambu di pinggir desa. Di sana, ia membuka sebuah peti kayu kecil dan menyerahkan kertas kuning kecoklatan.

“Ini surat yang ditulis La Besse sebelum ia menghilang. Dia tahu sesuatu... tentang pengkhianatan.”

Khaerul membaca surat itu cepat. “Ini... ini menyebut nama ayahmu, Aisyah.”

Aisyah merasa dunia runtuh. Ayahnya yang selama ini dikenalnya sebagai pria pendiam dan religius, ternyata pernah terlibat dalam peristiwa besar yang ditutupi sejarah kampung mereka. Rahasia itu seperti belati yang menembus jantungnya perlahan.

Surat itu menyebutkan pertemuan rahasia yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh desa dan utusan kolonial. La Besse mencoba menghentikannya, namun dikhianati dari dalam. Nama ayah Aisyah muncul sebagai salah satu yang hadir dalam pertemuan itu—bukan sebagai pengkhianat, tapi sebagai saksi yang memilih diam.

“Kenapa Ayah tak pernah bicara tentang ini?” bisik Aisyah, air mata mulai jatuh.

“Karena kadang diam adalah pilihan terakhir bagi yang ingin melindungi,” ujar perempuan itu.

Mereka kembali ke rumah menjelang senja, membawa surat itu dan beban rahasia yang kian berat. Saat malam menjelang, suara ketukan keras menggema di pintu. Seorang pemuda dengan wajah panik berdiri di luar.

“Ada yang membakar rumah tempat kalian menggali kemarin,” katanya tergesa. “Seseorang ingin menghapus semuanya.”

Aisyah dan Khaerul saling berpandangan. Api itu belum padam. Ia menyala di hati mereka, dan juga di hati mereka yang ingin kebenaran tetap terkubur. Tapi sekarang, pertarungan baru saja dimulai.

Dan api yang menyala, tak lagi bisa diredam dengan air atau waktu.

Pagi itu datang seperti pengkhianat yang berlagak lembut, namun menyimpan sembilu di balik sinarnya. Matahari hanya menyentuh dunia dengan setengah hati, menyelinap malu-malu di balik awan kelabu yang menggantung rendah. Aisyah duduk di serambi rumah tua itu, surat di tangannya telah lusuh oleh genggaman semalaman. Khaerul berdiri di sampingnya, diam seperti batu nisan yang enggan bicara.

"Ini lebih dari sekadar pengakuan," kata Aisyah pelan, suaranya nyaris seperti gumaman angin. "Ini... ancaman."

Khaerul mengambil surat itu, membaca ulang setiap baris seperti membaca mantra gelap. Tulisannya memang biasa saja, namun maknanya menyimpan racun yang bisa membunuh tanpa pisau. Nama-nama disebutkan—tokoh-tokoh terhormat di kampung itu, termasuk ayah Khaerul sendiri.

"Kalau ini tersebar, tidak hanya reputasi mereka yang hancur. Bisa-bisa, seluruh kampung ini terpecah belah."

Aisyah menatap jauh ke pekarangan belakang, tempat pohon jati tua berdiri. Dulu, di bawah pohon itu, ibunya sering duduk sambil menyulam, menyanyikan lagu-lagu Bugis dengan suara lembut yang kini hanya menjadi gema masa lalu.

"Kau tahu kenapa aku kembali ke kampung ini? Bukan untuk mencari damai. Tapi untuk mencari kejujuran, meski harus menyusuri neraka untuk menemukannya."

Khaerul menatap gadis itu, seolah baru pertama kali melihatnya. Di balik sosok tenangnya, tersembunyi kekuatan yang menggetarkan. Seperti bara yang menyala di bawah abu, siap membakar bila disentuh.

Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu. Tiga kali, pelan namun teratur. Aisyah dan Khaerul saling pandang. Tak ada yang menanti tamu pagi itu. Dalam sunyi yang mendadak pekat, Khaerul bangkit dan membuka pintu.

Di ambang pintu berdiri seorang perempuan tua berkerudung hitam. Wajahnya penuh keriput, namun matanya menyimpan kilau tajam yang tak asing bagi Aisyah.

"Mak Lisu...?" lirih Aisyah, nyaris tak percaya.

Perempuan itu tersenyum samar, senyum yang lebih seperti peringatan daripada sapaan. "Bukan semua surat harus dibaca. Dan tidak semua kebenaran harus dibuka."

Mak Lisu adalah penjaga rahasia keluarga mereka. Dulu, ia hanyalah pembantu di rumah nenek Aisyah, namun tak ada satu pun peristiwa besar yang luput dari pengamatannya. Ia berjalan masuk tanpa diundang, membawa serta hawa dingin yang menyelimuti ruangan.

"Kau sudah temukan surat itu, ya? Sudah waktunya, rupanya... Tapi kau harus tahu, Aisyah, ada yang lebih dari sekadar tulisan di atas kertas."

Khaerul meneguk ludah. "Maksud Mak Lisu?"

"Surat itu hanya awal. Ada satu lagi. Surat yang tak pernah dikirim, tapi jika jatuh ke tangan yang salah... nyawa bisa melayang."

Aisyah berdiri, wajahnya berubah tegang. "Di mana surat itu? Siapa yang menyimpannya?"

Mak Lisu menggeleng pelan. "Aku tak tahu pasti. Tapi dulu, ibumu pernah bilang, 'Jika suatu saat kebenaran membahayakan anakku, maka aku akan menanamnya dalam mimpi yang tak pernah usai.'"

Hening menyelimuti mereka. Kalimat itu seperti teka-teki, tapi bagi Aisyah, itu adalah pintu yang membuka memori.

"Lukisan di kamar ibuku," gumamnya. "Ada gambar jembatan, dan di bawahnya... kata-kata dalam bahasa Bugis yang aku tak pernah mengerti."

Khaerul dan Mak Lisu saling pandang. Misteri ini semakin dalam, seperti sumur tua yang tak terlihat dasarnya.

"Kita harus ke sana," kata Aisyah.

---

Beberapa jam kemudian, mereka bertiga berada di kamar tua itu. Bau kapur barus dan debu masa lalu menyeruak begitu pintu dibuka. Di dinding, tergantung lukisan yang dimaksud. Warnanya sudah pudar, namun bentuk jembatan dan tulisan di bawahnya masih tampak jelas.

Khaerul mendekat dan membacanya keras-keras, "Tappela’ sibawa ale’na, malongko ri laleng…" Ia terdiam.

"Apa artinya?" tanya Aisyah.

"Berjalan bersama bayangannya, menuju dalamnya..." bisik Khaerul, "...ke dalam." Ia menoleh pada Aisyah. "Seolah... tempat itu nyata."

Mak Lisu menyentuh lukisan itu, jari-jarinya gemetar. "Ini bukan hanya petunjuk. Ini peta. Jembatan itu ada di luar kampung, dekat hutan bambu. Dulu pernah ada gua di bawahnya, tapi ditutup setelah banjir besar bertahun-tahun lalu."

Detak jantung Aisyah berdentum kencang. Ia merasa sedang berdiri di ambang sebuah kebenaran yang bisa mengubah segalanya.

"Kita harus ke sana sebelum orang lain menemukannya lebih dulu."

Mak Lisu menatap keduanya, tatapan yang penuh kekhawatiran. "Tapi kau harus siap, Aisyah. Di bawah jembatan itu bukan hanya surat yang tersembunyi. Tapi juga masa lalu yang selama ini menunggu untuk bangkit kembali."

Angin kembali bertiup, kali ini membawa aroma tanah dan ketegangan. Aisyah menggenggam tangannya erat. Ia tahu, apa pun yang menantinya di bawah jembatan, tidak ada jalan kembali. Misteri telah dibuka, dan waktu tidak lagi bersahabat.

Namun satu hal yang pasti: meski ia bukan ustadzah, ia tidak akan mundur dari kebenaran.

Bab 3 masih belum usai. Saat mereka bersiap meninggalkan rumah tua itu, langkah kaki asing terdengar di luar.

Seseorang mengintai mereka sejak tadi.

Dan orang itu bukan dari kampung ini.

