Tidak terasa sudah satu bulan berlalu sejak Qila dipindahkan di Cabang Bagian Timur. Ia juga sudah mulai hafal dengan desa yang ia tinggali saat ini.
Semuanya berkat Zayyan yang selalu mengajaknya keluar saat dirinya tidak kelelahan. Zayyan akan membawanya makan di luar atau mengajaknya mengunjungi kota saat dirinya sedang libur.
Hubungan Qila dengan keluarga Zayyan juga semakin dekat. Ia tidak lagi sungkan menolak ajakan makan malam saat dirinya merasa Lelah. Tetapi dirinya yang tinggal di hotel, membuat beberapa orang membicarakannya.
“Tunggu Ayah dan Ibu kalau kamu mau mengontrak sendiri!” kata Ayah Qila yang mendengar keluhan sang anak.
“Memangnya Ayah mau kesini?”
“Iya. Ayah harus tahu keadaan di sana sebelum mengizinkan kamu mengontrak sendiri.”
“Apa bedanya tinggal di hotel dan kontrak sendiri, Yah? Bukannya sama saja.”
“Tentu saja berbeda! Di hotel ada keamanan yang berjaga dan Perusahaan bertanggung jawab penuh atas keselamatanmu. Kalau kamu mengontrak sendiri, siapa yang akan menjagamu?”
“Aku bisa jaga diri, Yah.”
“Tidak! Ayah dan Ibu tidak akan tenang kalau kamu hanya sendiri. Kamu itu perempuan, bukan anak laki-laki.”
“Baiklah! Kapan Ayah kesini?”
“Minggu depan. Tunggu sampai selesai penyuluhan desa, baru Ayah akan ke sana.”
“Ayah dan Ibu hati-hati.”
“Iya. Kamu juga sama, hati-hati disana.” Qila mengakhiri panggilan teleponnya dan menarik selimut sampai menutupi dada.
Hari ini sangat melelahkan karena berurusan dengan anak magang tidaklah mudah. Awal-awal ia bisa mengandalkan Rendi untuk memberikan mereka pekerjaan yang ringan. Tetapi sudah sebulan mereka belajar memilah dokumen, kini waktunya melihat kinerja mereka dalam sistem.
Sayangnya saat Qila akan memejamkan matanya, ponselnya berdering dan memperlihatkan nama Zayyan disana.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam Kak. Kakak sudah tidur?”
“Hampir.”
“Hehe… Besok kakak libur, kan?”
“Iya. Kenapa?”
“Mau ke gunung, tidak?”
“Gunung?”
“Iya. Gunung Embun. Kebetulan teman-temanku ada acara di sana. Kalau Kakak mau, aku bisa mengajakmu.”
“Teman-temanmu? Kamu yakin?”
“Tentu saja!”
“Jam berapa?”
“Aku akan jemput Kakak bakda subuh.”
“Kenapa pagi sekali?”
“Kalau tidak pagi, kita tidak akan bisa melihat matahari terbit.”
“Baiklah.”
Keesokan paginya, Qila yang selesai melaksanakan sholat subuh bersiap menggunakan jaket dan sepatu kets. Selain dompet, ponsel dan powerbank, Qila juga memasukkan air mineral dan snack di mini ranselnya.
“Kak, aku sudah di depan!” seru Zayyan di panggilan telepon.
Qila tidak menjawabnya, melainkan keluar dari kamar dan menguncinya. Ia memutuskan sambungan telepon saat melihat Zayyan melambaikan tangannya dengan konyol.
“Pegangan ya, Kak? Kita sudah tertinggal!” Zayyan segera memacu motornya, membuat Qila terkejut dan spontan menarik jaketnya.
Zayyan tersenyum merasakan tarikan tersebut. Tanpa berkomentar, ia memacu motornya sampai menemukan rombongan teman-temannya.
“Kenapa dilepas, Kak?” tanya Zayyan yang merasakan Qila melepaskan pegangan di jaketnya.
“Kamu sudah tidak ngebut.”
“Apa Kakak mau aku ngebut lagi?”
“Tidak!”
Tetapi Zayyan justru mengerjai Qila dengan sengaja menerjang lubang di jalan. Qila terkejut hingga tubuhnya menabrak ke depan. Seketika Zayyan menegang merasakan sesuatu yang kenyal di punggungnya.
“Kalau ada lubang itu menghindar!” kesal Qila yang segera memundurkan duduknya.
“Maaf, Kak. Aku tidak lihat ada lubang tadi.” Jawab Zayyan kikuk.
Ia yang berniat mengerjai Qila, justru merasa dibalas secara langsung. Nalurinya sebagai laki-laki menjadi terbangun karenanya. Beberapa kali ia menelan saliva untuk menenangkannya.
Zayyan yang selama ini menjaga jarak dengan perempuan bukanlah anak laki-laki yang polos. Ia tahu kodratnya sebagai laki-laki dan anatomi tubuh perempuan karena dalam Pelajaran biologi semua itu adalah bagian dari pengetahuan.
Keduanya kembali diam, sampai akhirnya mereka sampai di area terbuka. Zayyan memarkir motornya di samping teman-temannya. Dari sini, mereka harus berjalan kaki untuk sampai di puncak Gunung Embun.
“Siapa ini?” tanya Sehan.
“Kenalkan, ini Kak Qila. Anak dari teman Ayah.”
“Aku Sehan, Kak. Ini Bayu, Raka, dan Dika.” Qila mengangguk dan tersenyum profesional.
“Kalau Kakak tidak kuat jalan, aku bisa gendong, Kak!” seru Bayu.
“Dasar!” Zayyan menyikut Bayu hingga membuat si empunya mengaduh.
Mereka akhirnya berjalan ke atas meniti tangga yang dibuat alakadarnya menuju spot untuk melihat matahari terbit.
Teman-teman Zayyan yang perempuan sudah lebih dulu berjalan di depan, disusul Sehan dan yang lainnya. Sementara Zayyan di belakang bersama Qila.
Zayyan menyamakan langkahnya dengan Qila agar mereka tetap bisa berjalan berdampingan. Sesampainya di tempat melihat matahari terbit, di sana sudah banyak orang yang duduk di pinggiran dan ada pula yang menunggu di tenda mereka untuk menyaksikan sang Mentari menunjukkan diri.
Zayyan sengaja membawa Qila duduk sedikit jauh dari teman-temannya agar tidak ada yang mengganggu. Ia tahu Qila merasa tidak nyaman bersama dengan teman-temannya yang cerewet.
Qila sendiri sibuk mengabadikan moment dengan ponselnya.
“Seperti negeri di atas awan.” Kata Qila yang merasa takjub.
“Kakak sudah pernah ke sana?”
“Belum. Hanya tahu dari sosial media.”
“Aku kira sudah pernah. Sebutan lain dari Gunung Embun ini juga Negeri di Atas Awan, Kak. Hanya saja versi lokal.”
“Kenapa dinamakan Gunung Embun?” tanya Qila melihat ke arah Zayyan.
“Gunung ini memiliki ketinggian sekitar 263 meter di atas permukaan laut. Ketinggian ini membuat kabut sering muncul di pagi hari. Kabut yang terlihat mengambang, memberikan kesan seperti berada di atas awan.” Jelas Zayyan.
“Jangan hanya foto pemandangan, Kak! Kita juga harus berfoto.” Imbuh Zayyan yang mengambil alih ponsel Qila dan mengabadikan foto mereka berdua.
Teman-teman Zayyan yang sedari tadi memperhatikan keduanya mulai berspekulasi. Melihat kedekatan keduanya, mereka berasumsi jika Qila adalah pacar dari Zayyan. Tetapi hal itu terbantahkan karena Qila terlihat lebih dewasa dari mereka.
“Mungkin saja keluarga mereka sudah berteman lama dan mereka menganggap satu sama lain keluarga.” Celetuk Nisa yang sebenarnya menyukai Zayyan.
“Apa mungkin? Tapi aku tidak pernah melihat tatapan Zayyan yang lembut seperti itu.” Kilah Sehan.
“Kakak itu kenal Zayyan lebih lama daripada kamu!” kata Bayu memprovokasi.
“Apa iya? Kenapa aku tidak tahu? Zayyan juga tidak pernah cerita.”
“Memangnya kamu siapa? Jangankan Kak Qila, Zayyan suka siapa saja kamu tidak tahu!”
“Ngajak ribut, ya?” tantang Sehan.
“Ayo sini!” Bayu tidak gentar.
“Hentikan! Matahari sudah mulai naik!” sergah Raka yang segera membuat semuanya diam dan memasang kamera ponsel masing-masing.
Sementara itu, Zayyan yang sebenarnya mendengar bisik-bisik temannya hanya diam. Ia membiarkan mereka dengan spekulasi mereka. Mungkin dengan begini, perempuan di kelasnya tidak lagi mengejarnya.
Secara tidak langsung, Zayyan sudah menempatkan Qila menjadi tamengnya. Jika Qila tahu pemikiran Zayyan, entah apa yang akan ia katakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments