“Sudah sejauh mana perkembanganmu?”
Suara itu terdengar datar, tetapi bagi gadis itu, pertanyaan itu lebih dari sekadar basa-basi. Sejenak, ia terdiam, menatap kembali bubur dalam mangkuknya sebelum menghela napas pelan.
“… Tidak banyak perubahan.”
Jawabannya jujur, tetapi pahit. Ia masih ingat bagaimana seluruh murid lain di sekolah perlahan mulai menunjukkan perkembangan mereka, sementara dirinya tetap stagnan. Segel yang mengunci kekuatannya masih belum sepenuhnya terbuka, meskipun ia telah berusaha selama bertahun-tahun.
Sang ayah terdiam sejenak sebelum kembali meneguk arak dalam gelasnya. Gadis itu hanya bisa menggenggam erat mangkuk kayu di tangannya, menunggu respons yang akan diberikan pria itu.
Ayahnya meletakkan gelasnya dengan sedikit kasar di atas meja, suara denting kayu terdengar nyaring di tengah keheningan. Napasnya yang berat bercampur dengan aroma arak yang menyengat.
“Sia-sia.”
Satu kata itu meluncur dari bibirnya dengan dingin, membuat gadis itu menegang.
“Latihanmu, usahamu, semua itu tidak ada gunanya.” Ayahnya menatapnya, matanya yang redup seperti menyimpan sesuatu yang tak dapat diungkapkan. “Takdirmu bukan untuk menjadi seseorang yang hebat. Kau hanyalah seorang anak yang lahir untuk melayani. Menyiapkan makanan, menuangkan arak, memastikan aku tidak kelaparan. Itu saja yang bisa kau lakukan.”
Kata-kata itu tajam, lebih tajam dari belati mana pun. Yin Lian hanya bisa diam, menundukkan kepalanya sementara jari-jarinya mencengkeram mangkuk kayu dengan erat.
Ia ingin membantah.
Ia ingin berkata bahwa dirinya bukan hanya sekadar seorang anak yang hidup untuk melayani, bahwa ia juga memiliki impian, bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang lebih besar dari apa yang dipikirkan ayahnya. Namun, seperti biasa, ia tetap diam.
Namun, sebelum ayahnya bisa berbicara lebih banyak, suara ketukan terdengar dari pintu kayu yang sudah usang.
Tok. Tok. Tok.
Langit di luar mulai sedikit lebih cerah, menandakan bahwa fajar sudah mendekat. Suara lembut seorang pria terdengar dari balik pintu, memecah ketegangan di dalam rumah.
“Xiao Lian.”
Panggilan itu tenang, tetapi cukup untuk membuat gadis itu tersadar dari lamunannya. Ia menoleh ke arah pintu, sedikit ragu, tetapi juga merasa lega.
Ayahnya hanya mendengus pelan, kembali meraih gelasnya, seolah tidak peduli siapa pun yang datang. Yin Lian menghela napas, menenangkan dirinya sejenak sebelum melangkah menuju pintu dan membukanya perlahan.
Di balik pintu, berdiri seseorang yang telah menunggunya.
Yin Lian membuka pintu kayu yang sudah mulai lapuk. Bunyi deritannya terdengar pelan, menggema dalam keheningan pagi, dan di depannya berdiri seorang lelaki tua dengan tongkat kayu di tangannya. Wajahnya dipenuhi kerutan usia, tetapi matanya memancarkan kehangatan dan kebijaksanaan yang tidak pudar seiring waktu. Ia tersenyum lembut begitu melihat Yin Lian.
"Pagi yang indah, Xiao Lian," sapanya lembut. Suaranya dalam, sedikit serak, tetapi membawa ketenangan seperti desir angin di pegunungan. "Aku datang ke sini untuk menjemputmu ke sekolah.”
Gadis itu menatap lelaki tua tersebut. Ini bukan pertama kalinya kakek Wu Cheng datang menjemputnya. Lelaki tua itu sudah bertahun-tahun melatih anak-anak di desa dalam seni bela diri dan pengendalian energi, memastikan mereka memiliki keterampilan bertahan hidup di dunia yang keras.
Namun, sebelum Yin Lian sempat menjawab, suara berat dari dalam rumah memecah keheningan.
"Hah? Menjemput? Untuk apa?!"
Suara itu berasal dari seorang pria yang duduk di kursi kayu di sudut ruangan. Cahaya samar dari lampu minyak menyorot wajahnya yang kasar dan lelah, menunjukkan mata merah yang dipenuhi keletihan dan mabuk. Tangannya yang besar menggenggam erat gelas berisi arak, sebelum meneguknya sekali lagi.
"Kakek tua, kau pikir kau bisa membawa anakku pergi sesukamu?" dengusnya dengan nada tajam. "Dia ada di rumah ini bukan untuk bermain-main di akademi. Dia punya kewajiban untuk tinggal di sini dan melayaniku."
Yin Lian menggigit bibirnya, menundukkan kepala, sementara tangan kecilnya mengepal di sisi tubuhnya. Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk dadanya, tetapi bukan hal baru baginya. Ia sudah terbiasa mendengarnya sejak lama.
Kakek Wu Cheng mengamati pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak menunjukkan kejengkelan, tidak pula kemarahan. Yang ada hanyalah senyum tipis penuh kesabaran.
"Kau tahu, tidak ada yang bisa melarang anak ini mengejar apa yang dia inginkan," ujarnya pelan, tetapi tegas. "Hanya karena kau sedang tidak dalam kondisi baik, bukan berarti kau bisa menghancurkan masa depannya."
Pria itu mendengus, memalingkan wajah. Tangannya yang kokoh mengetuk gelas di tangannya dengan jari-jari kasar, sementara rahangnya mengatup rapat. Seolah kata-kata itu menyentuh sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik sikap kasarnya.
Yin Lian tetap diam. Ia tahu ayahnya tidak akan berubah dalam semalam. Ia tahu, di balik tatapan lelah itu, ada sesuatu yang tidak pernah bisa ia pahami sepenuhnya.
Kakek Wu Cheng menoleh ke arah Yin Lian, lalu menepuk kepalanya dengan lembut.
"Jangan khawatir," katanya, suaranya penuh ketenangan. "Aku akan mengantarmu pulang setelah pelatihan selesai. Kau bisa pergi tanpa beban."
Yin Lian menunduk sedikit, berpikir sejenak. Bagian dalam dirinya ingin menolak, ingin tetap di rumah untuk memastikan ayahnya tidak terlalu mabuk dan tetap makan sesuatu. Namun, sebelum ia bisa membuka mulut, tatapan tajam pria itu menghentikan keraguannya.
Pria itu menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. Dengan gerakan malas, ia mengayunkan tangannya.
"Pergilah," gumamnya. "Tapi setelah selesai, kau harus pulang. Aku ingin makan malamku disiapkan, dan arakku tidak boleh habis."
Yin Lian menatap pria itu dalam diam, lalu perlahan tersenyum kecil dan mengangguk.
"Baik, Ayah."
Kakek Wu Cheng tersenyum puas, lalu meraih tangan Yin Lian dengan lembut, membimbingnya keluar dari rumah. Gadis itu melirik ke dalam sekali lagi.
Di sana, pria itu masih duduk di kursinya, bayangannya terpantul samar oleh cahaya pagi yang masuk melalui celah-celah jendela. Rambutnya berantakan, tangannya menggenggam gelas berisi arak dengan erat.
Senyum di wajah Yin Lian perlahan memudar saat pintu kayu tertutup di belakangnya, memisahkan mereka dalam dua dunia yang berbeda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments