“Tanpa The Closer… kita ini siapa, Gas?”
Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Dira. Lirih. Nyaris tenggelam oleh suara hujan yang menghantam atap markas. Ia berdiri di tengah ruang utama, menatap logo The Vault yang baru terukir di dinding granit. Masih bersih, terlalu bersih, seperti belum pernah digunakan.
Bagas tidak langsung menjawab. Ia tahu, bukan jawaban yang Dira butuh—tapi bukti. Tapi malam ini, bahkan ia pun ragu bisa memberikannya.
“Kita... tetap The Vault,” ujarnya akhirnya. “Dengan atau tanpa dia.”
Dira menoleh. Matanya sayu, bukan karena lelah, tapi kosong. “Itu kata-kata keren, Gas. Tapi coba lihat.” Ia mengangkat tangan, menunjuk ke meja koordinasi digital yang mengitari ruangan. Hanya setengah dari modul aktif.
“Intan lagi di ruang medis. Rendi belum sembuh total dari insiden Baluran. Noval malah baru bisa ngendaliin armor-nya dua hari lalu. Rivani… masih trauma habis gagal misi penyelamatan di Kalimantan.”
Ia menarik napas. “Dan Liana? Satu-satunya field commander yang kita punya, sekarang udah ikut Vanguard ke luar angkasa. Tinggal kita berdua di sini. Kayak sisa-sisa.”
Bagas memandang satu per satu meja kosong itu.
Dulu, meja-meja itu penuh suara. Penuh debat, tawa, dan kadang, tangis. Dulu, mereka semua percaya kalau dunia ini bisa diselamatkan. Karena The Closer ada. Karena tim lengkap. Karena markas berdiri megah.
Tapi sekarang, hanya bayangan yang tersisa.
“Kita nggak boleh mati sebelum lawan datang,” kata Bagas pelan. “Mereka pasti balik. Dan kita satu-satunya pagar terakhir.”
Dira terdiam.
Ia tahu Bagas benar. Tapi apa cukup?
Bagas menatapnya lagi. “Dengerin, Dir. Kalau The Vault itu benteng, maka kita fondasinya. Kalau kita retak, semua runtuh. Jadi ayo… kita bangun ini lagi. Dari dasar. Nggak perlu hebat. Cukup... bangkit dulu.”
Dira tidak menjawab. Tapi matanya berubah. Ada sedikit sinar di sana—lelah, tapi menyala. Ia mengangguk kecil.
Lalu ia melangkah pergi. Sendirian.
Hujan belum reda saat Dira membuka pintu ruang arsip. Lampunya menyala otomatis, menyoroti rak-rak berisi ratusan naskah, dokumen, dan tablet sejarah versi semesta NBU—semesta baru yang tercipta setelah The Closer menghancurkan Paramesha.
Dira tak tahu kenapa ia datang ke sini.
Mungkin karena ia butuh jawaban. Atau pelarian.
Tangannya menyusuri punggung-punggung buku, lalu berhenti pada satu naskah digital yang terlihat usang. Judulnya: “Versi Terlupakan: Lapis Ketiga Sejarah Kemerdekaan”.
Ia sentuh layar.
Halaman pertama menyala. Kata-kata muncul, bukan dari buku, tapi dari suara. Narasi tua. Pelan. Dalam bahasa Indonesia yang seperti pernah didengar di mimpi.
“Indonesia tidak hanya dijajah secara fisik, tapi juga secara spiritual. Ada perang yang tak pernah masuk buku sejarah. Perang antara cahaya dan bayangan. Antara para penjaga negeri... dan penjajah yang datang bukan cuma membawa senjata, tapi sihir.”
Dira terpaku. Nafasnya tercekat. Ia belum pernah membaca bab ini.
Halaman berganti otomatis.
Tahun 1945. Satu organisasi bayangan, sisa dari kekuatan kolonial, disebut Zwarte Sol—Matahari Hitam—masih bertahan di balik kekacauan perang dunia. Mereka percaya Indonesia adalah pusat energi dunia. Mereka ingin merebutnya kembali. Tapi satu kelompok pahlawan, tak tercatat di naskah resmi, berdiri menghadang. Mereka menyegel kekuatan itu... di Gunung Lawu.
Dira menelan ludah.
Namanya: Zwarte Sol.
Ia belum pernah dengar.
Belum pernah—bahkan dalam semua briefing, database, atau pertemuan bersama The Closer.
Dan itu membuatnya ngeri.
Ia mencabut tablet, berlari keluar ruang arsip, turun ke lantai bawah tempat Arka biasa berada.
Cahaya biru menyelimuti ruangan. Arka—entitas AI berbentuk semi-manusia holografik—berdiri menghadap layar, seperti biasa. Tapi hari ini, wajahnya tampak lebih… gelisah.
“Arka,” seru Dira, melempar tablet ke atas meja. “Bisa cek ini?”
Arka menyentuh layar. Data masuk. Diproses. Tapi… hasilnya nihil.
Data tentang Zwarte Sol: tidak ditemukan.
Foto, nama, organisasi, jejak metafisik, sidik sejarah digital… kosong.
Dira menatap layar itu seolah menatap jurang.
“Cuma mitos, ya?” gumamnya. “Atau... terlalu nyata sampai disembunyikan semua?”
Langkah kaki Bagas terdengar mendekat. Ia masuk bersama Intan dan Rivani yang baru kembali dari latihan. Wajah mereka sama tegangnya.
“Arka?” tanya Bagas.
AI itu menoleh. “Tak satu bit pun. Seolah-olah mereka tak pernah ada.”
Dira menunjuk layar. “Tapi sejarah mereka muncul di satu arsip. Satu sumber. Dan kita bahkan nggak pernah dengar soal mereka?”
“Kalau begitu,” gumam Bagas sambil menatap peta holografik Indonesia yang perlahan menampilkan titik-titik energi abnormal dari berbagai daerah. “Mereka sudah mulai bangkit lagi. Dan kita buta arah.”
Tiba-tiba layar Arka berkedip.
Satu nama muncul.
Van Rijk van Oostermeer
Status: Tidak Dikenal
Lokasi terakhir terdeteksi: Gunung Lawu, 1945.
Suasana ruangan mendadak membeku.
Dira membisik. “Sejarah... sedang mengulang dirinya.”
Lalu—
WHEEEEOOOOO!!!
Alarm markas melolong keras. Merah. Penuh.
Semua mata menoleh ke layar utama.
Sumber ancaman: Candi Borobudur
Energi tak dikenal: Kelas Merah
Kemungkinan keterkaitan: Zwarte Sol
Dan di layar kecil pojok kiri atas—satu simbol muncul untuk pertama kalinya dalam 80 tahun.
Matahari Hitam.
Dira menatap semua orang. “Kita nggak bisa tunggu The Closer balik. Kita harus hadapi ini... sekarang.”
Bagas mengangguk. “Kita buktikan. The Vault berdiri bukan karena satu orang. Tapi karena tanah ini butuh penjaga.”
Intan menyiapkan senjata. Rivani menarik napas dalam. Noval—meski masih belum pulih total—memasuki mode armor.
“Tim siap?” tanya Dira.
“Siap, Kapten,” jawab mereka serempak.
Untuk pertama kalinya sejak kehancuran markas lama, tim The Vault bergerak sebagai satu tubuh.
Tanpa Closer.
Tanpa Liana.
Tanpa nama besar.
Cuma satu tujuan:
Menghentikan kebangkitan penjajahan gaib... sebelum matahari hitam terbit lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments