Bab 2: Bisikan Rempah

Mentari pagi baru menyentuh puncak Gunung Rasa Kayu ketika gong batu Sekte Langit Suci bergema, memanggil seluruh murid ke lapangan terbuka di hadapan Altar Rasa—sebuah pelataran bundar berdiameter sepuluh depa, di tengahnya terhampar altar marmer berukir lima simbol elemen. Nian melangkah gemetar bersama puluhan murid lain, jubah putih mereka berkibar tertiup embusan angin pegunungan. Suara bergumam memenuhi udara: ada yang mengagumi keberanian Nian, ada pula yang mencibir, menudingnya cuma bocah petani beruntung.

Kepala Sekte, berkumis perak, berdiri di podium tinggi, menatap para murid dengan wajah arif. “Hari ini,” suaranya menggelegar, “kita akan menyaksikan penetapan Qi rasa sejati. Setiap murid harus mempresentasikan satu hidangan sederhana yang memperlihatkan penguasaan elemen rasa.” Ia menggerakkan tangan, dan sesajian bahan terhampar di meja panjang—sayuran segar, rempah kasar, air suci, tandan cabai merah, dan buah metalik misterius.

Nian menelan ludah, hatinya berdebar. Ia hanya membawa sup sederhana dalam panci tanah liat kecil—karena itulah yang diminta Kepala Sekte: “Hidangan sederhana, fokus pada Qi rasa.” Ia maju, membawa mangkuk sup Rasa Kayu Muda yang semalam ia siapkan ulang dengan dosis bubuk rempah lebih akurat. Suasana hening ketika ia menaruh mangkuk di atas altar kecil, lalu menarik napas panjang.

Para sesepuh memeriksa aroma. Tiba-tiba, dari mangkuk itu terpancar kilau hijau pucat, menjulur hingga ke ujung altar. Sehelai daun kayu tampak tumbuh di udara, menari pelan, lalu gugur di hadapan Kepala Sekte. Para murid terbelalak, bisik-bisik meruncing: “Qi kayu! Bocah petani itu…!”

Nian menunduk, mengerahkan seluruh keberanian. Ia memperagakan gerakan tangan halus, meniru teknik “Pembentukan Rasa” yang pernah ia kenal dulu di dapur elit: ujung jari menyapu permukaan kuah, lalu membentuk gelombang Qi. Ia menjelaskan, suaranya bergetar namun tegas, “Sup ini memadukan esensi kayu dan kehijauan—Qi yang memupuk hidup. Suhu tungku diatur 89 derajat, pengadukan setiap 13 detik, dan bubuk rempah direndam lima menit.”

Seorang sesepuh menyeringai, “Angka-angka itu… terlalu presisi untuk orang biasa.” Kepala Sekte mengangguk pelan, menandai poin Nian. Namun suara rivalnya terdengar, menuduh, “Itu pasti resep curian!”

Belum sempat Nian menanggapi, langit di atas altar memekik riuh. Sebuah kereta berlapis kain ungu kolosal menggantung di udara, diapit dua naga porselen ungu. Dari kereta itu turun empat sosok berpakaian ungu kehitaman—wakil Klan Rempah, yang menguasai distribusi rempah di seluruh Alam Bawah.

Pemimpin mereka, pria berkepala plontos dengan tato rempah di wajah, melangkah maju. Sorot matanya tajam pada mangkuk sup Nian. “Kanonnya setiap bubuk rempah di Sekte Langit Suci dibeli melalui lelang kami,” suaranya bergema. “Bubuk Kayu Muda yang kau gunakan—apakah sudah melewati verifikasi Klan Rempah?”

Sekte terhenyak. Kepala Sekte menyilang tangan, wajahnya menegang. Nian merasakan kepanikan dingin menyusup ke tulang punggungnya. Ia mencoba menjawab, “Ini… aku beli sendiri dari pedagang keliling—”

Tato-tato di wajah pemimpin Klan Rempah menyala samar. “Pedagang keliling? Kau kira kami tidak tahu harga pasaran bubuk rempah? Ini jelas barang selundupan—atau barang hasil syarat hitam.” Ia menatap Kepala Sekte, “Jika tidak ada bukti pemegang izin Klan Rempah, hidangan ini melanggar aturan.”

Desakan politik tercium pekat. Isu kekuasaan dan monopoli rempah bergulir. Seorang wakil Sekte membela Nian, “Bubuk itu autentik, hanya diproses tangan petani, bukan Klan!” Namun wakil Klan Rempah menyela, “Cek verifikasi!»—dan beberapa penjaga merogoh peti besi, menyiapkan gulungan sertifikat resmi.

Tiba-tiba, suara ketukan gong menghentikan semua. Kepala Sekte berseru, “Cukup! Hari ini bukan hari pertikaian izin, tapi penetapan Qi rasa. Klan Rempah, kami menghargai monopoli kalian, namun Ka’Nian harus menyelesaikan ujian. Selanjutnya, jika terbukti bahan ilegal, kami yang akan bersikap.” Dengan itu, ia membunyikan gong sekali—tanda duel rasa akan dimulai.

Para murid dibagi berpasangan. Nian dipanggil menghadapi Luo Xin, murid terpandang, cucu sekaligus pewaris klan pedas. Ruang di sebelah altar berubah menjadi arena kecil: dua tungku, dua meja rempah, dan dua panci tanah liat.

Luo Xin tersenyum dingin, matanya berwarna merah tusam. “Bocah petani, kau yakin bisa melawan keturunan pedas?” Sindirnya gamblang. Nian membalas singkat, “Mari tunjukkan Qi rasa kita.”

Waktu duel dimulai: lima menit untuk menyiapkan hidangan sederhana yang menonjolkan satu elemen rasa. Luo Xin memilih “Cuplikan Api”—sup cabai merah kental berasap. Ia memulai dengan gerakan tangan cepat, menaburkan cabai, memercikkan minyak panas, lalu menyulut api hingga kobaran jingga. Aroma pedas semerbak seketika, memacu restlessness murid di sekitarnya.

Nian menenangkan diri, mengatur pernapasan. Ia tahu duel ini kuncinya bukan kecepatan, melainkan pengendalian Qi rasa. Dengan gerakan perlahan, ia menuang sup kayu muda, menambahkan titik-titik cairan asam tipis dari air jeruk kering, lalu memercikkan minyak rempah dingin untuk menjaga keseimbangan. Tiupan napasnya, lembut namun terukur, mengalirkan Qi kayu di seluruh permukaan sup.

Ketika waktu habis, antrean juri maju mencicipi. Kilatan hijau pucat di mangkuk Nian memancarkan kesan kesegaran abadi; sedangkan mangkuk Luo Xin memancarkan api jingga pekat yang hampir terasa panas di tangan.

Semua murid terdiam menunggu penilaian. Seorang sesepuh mencicipi sup Nian, lalu meneguk perlahan, wajahnya berubah takjub: “Segar… seakan pohon baru tumbuh dalam rongga dada!” Itu pujian tertinggi untuk Kayu.

Lalu seorang sesepuh lain mencicipi sup Luo Xin, mengerutkan alis: “Pedasnya menggelegak… tapi Qi api terlalu liar, hampir membuat lidah tertusuk.” Ia memberi nilai tinggi pada keberanian, tapi mengkritik pengendalian.

Pada papan skor, Nian unggul tipis. Luo Xin menatapnya murka, bibirnya terselip bisikan, “Ini belum berakhir.”

Usai duel, kerumunan murid membubarkan diri, namun bisik-bisik tak henti: “Bocah petani mengalahkan pewaris pedas!” “Qi rasa anak itu… janggal tapi kuat.” Kepala Sekte menarik Nian ke samping, memandanginya dengan pandangan campur aduk.

“Ka’Nian,” suaranya lembut, “kau telah menampilkan potensi luar biasa. Namun ingat—dunia kuliner surgawi penuh intrik. Klan Rempah sudah mencatat namamu. Jika kau terus tampil, semua mata akan tertuju padamu.”

Nian membungkuk hormat. “Guru, aku tidak berniat membuat onar. Aku hanya ingin memasak.”

Kepala Sekte menghela napas, lalu menepuk pundak Nian. “Memasak itu sederhana, tapi menuntut keberanian. Jagalah hatimu tetap bersih, walau rempah busuk berusaha masuk.”

Di kejauhan, pria berkerudung ungu—salah satu petugas Klan Rempah—mengamatinya sambil mencatat sesuatu di gulungan. Senyum tipis terpancar di balik kerudungnya. “Rasa bocah ini pantas diuji lebih dalam,” gumamnya pelan.

Ketika sorot mata kembali ke altar, terdengar letupan halus—lama tapi memekakkan. Semua murid menoleh, mencari sumber suara. Di meja Luo Xin, panci tanah liatnya retak, dan uap gelap pekat mengepul keluar: serpihan Qi pahit logam yang bocor, menimbulkan aura dingin membeku.

Luo Xin terkejut, ketakutan, seraya menatap Nian dengan kebencian memuncak. “Ini… sabotase?” gumamnya. Nian menahan diri, hatinya berdebar kencang. Ia tahu—ini bukan kelakuannya. Siapa yang mengotori duel ini?

Di tengah kegaduhan, suara lantang Kepala Sekte memotong, “Semua diam!” Ia menatap dua panci itu, lalu menepuk meja. “Kita akan menyelidiki sabota­se Qi pahit ini. Esok… murid yang memunculkan Qi gelap akan diadili.”

Mata murid berseliwer—ada yang menuduh Nian, ada yang membela. Di udara pucat pagi itu, bisikan rempah pahit mulai merasuk ke jiwa Sekte. Dan di balik kerudung ungu, senyuman lebih melebar: rencana besar baru saja dimulai.

Episodes
1 Bab 1: Panci Perubahan
2 Bab 2: Bisikan Rempah
3 Bab 3: Jejak Patina Pahit
4 Bab 4: Layar Rempah Surgawi
5 Bab 5: Ujian Esensi Suci
6 Bab 6: Bayangan Neraka Perut
7 Bab 7: Cinta dan Konspirasi
8 Bab 8: Cawan Rempah Neraka
9 Bab 9: Kabut Pengkhianatan
10 Bab 10: Puncak Ember Langit
11 Bab 11: Bayangan di Ujung Awan
12 Bab 12: Wajah di Balik Kerudung Ungu
13 Bab 13: Dimensi Gelap Terakhir
14 Bab 14: Fajar Restorasi Rasa
15 Bab 15: Guha Cahaya Terpendam
16 Bab 16: Penjaga Petir Neraka
17 Bab 17: Katalis Petir Purba
18 Bab 18: Pedang, Air, dan Kebenaran
19 Bab 19: Menuju Rasa Ketujuh
20 Bab 20: Tujuh Rasa, Satu Takdir
21 Bab 21: Ujian Rasa, Perang Jiwa
22 Bab 22 – Gerbang Rasa Ketujuh
23 Bab 23 – Misi dan Bayang-Bayang Bahaya
24 Bab 24 – Bayangan Pertemuan Rahasia
25 Bab 25 – Jejak Terakhir Sang Pencicip
26 Bab 26 – Perjamuan Rasa Tertinggi
27 Bab 27 – Jejak Rasa yang Terlupakan
28 Bab 28 – Gerbang Rasa Langit
29 Bab 29 – Pendeta Tujuh Lidah
30 Bab 30 – Gerbang Rasa Langit Terbuka
31 Bab 31 – Era Baru Rasa
32 Bab 32 – Ujian Rasa yang Terlupakan
33 Bab 33 – Bayangan dari Rasa Kedelapan
34 Bab 34 – Rasa yang Pecah, Rasa yang Bertahan
35 Bab 35 – Rasa yang Baru, Jalan yang Panjang
36 Bab 36 – Gerbang Rasa Tertua
37 Bab 37 – Penjaga Lama Bangkit
38 Bab 38 – Rasa Tanpa Aku
39 Bab 39 – Rasa Akhir yang Tak Bisa Dielakkan
40 Bab 40 – Bayangan dari Rasa yang Terkubur
41 Bab 41 – Rasa Dunia yang Baru
42 Bab 42 – Suara dari Rasa yang Hilang
43 Bab 43 – Pecahnya Segel Rasa Terakhir
44 Bab 44 – Jalan Pulang ke Dunia Manusia
45 Bab 45 – Musuh yang Mencuri Rasa
46 Bab 46 – Pertempuran Jiwa dan Rasa
47 Bab 47 – Jalan Baru, Dunia Baru
48 Bab 48 – Sidang Rasa Internasional
49 Bab 49 – Bayangan dari Masa Depan
50 Bab 50 – Kota Tangisan Abadi
Episodes

Updated 50 Episodes

1
Bab 1: Panci Perubahan
2
Bab 2: Bisikan Rempah
3
Bab 3: Jejak Patina Pahit
4
Bab 4: Layar Rempah Surgawi
5
Bab 5: Ujian Esensi Suci
6
Bab 6: Bayangan Neraka Perut
7
Bab 7: Cinta dan Konspirasi
8
Bab 8: Cawan Rempah Neraka
9
Bab 9: Kabut Pengkhianatan
10
Bab 10: Puncak Ember Langit
11
Bab 11: Bayangan di Ujung Awan
12
Bab 12: Wajah di Balik Kerudung Ungu
13
Bab 13: Dimensi Gelap Terakhir
14
Bab 14: Fajar Restorasi Rasa
15
Bab 15: Guha Cahaya Terpendam
16
Bab 16: Penjaga Petir Neraka
17
Bab 17: Katalis Petir Purba
18
Bab 18: Pedang, Air, dan Kebenaran
19
Bab 19: Menuju Rasa Ketujuh
20
Bab 20: Tujuh Rasa, Satu Takdir
21
Bab 21: Ujian Rasa, Perang Jiwa
22
Bab 22 – Gerbang Rasa Ketujuh
23
Bab 23 – Misi dan Bayang-Bayang Bahaya
24
Bab 24 – Bayangan Pertemuan Rahasia
25
Bab 25 – Jejak Terakhir Sang Pencicip
26
Bab 26 – Perjamuan Rasa Tertinggi
27
Bab 27 – Jejak Rasa yang Terlupakan
28
Bab 28 – Gerbang Rasa Langit
29
Bab 29 – Pendeta Tujuh Lidah
30
Bab 30 – Gerbang Rasa Langit Terbuka
31
Bab 31 – Era Baru Rasa
32
Bab 32 – Ujian Rasa yang Terlupakan
33
Bab 33 – Bayangan dari Rasa Kedelapan
34
Bab 34 – Rasa yang Pecah, Rasa yang Bertahan
35
Bab 35 – Rasa yang Baru, Jalan yang Panjang
36
Bab 36 – Gerbang Rasa Tertua
37
Bab 37 – Penjaga Lama Bangkit
38
Bab 38 – Rasa Tanpa Aku
39
Bab 39 – Rasa Akhir yang Tak Bisa Dielakkan
40
Bab 40 – Bayangan dari Rasa yang Terkubur
41
Bab 41 – Rasa Dunia yang Baru
42
Bab 42 – Suara dari Rasa yang Hilang
43
Bab 43 – Pecahnya Segel Rasa Terakhir
44
Bab 44 – Jalan Pulang ke Dunia Manusia
45
Bab 45 – Musuh yang Mencuri Rasa
46
Bab 46 – Pertempuran Jiwa dan Rasa
47
Bab 47 – Jalan Baru, Dunia Baru
48
Bab 48 – Sidang Rasa Internasional
49
Bab 49 – Bayangan dari Masa Depan
50
Bab 50 – Kota Tangisan Abadi

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!