Prolog

Api membakar langit di atas lereng Gunung Lawu. Bukan api biasa—ini warna ungu tua, menyala tanpa asap, membentuk lingkaran-lingkaran simbol yang bahkan tentara Jepang pun tak bisa pahami.

“Waktu kita habis,” ucap Joyo Mataram, menatap langit dari balik helm besinya yang penuh retakan.

Ia berdiri di antara pohon-pohon pinus yang seharusnya sunyi. Tapi malam ini, hutan bergetar. Gemuruh langkah kaki, desisan senjata gaib, dan pekikan makhluk dari dunia lain memenuhi udara.

Dari balik kabut, muncul siluet—tinggi, angkuh, dengan jubah kulit dan topi kolonial yang masih utuh sejak abad ke-17. Matanya memancarkan cahaya emas, bukan pantulan, tapi sinar dari dalam tengkoraknya.

“Van Rijk van Oostermeer…” gumam Joyo. “Masih saja kau tak mau mati.”

“Dan kau, selalu berpikir tanah ini milikmu,” balas Van Rijk dalam bahasa Jawa yang terlalu fasih untuk seorang Belanda. “Padahal kami datang lebih dulu ke pusat kekuatan ini. Kami mengerti rahasia bumi ini… jauh sebelum kalian menyadarinya.”

Joyo menggenggam kerisnya. Bukan keris biasa—keris itu tembus pandang, seolah terdiri dari bayangan dan cahaya sekaligus. Dulu, itu milik Panembahan Senopati. Sekarang, dia yang memegangnya sebagai penjaga terakhir garis darah gaib Mataram.

Di belakangnya, berdiri empat sosok. Mereka bukan tentara. Bukan juga sekutu Jepang atau Belanda. Mereka adalah yang disebut rakyat sebagai “para penjaga batas”—pahlawan yang namanya tidak tercetak di buku sejarah.

Rasmi, sang bidan dari Sumatera Barat, kini berwujud raksasa kabut. Di tangannya, tongkat kayu warisan Minangkabau bersinar merah.

Pak Wiryo, guru ngaji dari Banyuwangi, dengan jubah putih yang melayang dan sorot mata yang bisa membakar racun.

Surapati, entitas gaib dari darah pemberontak masa lalu, memegang dua tombak dan bersiul dalam bahasa roh.

Dan Larasati, penari istana dari masa Majapahit terakhir yang kini jadi pemanggil roh leluhur melalui gerak tubuh.

“Kita tak butuh pengakuan dunia. Kita hanya perlu satu hal: merdeka,” kata Joyo, kemudian menancapkan kerisnya ke tanah.

Tanah bergetar.

Ritual dimulai.

Tapi Zwarte Sol tak akan membiarkan itu terjadi begitu saja.

Di puncak Lawu, Van Rijk mengangkat tangannya. Dari balik kabut, muncullah Kapten Draak—sosok setinggi dua meter, setengah manusia, setengah mesin, tubuhnya terbuat dari logam kolonial yang dihantui mantra. Di dadanya, simbol matahari hitam bersinar.

“Serang,” perintah Van Rijk, dan malam berubah jadi kiamat kecil.

Draak menghantam tanah, menciptakan gelombang kejut yang memecah pepohonan. Larasati menari, memanggil roh roh keraton lama untuk menahan langkah monster baja itu.

Rasmi berubah wujud menjadi kabut, membungkus tubuh Cornelis—ilmuwan gila Zwarte Sol—yang muncul sambil mengendalikan suara masa lalu: pidato penjajahan, lagu-lagu propaganda, bahkan suara orang-orang yang sudah mati. Semua untuk membingungkan lawan.

Di tengah pertempuran itu, Joyo dan Van Rijk saling mendekat. Tak ada lagi kata-kata.

Cuma tebasan keris dan cambukan cahaya.

Mereka bertarung seperti dua raksasa kecil di tengah perang gaib yang lebih besar. Langit mendesis. Hujan mulai turun, tapi hujan darah. Bukan dari luka mereka—dari makhluk yang dipanggil Zwarte Sol: entitas entitas kegelapan hasil kawin silang ilmu Jawa dan okultisme Belanda.

Pak Wiryo membuka Al-Qur'an tua dari kulit rusa, membacakan ayat yang sudah jarang didengar. Suaranya menggetarkan langit. Satu per satu entitas itu menjerit lalu meledak jadi pasir emas.

“Tak bisa terus begini,” teriak Larasati. “Kita harus segel mereka! Sekarang!”

Joyo tahu. Ini bukan soal menang. Ini soal menghentikan mereka… untuk satu generasi ke depan. Mungkin dua.

Ia menusukkan keris ke dada sendiri.

Darahnya bercampur dengan tanah.

Tanah itu bergetar lagi. Tapi kali ini bukan karena serangan. Melainkan karena segel—segel kuno yang hanya bisa diaktifkan oleh pengorbanan darah keturunan Mataram.

Simbol hitam di dada Van Rijk mulai memudar.

“Tidak!” pekik Van Rijk. “Kami—kami belum selesai! Kami belum—”

BOOM.

Ledakan putih meledak dari bawah Gunung Lawu, menyebar ke seluruh negeri. Suara makhluk makhluk gelap menghilang. Tubuh Kapten Draak meledak jadi logam karatan. Cornelis menjerit lalu terserap ke dalam tanah. Nyai Hageman, yang tak terlihat sejak awal, mencair jadi air hitam dan tersapu hujan.

Van Rijk?

Tak ditemukan.

Cuma topi kolonialnya yang tertinggal. Terbakar setengah.

Dan langit… akhirnya sunyi.

Joyo Mataram jatuh ke tanah.

Tapi sebelum matanya menutup, ia menatap ke langit dan berbisik, “Mereka akan kembali. Tapi tidak hari ini.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!