Bab 3: Jejak Patina Pahit

Matahari sore menukik rendah di balik gawang Gunung Rasa Kayu ketika gong ulangan menggema, memanggil semua murid Sekte Langit Suci ke Aula Tengah. Aroma dupa kayu berjajar di sepanjang koridor, menciptakan suasana hening penuh rasa waspada. Kepala Sekte berdiri megah di depan podium berhiaskan lima artefak elemen, menatap murid-murid yang masih dibayang-bayangi insiden duel kemarin. Suara seribu bisik terekam di udara—siapa yang berani memasukkan Qi pahit ilegal itu?

Ketika semua murid duduk, Kashimira, sesepuh berkerudung ungu, melangkah maju sambil membawa sebuah kotak kayu hitam. “Semalam,” suaranya tenang namun menusuk, “terdapat penyusupan Qi pahit di arena duel. Bahan itu kami anggap berbahaya karena dapat mempengaruhi moral murid—membuat mereka agresif, haus darah, dan tak terkendali.” Ia membuka kotak, memperlihatkan serpihan padat berkilau kelabu. “Inilah jejak patina pahit yang bocor.”

Seketika, banyak murid menepi mundur, menahan bau getir yang samar tercium. Nian berupaya menahan napas, matanya tertuju pada serpihan. “Qi pahit,” gumamnya di dalam hati, “sangat jarang digunakan, hanya dihasilkan oleh logam neraka tertua.” Ia masih ingat sekilas diagram alkimia ayahnya dulu—kombinasi logam hitam dan asam bumi yang disuling dalam perapian unsur gelap. Ia tak pernah menduga akan melihat manifestasinya di Sekte.

Kepala Sekte mengangkat tangan, memanggil Nian. “Ka Nian, kau yang menonjol dengan Qi kayu, membantu kami menyelidiki asal usul patina ini.” Semua murid menoleh, terkejut. “Kenapa dia?” bisik mereka. “Bukankah ia korban duel kemarin?”

Nian mengangguk, meski dadanya berdegup kencang. “Saya… akan melakukan yang terbaik, Guru.” Ia dipersilakan maju mendekati altar. Sesepuh lain menyebar peta rempah dan alkimia di depan Nian—diagram gudang rempah, riwayat pasokan Klan Rempah, serta catatan pembelian bubuk logam di pasar pekerja bayangan.

Dengan ketelitian layaknya seorang koki andal, Nian menyentuh potongan-pemotongan ramuan di peta, membaui udara seolah mencium rasa. “Patina ini… teksturnya lebih kasar daripada bubuk logam standar,” bisiknya, “dan getarannya dibungkus lapisan asam. Ini bukan hasil penyulingan Sekte atau Klan Rempah, tetapi… barang selundupan, mungkin dari perdagangan gelap Alam Bawah.”

Sesepuh Kashimira memegang dagu. “Bagus. Kau sudah menemukan hal pertama. Sekarang kami mau kau jejak lebih jauh—ke gudang tua di Loteng Logam.” Ia menunjuk peta: lokasi gudang rempah terbengkalai, dulunya tempat pengawetan bubuk logam senior. “Pergi malam ini. Jangan ajak siapapun. Kami tidak ingin pemberontakan massa.”

Nian menunduk, kemudian bergegas mempersiapkan diri. Di benaknya, sensasi Qi kayu masih menyisakan rasa sejuk—sebaliknya Qi pahit memunculkan dingin yang menusuk tulang.

Gelap malam menyelimuti lereng Gunung Rasa Kayu ketika Nian menyelinap menuju Loteng Logam. Hanya diterangi lentera kecil, ia meniti anak tangga batu yang retak, menyusup melalui pintu kayu lapuk. Bau rempah tertinggal bercampur korosi logam menyesak rongga hidungnya.

Di dalam gudang, rak-rak kayu kosong menggantung lapuk. Hanya ada tumpukan peti usang bertuliskan simbol kuno: “Rempah Logam Senior”. Nian menggunakan Qi kayu-nya untuk menganalisis permukaan peti—getaran halus mengindikasikan sisa energi. Ia membuka satu peti, menelusuri serbuk metalik cokelat tua, lalu mencicipi secuil. Lidahnya terbakar sensasi asam-logam: sah, ini bukan patina pahit yang dia cari, melainkan bahan pengikat rempah logam biasa.

Ketika ia hendak menutup peti, suara langkah ringan terdengar di belakangnya. Nian membalik cepat, dan di kegelapan muncul sosok berkerudung ungu—sosok yang sama ia lihat menulis gulungan di arena kemarin. Sebelum sempat menyalakan lentera, sosok itu mengangkat tangan—kulitnya memancarkan aura perak redup.

“Ka Nian,” suara lembut namun dingin. “Aku menunggumu.”

Nian menahan napas. “Petugas… petugas Klan Rempah?” suaranya bergetar. “Mengapa—”

Sosok itu menurunkan kap, menyingkap setengah wajahnya—mata kanan berwarna perak cair, bekas luka tipis menoreh di pipinya. “Aku bukan musuhmu,” katanya, “tapi aku yang menitipkan sabota­se Qi pahit itu.”

Nian terkejut. “Kenapa kau lakukan itu? Siapa yang—”

Petugas menatap peta di tangan Nian. “Sekte terlalu stabil… terlalu nyaman. Ada kekuatan di balik layar ingin merusak keseimbangan ini. Aku perlu tahu siapa yang sanggup menanam Qi pahit di arena terbuka.” Ia melirik serpihan berkilau di pangkuannya. “Untuk itu, aku butuh seorang detektif rasa—dan aku percaya kau mampu menemukan dalangnya.”

Nian meneguk ludah, gelisah. “Lebih bahaya terdengar seperti jebakan.”

Petugas tersenyum getir. “Kau punya dua pilihan: terlibat atau dikorbankan. Pilihanku sederhana—aku butuhmu.” Ia meletakkan sebuah rempah kuno di hadapan Nian: bentuknya seperti kristal hitam kecil, bertabur serat merah. “Ini ‘Biji Neraka’, inti Qi pahit. Telusuri asal varietasnya, dan kau akan menemukan pembuat kerusakan ini.”

Sebelum Nian sempat bertanya lebih jauh, petugas itu menghilang dalam aura ungu samar, meninggalkan Nian sendirian di antara peti lapuk. Detak jantungnya tak menentu—apakah ia bisa mempercayai orang ini?

Kembali ke gubuknya, Nian menyalakan lima pot lilin elemen, menyiapkan meja kecil. Ia menempatkan ‘Biji Neraka’ kristal di tengah, membelai permukaannya dengan jari-jari gemetar. Ia tahu harus menguji Qi pahit ini dengan Culinary Qi-nya sendiri—tapi juga takut efek gelapnya.

Malam itu, ia menyiapkan panci kecil: air murni, sejumput rempah kayu, serta beberapa helai bunga asam bumi. Ia menambahkan setetes Qi pahit dari kristal, lalu menyalakan api kecil. Aroma menusuk udara—denyut pedih dan getir.

Dengan napas terukur, Nian menyalurkan Qi kayu ke jari-jari, membentuk cincin perlindungan. Ia mengaduk sup perlahan, menciptakan pusaran Qi di permukaan. Tiba-tiba, mata panci memancarkan kilatan ungu—ekuasi antara rasa kayu dan pahit menimbulkan energi tak stabil.

“Qi… Qi Pahit?” gumam Nian, namun detik berikutnya, dari dalam sup muncul wujud samar: naga api mini berwarna kelabu-naga. Macam manifestasi pedang gelap, sisiknya retak memancarkan bara, dan tatapannya menusuk.

Nian terkejut, melompat mundur. Tubuhnya gemetar, tapi ia tahu harus mengendalikan makhluk ini. Ia mengangkat sendok pengaduk, mengarahkan Qi kayu padanya, meredam aura gelap. “Aku… aku ini detektif rasa, bukan pembantai,” bisiknya.

Pertarungan mental dan rasa terjadi: naga mini menyerang dengan semburan api hitam, Nian menangkis gelombang dengan Qi kayu, gelombang hijau dan hitam beradu, memercikkan nyala di gelap gubuk. Dengan satu gerakan, Nian memfokuskan Qi kayu di ujung sendok, lalu menusukkan pada tubuh naga—makhluk itu meraung, kemudian meleleh menjadi uap perak yang terserap kembali ke kristal di meja.

Nian terengah, menepuk sekujur tubuhnya. “Aku berhasil…” desahnya, suaranya nyaris patah. Ia menatap sisa uap di udara—bukankah patina ini awalnya justru bocor? Namun malam itu, ia membuktikan bahwa kuliner bisa menjadi senjata penjinak sekaligus detektor bahaya.

Keesokan paginya, Nian dipanggil Kepala Sekte ke ruang pendalaman arcana rasa—ruangan bundar dipenuhi gulungan kuno dan organ rumusan rempah. Ada Master Cang, mentor rahasianya, menunggu. “Ka Nian,” sapanya lembut, “kau telah menunjukkan keberanian besar. Kini saatnya memperluas indra rasa. Aku akan membawamu ke Pasar Surgawi.”

“Pasar Surgawi?” tanya Nian terkejut. Master Cang mengangguk. “Tempat perdagangan rempah langka, tersembunyi di celah antara Alam Bawah dan Alam Atas. Hanya segelintir orang yang tahu jalurnya—dan kau sekarang termasuk di antaranya.”

Mereka berdua melangkah masuk ke gerbang bercahaya di balik osilasi Qi. Sekejap, lorong rempah berkilau terbentang—deretan kios menampilkan butiran kristal esam, bubuk logam berpendar, biji bunga surgawi. Suara tawar-menawar bergema, pedagang berbicara dalam beragam bahasa—dari wicara naga hingga ratapan roh bawah tanah.

Master Cang menunjuk satu kios kecil berornamen ukiran neraka. “Di sinilah kau bisa menelusuri varian ‘Biji Neraka’. Penjualnya adalah Mak Nyan, pedagang bayangan. Tapi hati-hati—ia tak menjual dengan kata manis.”

Nian mengangguk, menahan gemetar. Aroma rempah di udara seolah mengundang dan mengancam bersamaan. Ia melangkah maju, menyambut tantangan baru dalam petualangan rasa.

Di tengah kerumunan, di balik kerudung keperakan, sosok petugas Klan Rempah menatap Nian penuh waspada. Di tangannya tergenggam gulungan peta perdagangan gelap. “Rekam jejakmu akan mencatat setiap langkah,” bisiknya pelan. “Pasar Surgawi hanyalah permulaan; dalang sebenarnya bersembunyi di balik kabut neraka perut.”

Tatapan Nian beradu dengan mata perak petugas. Di antara tumpukan rempah yang memikat, ia merasakan denyut misi baru—membongkar konspirasi berbahaya sebelum Qi pahit menyeret Sekte dan dunia kuliner ke jurang kegelapan.

Dan di lorong rempah itu, bayangan sang dalang menampakkan sosok samar, tertawa lembut: “Selamat datang, Ka Nian. Waktunya memasak nasib dunia…”

Episodes
1 Bab 1: Panci Perubahan
2 Bab 2: Bisikan Rempah
3 Bab 3: Jejak Patina Pahit
4 Bab 4: Layar Rempah Surgawi
5 Bab 5: Ujian Esensi Suci
6 Bab 6: Bayangan Neraka Perut
7 Bab 7: Cinta dan Konspirasi
8 Bab 8: Cawan Rempah Neraka
9 Bab 9: Kabut Pengkhianatan
10 Bab 10: Puncak Ember Langit
11 Bab 11: Bayangan di Ujung Awan
12 Bab 12: Wajah di Balik Kerudung Ungu
13 Bab 13: Dimensi Gelap Terakhir
14 Bab 14: Fajar Restorasi Rasa
15 Bab 15: Guha Cahaya Terpendam
16 Bab 16: Penjaga Petir Neraka
17 Bab 17: Katalis Petir Purba
18 Bab 18: Pedang, Air, dan Kebenaran
19 Bab 19: Menuju Rasa Ketujuh
20 Bab 20: Tujuh Rasa, Satu Takdir
21 Bab 21: Ujian Rasa, Perang Jiwa
22 Bab 22 – Gerbang Rasa Ketujuh
23 Bab 23 – Misi dan Bayang-Bayang Bahaya
24 Bab 24 – Bayangan Pertemuan Rahasia
25 Bab 25 – Jejak Terakhir Sang Pencicip
26 Bab 26 – Perjamuan Rasa Tertinggi
27 Bab 27 – Jejak Rasa yang Terlupakan
28 Bab 28 – Gerbang Rasa Langit
29 Bab 29 – Pendeta Tujuh Lidah
30 Bab 30 – Gerbang Rasa Langit Terbuka
31 Bab 31 – Era Baru Rasa
32 Bab 32 – Ujian Rasa yang Terlupakan
33 Bab 33 – Bayangan dari Rasa Kedelapan
34 Bab 34 – Rasa yang Pecah, Rasa yang Bertahan
35 Bab 35 – Rasa yang Baru, Jalan yang Panjang
36 Bab 36 – Gerbang Rasa Tertua
37 Bab 37 – Penjaga Lama Bangkit
38 Bab 38 – Rasa Tanpa Aku
39 Bab 39 – Rasa Akhir yang Tak Bisa Dielakkan
40 Bab 40 – Bayangan dari Rasa yang Terkubur
41 Bab 41 – Rasa Dunia yang Baru
42 Bab 42 – Suara dari Rasa yang Hilang
43 Bab 43 – Pecahnya Segel Rasa Terakhir
44 Bab 44 – Jalan Pulang ke Dunia Manusia
45 Bab 45 – Musuh yang Mencuri Rasa
46 Bab 46 – Pertempuran Jiwa dan Rasa
47 Bab 47 – Jalan Baru, Dunia Baru
48 Bab 48 – Sidang Rasa Internasional
49 Bab 49 – Bayangan dari Masa Depan
50 Bab 50 – Kota Tangisan Abadi
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bab 1: Panci Perubahan
2
Bab 2: Bisikan Rempah
3
Bab 3: Jejak Patina Pahit
4
Bab 4: Layar Rempah Surgawi
5
Bab 5: Ujian Esensi Suci
6
Bab 6: Bayangan Neraka Perut
7
Bab 7: Cinta dan Konspirasi
8
Bab 8: Cawan Rempah Neraka
9
Bab 9: Kabut Pengkhianatan
10
Bab 10: Puncak Ember Langit
11
Bab 11: Bayangan di Ujung Awan
12
Bab 12: Wajah di Balik Kerudung Ungu
13
Bab 13: Dimensi Gelap Terakhir
14
Bab 14: Fajar Restorasi Rasa
15
Bab 15: Guha Cahaya Terpendam
16
Bab 16: Penjaga Petir Neraka
17
Bab 17: Katalis Petir Purba
18
Bab 18: Pedang, Air, dan Kebenaran
19
Bab 19: Menuju Rasa Ketujuh
20
Bab 20: Tujuh Rasa, Satu Takdir
21
Bab 21: Ujian Rasa, Perang Jiwa
22
Bab 22 – Gerbang Rasa Ketujuh
23
Bab 23 – Misi dan Bayang-Bayang Bahaya
24
Bab 24 – Bayangan Pertemuan Rahasia
25
Bab 25 – Jejak Terakhir Sang Pencicip
26
Bab 26 – Perjamuan Rasa Tertinggi
27
Bab 27 – Jejak Rasa yang Terlupakan
28
Bab 28 – Gerbang Rasa Langit
29
Bab 29 – Pendeta Tujuh Lidah
30
Bab 30 – Gerbang Rasa Langit Terbuka
31
Bab 31 – Era Baru Rasa
32
Bab 32 – Ujian Rasa yang Terlupakan
33
Bab 33 – Bayangan dari Rasa Kedelapan
34
Bab 34 – Rasa yang Pecah, Rasa yang Bertahan
35
Bab 35 – Rasa yang Baru, Jalan yang Panjang
36
Bab 36 – Gerbang Rasa Tertua
37
Bab 37 – Penjaga Lama Bangkit
38
Bab 38 – Rasa Tanpa Aku
39
Bab 39 – Rasa Akhir yang Tak Bisa Dielakkan
40
Bab 40 – Bayangan dari Rasa yang Terkubur
41
Bab 41 – Rasa Dunia yang Baru
42
Bab 42 – Suara dari Rasa yang Hilang
43
Bab 43 – Pecahnya Segel Rasa Terakhir
44
Bab 44 – Jalan Pulang ke Dunia Manusia
45
Bab 45 – Musuh yang Mencuri Rasa
46
Bab 46 – Pertempuran Jiwa dan Rasa
47
Bab 47 – Jalan Baru, Dunia Baru
48
Bab 48 – Sidang Rasa Internasional
49
Bab 49 – Bayangan dari Masa Depan
50
Bab 50 – Kota Tangisan Abadi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!