Setelah berhasil keluar dari keributan tadi, Danen terus menuntun sang istri untuk segera pulang dan saat ini pasangan suami-istri tersebut berada di dalam lift menunggu dengan gelisah agar lift yang mereka tumpangi segera turun ke lantai dasar. Danen menepuk-nepuk pelan punggung Alena sesekali ia mengusapnya dan memberikan pelukan hangat, berharap dengan cara ini Alena bisa tenang dan berhenti menangis.
“Maafin aku!”
“Maafin aku sayang!”
Namun bukannya tenang tangisan Alena bertambah terisak perih, membuat Danen menjadi semakin gelisah, ia tau ini terjadi atas kesalahannya sendiri yang telah keliru meninggalkan Alena sendirian.
“Alena udah ya sayang berenti nangisnya, ada aku di sini!” Danen semakin mengeratkan rangkulannya sesekali jari jempolnya bergerak teratur menghapus setiap cairan yang keluar dari iris mata yang sebening kristal tersebut.
“Maafin aku sayang, aku sungguh menyesal, aku terluka melihatmu seperti ini!” Danen tidak berbohong, hati kecilnya memang terasa tertekan setiap melihat kekasih hatinya menangis, dalam keadaan seperti ini dia sedikit linglung tidak tau harus berkata apa selain kata maaf.
“DANENDRA!” Danen terus menggiring wanita yang amat dicintainya itu dengan tertatih agar segera sampai ke kendaraan yang akan membawa mereka pulang, tapi ketika akan membukakan pintu mobil untuk Alena, Danen terkejut dari arah belakang Aleon berteriak marah kepadanya, karena panik Danen mendorong cepat Alena agar segera masuk ke dalam mobil dan membiarkan dirinya menjadi sasaran kemarahan Aleon.
BUGH!
Begitu Aleon berhasil sampai di hadapan Danen, pria cakung dengan mata merah padam tersebut tanpa pikir panjang langsung melayangkan satu kepalan tinju ke rahang tegas adik iparnya.
BUGH!
BUGH!
AKHH!
BUGH! Aleon membabi buta, ia menghajar adik iparnya habis-habisan hingga tubuh pria itu terbaring di kerasnya aspal lantai dasar ini, walaupun sudah terbaring lemah amarah Aleon tidak mereda dia terus membogem wajah Danen yang sudah mulai berantakan.
Sementara Alena ia tidak sanggup untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Alena takut, wanita itu sangat takut jika harus menatap sang kakak yang sedang kesetanan.
Dadanya memburu, keringat dingin mulai bercucuran di pelipis Alena, setiap kali mendengar erangan sang suami Alena hanya bisa bergetar ketakutan. Alena sungguh tidak sanggup jika harus melihat perkelahian di depan matanya, apalagi itu dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Wanita itu meringkuk bersembunyi di dalam mobil seraya menutup kedua daun telinganya, bayang-bayang pilu belasan tahun lalu mulai kembali terputar otomatis dalam benaknya, semakin jelas memori itu terputar maka semakin sesak ruang dada Alena, ia kesulitan bernapas saat ini.
Sejak dulu, saat itu Alena tidak lagi memiliki keberanian melihat perkelahian atau pertengkaran sekecil apa pun, ia mengalami sedikit trauma. Masih terekam jelas dalam benaknya hari itu, hari di mana ayahnya berkelahi dengan seseorang secara membabi buta hingga menyebabkan orang itu tewas mengenaskan di tangan sang ayah. Saat itu Alena masih berusia tujuh tahun, bahkan ia tertawa riang karena berada dalam gendongan sang ayah yang baru saja menjemputnya sepulang sekolah. Tapi siapa disangka ketika mereka sampai di istana megah yang mereka tinggal tanpa diduga ayahnya melihat sendiri istri yang begitu dicintai dan dihormatinya sedang bergumul mesra dengan supir pribadi keluarga mereka. Tanpa toleransi sosok ayah yang begitu lembut dan penyayang selama ini di mata Alena seketika berubah menjadi monster, dia menghajar habis-habisan lelaki yang bersama ibunya tadi, bahkan jika tidak dihentikan ayah bisa saja membunuh istrinya sendiri. Beruntung Aleon datang dan meredamkan suasana, dan sejak hari itu Alena tidak pernah lagi mendengar dan melihat keberadaan sang ibu.
“Danen sialan, beraninya kau membuat adikku menangis!”
“Ma… maaf!” Dengan napas yang tersenggal serta rasa sakit yang mulai menjalari seluruh wajahnya dan dengan bibir yang terus mengeluarkan darah, Danen berujar pelan merapalkan kata maaf yang entah untuk siapa.
“BERHENTI! ALEON CUKUP!!!” Aleon kembali merapalkan buku jarinya, dirinya sudah sangat siap akan kembali melayangkan satu pukulan, tapi aksinya terhenti tangan kekar Aleon ditahan oleh seseorang.
“Aleon sudah, sudah!” Dengan napas yang memburu karena habis berlari mengejar langkah Aleon akhirnya Meisya sampai, tapi dia lumayan terlambat keadaan Danen sudah cukup mengenaskan.
“Sudah, sayang... cukup. Danen bisa mati!" Suara Meisya lirih tapi tegas, menggetarkan udara yang tegang. Dengan lembut namun pasti, ia membantu kekasihnya bangkit dari tubuh Danen yang masih terbaring tak berdaya di tanah. Napas mereka memburu, adrenalin perlahan surut digantikan dengan kesunyian yang diiringi dengan suara napas memburu dari Aleon dengan dada yang naik turun serta dengan tatapan penuh amarah.
Sementara itu, Meisya—dengan mata yang menyimpan kepanikan dan kalut menggamit lengan kekasihnya dan menariknya menjauh dari tempat itu. Tanpa sepatah kata, ia membukakan pintu mobil, memaksanya masuk. Deru mesin terdengar dalam detik-detik berikutnya, dan mobil yang ia kemudikan melesat pergi.
Yang tertinggal hanyalah tubuh Danen, terkulai lemas di tanah, dia menatap hampa kepergian mobil itu tidak ada rasa ingin membalas pukulan yang barusan saja dia terima, ini memang pantas dia dapatkan bahkan seharusnya Aleon bunuh saja lelaki yang tidak becus ini.
Setelah melihat mobil Aleon menjauh, Alena segera berlari keluar menghampiri suaminya yang sudah terkulai lemas, ia menangis pilu, tangan kecil Alena bergetar setiap menyentuh bagian wajah suaminya yang terluka.
“Danen!” Alena tidak sanggup berujar sepatah katapun, ia hanya bisa terisak pilu dan terus kesulitan bernapas.
“Alena, maafin aku!” Dengan suara pelannya dan bahkan hampir tidak terdengar Danen kembali merapalkan kata maaf. Lelaki itu berusaha bangkit dan berusaha sekuat tenaganya untuk merangkul sang istri yang sedang menangis, ia memeluk wanita itu membiarkannya menangis dalam-dalam di dada bidangnya. Sementara Alena terus mengeluarkan kesedihannya di sisi lain tatapan Danen kosong ia mulai merasakan atmosfer di sekitarnya semakin sempit, semua semakin samar, tangisan Alena, pandangan matanya semua samar dan dalam beberapa detik Danen tidak merasakan apapun ia jatuh pingsan.
*****
Mata yang terpejam tenang itu bergerak perlahan, butuh waktu beberapa detik bagi sang pemilik mata untuk bisa membuka kembali matanya, dia kesulitan menyesuaikan keadaan cahaya yang akan menyambut netra sayunya ini.
Saat netra sayu itu terbuka, ada sedikit kebingungan dalam benaknya, ini tempat yang asing. Tempat ini bernuansa putih temaram, dengan derit ranjang yang khas. Ini bukan kamarnya, Danendra yakin sekali ini ruangan kerjanya bukan kamar tidur pribadi yang hangat. Tapi kenapa pula dia bisa tersadar di ranjang rumah sakit, padahal yang dirasakan ia baru saja terbangun dari tidur panjang yang menenangkan.
Kepalanya sedikit pusing, Danen baru menyadari alasan kenapa dia bisa terbaring di bangsal ini, “Alena?”
“Sayang kamu sadar?” Baru saja saja Danen memikirkan Alena, dan sekarang wanita itu sudah ada tepat sekali di depan wajahnya. Danen berusaha bangun dan ingin meraih tangan Alena, “jangan banyak gerak, kamu dalam masa pemulihan!” Seru Alena, berhasil membuat Danen mengurungkan niatnya.
“Alena sudah berapa hari aku dirawat?”
“Dua hari, kamu pingsan dalam waktu dua hari.”
“Selama itu? Bagaimana denganmu kamu baik-baik saja kan?” Tanya Danen penuh kekhawatiran, dua hari ia tidak sadarkan diri, dia tahu selama dua hari itu Alena pasti hidup dengan tidak teratur, jelas terlihat Alena masih menggunakan gaun kemarin serta rambut yang tampak berantakan dengan wajah yang pucat pasi.
“Aku baik-baik saja, selama kamu masih ada di sini aku pasti akan baik-baik saja Danen. Terimakasih sudah bertahan dalam masa segala masa sulit, aku sungguh takut sekali kamuㅡ menyerah.” Sedikit terbata-bata Alena berhasil menyelesaikan kalimatnya, ia tidak sanggup membayangkan jika Danen tidak membuka matanya lagi. Maka selama suaminya terbaring di bangsal rumah sakit dengan mata tertutup maka selama itu pula Alena tidak berpaling, ia tidak bergerak sedikitpun, padahal orang-orang di sekitarnya sudah memaksa agar ia segera istrirahat tapi Alena menolak, mana mungkin ia meninggalkan suaminya sendiri wanita itu terlalu kalut.
Pagi yang hangat, belum banyak orang-orang yang berlalu-lalang di tempat penuh duka dan harapan ini. Paling-paling yang Alena lihat hanya orang-orang berbaju putih yang selalu menyapanya dan bersikap sopan.
“Selamat pagi Ibu Alena dan Pak Danen!” Sapa seorang perawat yang baru saja lewat, padahal ia terlihat buru-buru tapi tetap membungkuk sopan kepada dua orang ini.
“Sayang aku sudah sehat kenapa harus menggunakan kursi roda, aku bisa berdiri bahkan berlari!” Keluh Danen karena merasa tidak nyaman ia duduk santai di kursi roda sedangkan istrinya sibuk mendorong dari belakang, “Akh!” Danen mengeluh saat telinganya dijewer Alena, lagian siapa suruh berani-beraninya berdiri dari kursi itu.
“Duduk kembali Danen, kamu baru sembuh jangan aneh-aneh!” Perintah Alena sedikit galak.
“Alena aku tahu, kamu khawatir tapi aku lebih khawatir gimana jika kamu kelelahan karena mendorongku? Dan aku juga tau kamu pasti tidak tidurkan dalam dua hari ini?”
“Bodoh, gimana aku bisa tidur jika kamu sedang berjuang.” Alena menggerutu kesal, dan tidak sadar baru saja bersikap tidak sopan kepada suaminya.
“Astaga… berjuang apa aku cuman pingsan dua hari sayang kamu saja terlalu berlebihan!” Balas Danen dengan nada tidak kalah kesal, membuat mimik wajah Alena langsung berubah masam.
“Berlebihan?” Suara Alena sedikit bergetar, dia berhenti mendorong kursi roda Danen.
Danen sadar suara istrinya mulai bergetar dan menahan kesal, betapa cerobohnya Danen merusak suasana pagi yang tenang. Pria itu tanpa diperintah langsung berdiri dari pusakanya, dan menatap wajah Alena dalam-dalam, “berlebihan Danen? Kamu bilang aku berlebihan, kamu sadar gak aku takut aku sangat ketakutan!” Pecah sudah Alena memulai paginya dengan air mata.
“Aku… aku salah!” Danen panik, ia segera memeluk sang istri dalam-dalam.
“Kamu tau gak, waktu kak Aleon menghajar kamu itu mirip sekali dengan papa, suaranya wajahnya semuanya mirip hari itu, aku takut!” Alena mulai kesulitan bernapas, tapi tetap ingin melanjutkan kalimatnya, “papa membunuh orang seperti itu, memukulnya sampai mati bahkan mama juga hampir mati di tangan papa!” Alena tidak mengerti kenapa kejadian belasan lalu selalu menganggunya, ia tidak bisa tenang .
“Aku takut, gimana hari itu terulang lagi, gimana ternyata kamu juga mengalami hal yang sama, kamuㅡaku takut kamu juga menyerah di tangan kak Aleon, sama seperti Pak Rudi yang menyerah di tangan papa.”
“Alena berhenti ngelantur, aku sehat sayang, aku gak akan menyerah semudah itu, kumohon berhentilah memikirkan yang seharusnya tidak terjadi.”
Alena terus tersedu-sedu, dadanya sesak sekali, ada banyak kekhawatiran dalam hati kecilnya, ia begitu mencintai suaminya Alena tidak sanggup jika lelaki itu benar-benar meninggalkannya.
“Tenang ya sayang, aku janji aku akan selalu ada di sisi kamu, aku gak akan pergi dari kamu segampang itu. Aku ngerti kamu pasti dua hari ini kurang istrirahat makanya jadi melantur seperti ini, sekarang sebaiknya kita pulang ya!”
Danendra sibuk berusaha mendudukan Alena di kursi roda, Alena harus istrirahat emosi wanita itu sangat tidak stabil. Tapi Alena menolak mulutnya bergetar seperti masih ada kalimat yang akan ia keluarkan, karena Alena terus menolak untuk duduk di kursi roda Danen berusaha menggendongnya, “Danen terus gimana jika aku tidak akan pernah melahirkan anakmu, apa kamu akan tetap disini?”
Astaga, Danen mengusap rambutnya frustasi. Kenapa Alena malah membahas hal itu, bukankah mereka sudah pernah membahasnya, sudah berulang kali Danen mengatakan ia tidak akan meninggalkan Alena, sekalipun wanita itu mandul, ia akan terus mencintai Alena walau tanpa seorang anak.
“Jawab Danendra!” Alena menepuk-nepuk pelan dada bidang suaminya, sambil terus terisak pilu.
Danen menarik napasnya pelan, lalu menghembuskannya kasar, ia sudah muak dengan pembahasan ini kenapa Alena tidak mau mengerti.
“Jawab Danen? Aku wanita cacat yang tidak akan melahirkan anakmu!”
“ALENA!” Suara lantang dan nyaring Danen secara tiba-tiba membuat Alena terkejut, gemuruh di dada Alena semakin tidak teratur. Dan hingga akhirnya tubuh wanita itu terjatuh begitu saja.
“Lena?” Danen menyesal kelepasan hingga tidak sadar membentak istrinya, pria bersuarai hitam pekat itu panik setengah mati saat melihat sang istri jatuh pingsan.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments