Rumah yang Kehilangan Dindingnya

Sore itu, rumah keluarga besar Azam di Gresik dipenuhi keheningan. Sang Abi, duduk di kursi kayu tua di teras, menatap langit yang mulai menggelap. Ketika Azam datang dari arah halaman, membawa raut lelah, Abi tidak menyambutnya seperti biasa.

Azam menyapa pelan, “Abi…”

“Duduk,” jawab Abi, datar. “Kita perlu bicara.”

Azam duduk, merapikan posisi. Suasana canggung membungkus mereka.

“Aku baru saja dikunjungi Pak Kiai dari pondok Al-Furqan,” ucap Abi pelan. “Kau tahu apa yang beliau ceritakan?”

Azam diam.

Abi melanjutkan, “Tentang seorang wanita muda… yang datang ke sana dengan mata bengkak, langkah ragu, dan dosa yang ingin ditinggalkan. Dia ingin berubah, Azam. Tapi dia datang karena terbuang. Oleh siapa?”

Azam menunduk, rahangnya mengeras. “Abi, saya—”

“Kau menghukumnya dengan dingin. Bukan dengan bimbingan. Kau biarkan dia merangkak sendirian, sementara kau menuntutnya menjadi suci seperti lembaran putih. Azam... sejak kapan kau menjadi hakim? Sejak kapan kau berhak merasa lebih mulia dari orang lain hanya karena dosamu tak terlihat?”

Suara Abi mulai bergetar. “Kau tahu apa amanah sahabat Abi sebelum meninggal? Titipkan anak gadisku pada orang yang bisa melindungi imannya, bukan menghakimi masa lalunya. Dan saat itu, aku percaya… orang itu adalah kamu.”

Azam terdiam. Kata-kata Abi seperti cambuk yang menghantam dadanya.

Abi menatap Azam tajam. “Kau lelaki cerdas, Azam. Tapi jangan biarkan logikamu membunuh hatimu. Jangan sampai kesempurnaanmu yang semu menutup matamu dari kasih sayang yang sejati.”

Lalu dengan suara pelan namun menghunjam, Abi berkata,

“Kalau semua orang yang pernah jatuh harus dijauhi, lalu apa gunanya Islam diturunkan sebagai rahmat?”

Azam menutup wajahnya dengan tangan. Dada sesak. Tak ada pembelaan. Hanya penyesalan yang menumpuk.

Abi bangkit dari duduknya, menepuk bahu Azam.

“Kau belum terlambat, Nak. Tapi jangan tunggu sampai dia benar-benar merasa tidak layak lagi untuk dicintai olehmu.”

Abi masuk ke dalam, meninggalkan Azam sendirian di teras—di bawah langit yang mulai menggelap, seperti jiwanya yang mendadak terasa kosong.

Azam berdiri mematung di depan gerbang pondok pesantren Al-Furqan. Angin sore membawa bau tanah basah dan daun kering. Ini pertama kalinya ia datang ke tempat ini—tempat yang selama ini hanya ia dengar dari mulut orang lain. Tempat yang menjadi saksi diam perjalanan Nayla mencari Tuhannya.

Seorang santri putri yang ditugasi bagian tamu memandunya ke ruang tamu pondok. Tak lama kemudian, datang seorang ibu paruh baya dengan senyum lembut, berjilbab lebar dan berwibawa.

“Ustazah Salma?” tanya Azam dengan nada penuh harap.

“Saya sendiri. Antum suami dari Ukhti Nayla, bukan?” tanya Ustazah, meski wajah Azam jelas menunjukkan jawabannya.

Azam mengangguk. “Saya… saya ingin menjemputnya pulang.”

Ustazah Salma menatap Azam dalam diam. Ia menarik napas pelan sebelum akhirnya berkata, “Maaf, Ustaz Azam… Nayla sudah tidak di sini.”

Dunia seperti berhenti sesaat.

“Sudah sebulan lebih, ia pamit baik-baik. Tanpa konflik. Tapi juga tanpa banyak cerita. Kami juga tak tahu ke mana ia pergi.”

Azam mencengkeram jemarinya sendiri. “Tidak meninggalkan alamat? Kontak? Siapa pun yang tahu keberadaannya?”

Ustazah menggeleng perlahan. “Dia bilang… ingin benar-benar memulai dari awal. Meninggalkan masa lalu, termasuk masa pernikahannya yang belum selesai.”

Azam menunduk. Ada rasa sesak yang tak bisa dijelaskan. Rasa kehilangan yang nyata. Ia datang membawa harapan untuk memperbaiki segalanya, tapi Nayla sudah jauh berjalan di depan… mungkin sudah tak ingin lagi menoleh ke belakang.

Ustazah memandangnya dengan penuh iba. “Nayla bukan pergi karena benci. Tapi karena ia merasa tak pantas terus berharap pada seseorang yang membencinya diam-diam.”

Kata-kata itu menusuk.

Azam terdiam cukup lama sebelum akhirnya bertanya dengan suara lirih, “Apa dia… baik-baik saja?”

Ustazah Salma tersenyum tipis. “Lebih dari itu. Dia tumbuh.”

Azam menunduk lebih dalam. Tak sanggup menjawab apa pun.

Hari itu, Azam kembali ke mobilnya dengan dada sesak dan pikiran kosong. Ia menatap setir, lalu menutup matanya.

Dalam hening, ia hanya mampu berdoa dalam hati,

Ya Allah… jika dia memang bukan takdirku, jangan cabut namanya dari doa-doaku…

Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya sejak Nayla pergi, air mata Azam jatuh begitu saja.

Sejak kunjungannya ke pondok Al-Furqan, hidup Azam tak lagi sama.

Hari-hari berlalu seperti biasa di luar—mengajar, mengisi seminar, menyusun jurnal penelitian—namun di dalam dirinya, ada pergolakan yang tak kunjung usai. Ia semakin banyak diam, semakin sering merenung. Sesekali ia membuka mushaf di ruang kerja rumahnya, memandangi huruf-huruf Al-Qur'an dengan hati yang mulai bergetar.

Setiap malam, ia duduk di ruang makan yang dulu sering ditemani Nayla. Ada bayangan samar yang tak bisa hilang: seorang perempuan yang dulu bangun pagi menyiapkan sarapan, yang diam-diam menangis saat ia acuhkan, yang meski dihukum dengan dingin tetap menjalankan kewajiban tanpa keluhan.

Azam teringat surat yang ditinggalkan Nayla. Surat itu sudah entah berapa kali ia baca. Tapi bagian ini selalu membuat dadanya terasa ditusuk:

“Aku pergi bukan karena menyerah, Azam. Tapi karena aku tahu… seseorang yang ingin dicintai juga berhak dicintai dengan utuh. Dan jika aku belum mampu membuatmu memandangku sebagai istrimu, setidaknya aku bisa berjuang menjadi hamba-Nya yang lebih baik.”

Azam pernah berpikir bahwa menjadi suami baik adalah soal memberi nafkah, menjaga rumah tangga, dan menjadi imam dalam salat. Tapi ia lupa satu hal: menjadi suami juga berarti menjadi rumah—tempat pulang yang nyaman. Bukan pengadil yang menuntut tanpa memberi ruang untuk bertumbuh.

Suatu malam, Azam duduk di hadapan Abi. Kali ini tanpa bicara. Ia hanya menyodorkan satu benda: mushaf yang dulu sering dibacakan Nayla.

Abi mengangguk perlahan. “Sudah mulai bisa berdamai dengan luka sendiri?”

Azam menatap kosong. “Aku kira aku lelaki bijak, Abi. Tapi ternyata aku hanya laki-laki yang belum sembuh dari standar kesempurnaan.”

Abi tersenyum tipis. “Sembuh itu bukan soal waktu, Azam. Tapi soal keberanian mengakui bahwa kita pun tak sempurna. Dan saat kita menyadari itu, kita akan lebih mudah memeluk orang lain dengan utuh.”

Azam menunduk. “Tapi Nayla sudah pergi…”

“Kalau dia ditakdirkan untukmu, Allah akan membawanya pulang. Tapi sebelum itu, pastikan kau jadi lelaki yang bisa mencintai tanpa syarat—dengan lapang, bukan dengan luka.”

Azam mengangguk, pelan… seolah hatinya mulai terbuka.

Malam itu, ia menyalakan lampu kamar yang dulu ditempati Nayla. Ia duduk di pinggir ranjang, membuka mushaf dan mulai membaca… pelan, terbata, tapi dari lubuk hati.

Bismillahirrahmanirrahim…

Dan di sela-sela ayat itu, ia mengingat suara lembut Nayla saat melafalkan huruf demi huruf. Suara yang dulu ia kagumi… tapi tak sempat ia syukuri.

Azam tak lagi mencari Nayla karena rasa bersalah. Tapi karena ia mulai merindukan kehadiran seseorang… yang mampu membuatnya merasa lengkap sebagai manusia.

Bukan karena Nayla sempurna. Tapi karena bersamanya, Azam belajar menjadi hamba yang lebih jujur di hadapan Allah.

Episodes
1 Amanah Terakhir
2 Isak yang Ditelan Dinding
3 Sunyi yang Menampar
4 Setelah Doa yang Panjang
5 Rumah yang Kehilangan Dindingnya
6 Doa dalam Diam
7 Di Antara Buku dan Takdir
8 Aku Bukan Wanita Shalehah
9 Luka yang Tak Pernah Ia Siapkan
10 Cinta dan Rahasia
11 Nama yang Disembunyikan
12 Tekanan Dari Kampus
13 Dua Tahun Berlalu
14 Doa yang Belum Diijabah
15 Tangisan Kejujuran
16 Doa dalam Pelukan Langit
17 Hari Libur di Surabaya
18 Hati Selembut Bidadari
19 Senja di serambi pesantren.
20 Di Sepertiga Malam
21 Malam di Langit Jogja
22 Ketika dua menjadi tiga
23 Senja Menjelang
24 Tangisan Cinta
25 Dua Wanita Hebat
26 Belajar Menikmati kesunyian
27 Kesepian yang Menyelinap
28 Tamparan Tak Kasat Mata
29 Jejak Yang Tertinggal
30 Pintu Rumah Humairah
31 Sepi Di tengah keramaian
32 Saling Mengerti
33 Satu ranjang dua wanita
34 Keputusan Terbesar Nayla
35 Rndu Terpendam
36 Setangkai Mawar Kering
37 Rindu di Tanah Yordania
38 Kabar Terind
39 39. KEMBALINYA HARAPAN
40 40. Rindu Tak Seindah Dulu
41 Tangisan Langit Yordania
42 Kata Maaf yang Terlambat
43 Luka yang Membuat Kita Asing
44 HATI YANG TAK UTUH
45 PESAN DARI HUMAIRAH
46 GELAR DIBALIK LUKA
47 Chat Seorang Istri untuk Perempuan yang Dicintai Suaminya
48 TAMPARAN DARI ARYA UNTUK NAYLA
49 LUKA YANG DIADILI
50 PANGGILAN ABI IBRAHIM
51 MENCINTAI DALAM DOA
Episodes

Updated 51 Episodes

1
Amanah Terakhir
2
Isak yang Ditelan Dinding
3
Sunyi yang Menampar
4
Setelah Doa yang Panjang
5
Rumah yang Kehilangan Dindingnya
6
Doa dalam Diam
7
Di Antara Buku dan Takdir
8
Aku Bukan Wanita Shalehah
9
Luka yang Tak Pernah Ia Siapkan
10
Cinta dan Rahasia
11
Nama yang Disembunyikan
12
Tekanan Dari Kampus
13
Dua Tahun Berlalu
14
Doa yang Belum Diijabah
15
Tangisan Kejujuran
16
Doa dalam Pelukan Langit
17
Hari Libur di Surabaya
18
Hati Selembut Bidadari
19
Senja di serambi pesantren.
20
Di Sepertiga Malam
21
Malam di Langit Jogja
22
Ketika dua menjadi tiga
23
Senja Menjelang
24
Tangisan Cinta
25
Dua Wanita Hebat
26
Belajar Menikmati kesunyian
27
Kesepian yang Menyelinap
28
Tamparan Tak Kasat Mata
29
Jejak Yang Tertinggal
30
Pintu Rumah Humairah
31
Sepi Di tengah keramaian
32
Saling Mengerti
33
Satu ranjang dua wanita
34
Keputusan Terbesar Nayla
35
Rndu Terpendam
36
Setangkai Mawar Kering
37
Rindu di Tanah Yordania
38
Kabar Terind
39
39. KEMBALINYA HARAPAN
40
40. Rindu Tak Seindah Dulu
41
Tangisan Langit Yordania
42
Kata Maaf yang Terlambat
43
Luka yang Membuat Kita Asing
44
HATI YANG TAK UTUH
45
PESAN DARI HUMAIRAH
46
GELAR DIBALIK LUKA
47
Chat Seorang Istri untuk Perempuan yang Dicintai Suaminya
48
TAMPARAN DARI ARYA UNTUK NAYLA
49
LUKA YANG DIADILI
50
PANGGILAN ABI IBRAHIM
51
MENCINTAI DALAM DOA

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!