Episodes
1 Bab 1: Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pergi
2 Bab 2: Jejak yang Terhapus
3 Kisah inspiratif penuh misteri
4 Bab 3: Api yang Belum Padam
5 Bab 4: Bayangan dalam Cermin Retak
6 Bab 5: Di Balik Sujud yang Panjang
7 Bab 6: Jejak Darah dan Titik Terang
8 Bab 7: Bayangan yang Menyimpan Nama
9 Bab 8: Segel Makam dan Suara dari Masa Silam
10 Bab 9: Kebenaran yang Tersingkap
11 Bab 11: Janji dalam Sujud
12 Bab 12: Cahaya di Ujung Lembah
13 Bab 13: Api yang Terus Membara di Tengah Penolakan
14 Bab 14: Cahaya dari Timur
15 Bab 15: Cahaya dari Ujung Derita
16 Bab 16: Tanda-Tanda Kehidupan Baru
17 Bab 17: Bayang-Bayang Leluhur
18 Bab 18: Di Ujung Harap dan Doa
19 Aisyah
20 Bab 19: Aisyah — Di Ambang Kehidupan dan Kelahiran
21 Bab 20: Penentuan Takdir
22 Bab 21: Riak Keluarga dan Luka yang Belum Sembuh
23 Bab 22: Cahaya yang Direnggut
24 Bab 24: Gua Cahaya, Pintu Rahasia
25 Bab 25: Pelita dalam Kegelapan
26 Bab 26: Surat Tanpa Nama
27 Bab 27: Di Ambang Kegelapan
28 Bab 28: Surat Tanpa Nama dan Dunia di Antara
29 Bab 29: Jejak Parakang dan Pintu yang Terbuka
30 Bab 30: Doa yang Membakar Langit
31 Bab 31: Bayang Masa Lalu
32 Bab 32: Bayang-Bayang di Balik Kedatangan Ainun
33 Bab 33: Jejak yang Terungkap
34 Bab 34: Jejak yang Tertinggal
35 Bab 35: Bayang-Bayang di Antara Cinta dan Ujian
36 Bab 36: Di Antara Dua Cinta dan Langit yang Retak
37 Bab 37: Darah Cahaya dan Bayangan Ainun
Episodes

Updated 37 Episodes

1
Bab 1: Bayang-Bayang yang Tak Pernah Pergi
2
Bab 2: Jejak yang Terhapus
3
Kisah inspiratif penuh misteri
4
Bab 3: Api yang Belum Padam
5
Bab 4: Bayangan dalam Cermin Retak
6
Bab 5: Di Balik Sujud yang Panjang
7
Bab 6: Jejak Darah dan Titik Terang
8
Bab 7: Bayangan yang Menyimpan Nama
9
Bab 8: Segel Makam dan Suara dari Masa Silam
10
Bab 9: Kebenaran yang Tersingkap
11
Bab 11: Janji dalam Sujud
12
Bab 12: Cahaya di Ujung Lembah
13
Bab 13: Api yang Terus Membara di Tengah Penolakan
14
Bab 14: Cahaya dari Timur
15
Bab 15: Cahaya dari Ujung Derita
16
Bab 16: Tanda-Tanda Kehidupan Baru
17
Bab 17: Bayang-Bayang Leluhur
18
Bab 18: Di Ujung Harap dan Doa
19
Aisyah
20
Bab 19: Aisyah — Di Ambang Kehidupan dan Kelahiran
21
Bab 20: Penentuan Takdir
22
Bab 21: Riak Keluarga dan Luka yang Belum Sembuh
23
Bab 22: Cahaya yang Direnggut
24
Bab 24: Gua Cahaya, Pintu Rahasia
25
Bab 25: Pelita dalam Kegelapan
26
Bab 26: Surat Tanpa Nama
27
Bab 27: Di Ambang Kegelapan
28
Bab 28: Surat Tanpa Nama dan Dunia di Antara
29
Bab 29: Jejak Parakang dan Pintu yang Terbuka
30
Bab 30: Doa yang Membakar Langit
31
Bab 31: Bayang Masa Lalu
32
Bab 32: Bayang-Bayang di Balik Kedatangan Ainun
33
Bab 33: Jejak yang Terungkap
34
Bab 34: Jejak yang Tertinggal
35
Bab 35: Bayang-Bayang di Antara Cinta dan Ujian
36
Bab 36: Di Antara Dua Cinta dan Langit yang Retak
37
Bab 37: Darah Cahaya dan Bayangan Ainun

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!