Mentari pagi baru menyentuh puncak Gunung Rasa Kayu ketika gong batu Sekte Langit Suci bergema, memanggil seluruh murid ke lapangan terbuka di hadapan Altar Rasa—sebuah pelataran bundar berdiameter sepuluh depa, di tengahnya terhampar altar marmer berukir lima simbol elemen. Nian melangkah gemetar bersama puluhan murid lain, jubah putih mereka berkibar tertiup embusan angin pegunungan. Suara bergumam memenuhi udara: ada yang mengagumi keberanian Nian, ada pula yang mencibir, menudingnya cuma bocah petani beruntung.
Kepala Sekte, berkumis perak, berdiri di podium tinggi, menatap para murid dengan wajah arif. “Hari ini,” suaranya menggelegar, “kita akan menyaksikan penetapan Qi rasa sejati. Setiap murid harus mempresentasikan satu hidangan sederhana yang memperlihatkan penguasaan elemen rasa.” Ia menggerakkan tangan, dan sesajian bahan terhampar di meja panjang—sayuran segar, rempah kasar, air suci, tandan cabai merah, dan buah metalik misterius.
Nian menelan ludah, hatinya berdebar. Ia hanya membawa sup sederhana dalam panci tanah liat kecil—karena itulah yang diminta Kepala Sekte: “Hidangan sederhana, fokus pada Qi rasa.” Ia maju, membawa mangkuk sup Rasa Kayu Muda yang semalam ia siapkan ulang dengan dosis bubuk rempah lebih akurat. Suasana hening ketika ia menaruh mangkuk di atas altar kecil, lalu menarik napas panjang.
Para sesepuh memeriksa aroma. Tiba-tiba, dari mangkuk itu terpancar kilau hijau pucat, menjulur hingga ke ujung altar. Sehelai daun kayu tampak tumbuh di udara, menari pelan, lalu gugur di hadapan Kepala Sekte. Para murid terbelalak, bisik-bisik meruncing: “Qi kayu! Bocah petani itu…!”
Nian menunduk, mengerahkan seluruh keberanian. Ia memperagakan gerakan tangan halus, meniru teknik “Pembentukan Rasa” yang pernah ia kenal dulu di dapur elit: ujung jari menyapu permukaan kuah, lalu membentuk gelombang Qi. Ia menjelaskan, suaranya bergetar namun tegas, “Sup ini memadukan esensi kayu dan kehijauan—Qi yang memupuk hidup. Suhu tungku diatur 89 derajat, pengadukan setiap 13 detik, dan bubuk rempah direndam lima menit.”
Seorang sesepuh menyeringai, “Angka-angka itu… terlalu presisi untuk orang biasa.” Kepala Sekte mengangguk pelan, menandai poin Nian. Namun suara rivalnya terdengar, menuduh, “Itu pasti resep curian!”
Belum sempat Nian menanggapi, langit di atas altar memekik riuh. Sebuah kereta berlapis kain ungu kolosal menggantung di udara, diapit dua naga porselen ungu. Dari kereta itu turun empat sosok berpakaian ungu kehitaman—wakil Klan Rempah, yang menguasai distribusi rempah di seluruh Alam Bawah.
Pemimpin mereka, pria berkepala plontos dengan tato rempah di wajah, melangkah maju. Sorot matanya tajam pada mangkuk sup Nian. “Kanonnya setiap bubuk rempah di Sekte Langit Suci dibeli melalui lelang kami,” suaranya bergema. “Bubuk Kayu Muda yang kau gunakan—apakah sudah melewati verifikasi Klan Rempah?”
Sekte terhenyak. Kepala Sekte menyilang tangan, wajahnya menegang. Nian merasakan kepanikan dingin menyusup ke tulang punggungnya. Ia mencoba menjawab, “Ini… aku beli sendiri dari pedagang keliling—”
Tato-tato di wajah pemimpin Klan Rempah menyala samar. “Pedagang keliling? Kau kira kami tidak tahu harga pasaran bubuk rempah? Ini jelas barang selundupan—atau barang hasil syarat hitam.” Ia menatap Kepala Sekte, “Jika tidak ada bukti pemegang izin Klan Rempah, hidangan ini melanggar aturan.”
Desakan politik tercium pekat. Isu kekuasaan dan monopoli rempah bergulir. Seorang wakil Sekte membela Nian, “Bubuk itu autentik, hanya diproses tangan petani, bukan Klan!” Namun wakil Klan Rempah menyela, “Cek verifikasi!»—dan beberapa penjaga merogoh peti besi, menyiapkan gulungan sertifikat resmi.
Tiba-tiba, suara ketukan gong menghentikan semua. Kepala Sekte berseru, “Cukup! Hari ini bukan hari pertikaian izin, tapi penetapan Qi rasa. Klan Rempah, kami menghargai monopoli kalian, namun Ka’Nian harus menyelesaikan ujian. Selanjutnya, jika terbukti bahan ilegal, kami yang akan bersikap.” Dengan itu, ia membunyikan gong sekali—tanda duel rasa akan dimulai.
Para murid dibagi berpasangan. Nian dipanggil menghadapi Luo Xin, murid terpandang, cucu sekaligus pewaris klan pedas. Ruang di sebelah altar berubah menjadi arena kecil: dua tungku, dua meja rempah, dan dua panci tanah liat.
Luo Xin tersenyum dingin, matanya berwarna merah tusam. “Bocah petani, kau yakin bisa melawan keturunan pedas?” Sindirnya gamblang. Nian membalas singkat, “Mari tunjukkan Qi rasa kita.”
Waktu duel dimulai: lima menit untuk menyiapkan hidangan sederhana yang menonjolkan satu elemen rasa. Luo Xin memilih “Cuplikan Api”—sup cabai merah kental berasap. Ia memulai dengan gerakan tangan cepat, menaburkan cabai, memercikkan minyak panas, lalu menyulut api hingga kobaran jingga. Aroma pedas semerbak seketika, memacu restlessness murid di sekitarnya.
Nian menenangkan diri, mengatur pernapasan. Ia tahu duel ini kuncinya bukan kecepatan, melainkan pengendalian Qi rasa. Dengan gerakan perlahan, ia menuang sup kayu muda, menambahkan titik-titik cairan asam tipis dari air jeruk kering, lalu memercikkan minyak rempah dingin untuk menjaga keseimbangan. Tiupan napasnya, lembut namun terukur, mengalirkan Qi kayu di seluruh permukaan sup.
Ketika waktu habis, antrean juri maju mencicipi. Kilatan hijau pucat di mangkuk Nian memancarkan kesan kesegaran abadi; sedangkan mangkuk Luo Xin memancarkan api jingga pekat yang hampir terasa panas di tangan.
Semua murid terdiam menunggu penilaian. Seorang sesepuh mencicipi sup Nian, lalu meneguk perlahan, wajahnya berubah takjub: “Segar… seakan pohon baru tumbuh dalam rongga dada!” Itu pujian tertinggi untuk Kayu.
Lalu seorang sesepuh lain mencicipi sup Luo Xin, mengerutkan alis: “Pedasnya menggelegak… tapi Qi api terlalu liar, hampir membuat lidah tertusuk.” Ia memberi nilai tinggi pada keberanian, tapi mengkritik pengendalian.
Pada papan skor, Nian unggul tipis. Luo Xin menatapnya murka, bibirnya terselip bisikan, “Ini belum berakhir.”
Usai duel, kerumunan murid membubarkan diri, namun bisik-bisik tak henti: “Bocah petani mengalahkan pewaris pedas!” “Qi rasa anak itu… janggal tapi kuat.” Kepala Sekte menarik Nian ke samping, memandanginya dengan pandangan campur aduk.
“Ka’Nian,” suaranya lembut, “kau telah menampilkan potensi luar biasa. Namun ingat—dunia kuliner surgawi penuh intrik. Klan Rempah sudah mencatat namamu. Jika kau terus tampil, semua mata akan tertuju padamu.”
Nian membungkuk hormat. “Guru, aku tidak berniat membuat onar. Aku hanya ingin memasak.”
Kepala Sekte menghela napas, lalu menepuk pundak Nian. “Memasak itu sederhana, tapi menuntut keberanian. Jagalah hatimu tetap bersih, walau rempah busuk berusaha masuk.”
Di kejauhan, pria berkerudung ungu—salah satu petugas Klan Rempah—mengamatinya sambil mencatat sesuatu di gulungan. Senyum tipis terpancar di balik kerudungnya. “Rasa bocah ini pantas diuji lebih dalam,” gumamnya pelan.
Ketika sorot mata kembali ke altar, terdengar letupan halus—lama tapi memekakkan. Semua murid menoleh, mencari sumber suara. Di meja Luo Xin, panci tanah liatnya retak, dan uap gelap pekat mengepul keluar: serpihan Qi pahit logam yang bocor, menimbulkan aura dingin membeku.
Luo Xin terkejut, ketakutan, seraya menatap Nian dengan kebencian memuncak. “Ini… sabotase?” gumamnya. Nian menahan diri, hatinya berdebar kencang. Ia tahu—ini bukan kelakuannya. Siapa yang mengotori duel ini?
Di tengah kegaduhan, suara lantang Kepala Sekte memotong, “Semua diam!” Ia menatap dua panci itu, lalu menepuk meja. “Kita akan menyelidiki sabotase Qi pahit ini. Esok… murid yang memunculkan Qi gelap akan diadili.”
Mata murid berseliwer—ada yang menuduh Nian, ada yang membela. Di udara pucat pagi itu, bisikan rempah pahit mulai merasuk ke jiwa Sekte. Dan di balik kerudung ungu, senyuman lebih melebar: rencana besar baru saja dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments