Udara sore masih menyimpan sisa-sisa hujan ketika Elina dinyatakan boleh pulang dari klinik. Luka di pelipisnya telah dibalut rapi, meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia mengenakan cardigan lusuh dan membawa tas kecil, berharap bisa segera kembali ke rumah tanpa drama.
Namun ketika ia melangkah keluar, mobil hitam itu sudah menunggu. Lagi.
Adrian berdiri di sisi mobil, dengan tangan di saku dan wajah yang tak bisa dibaca.
"Aku bisa pulang sendiri, Tuan Leonhart,"kata Elina dengan suara lemah tapi mantap.
"Aku tidak terbiasa membiarkan wanita yang menyelamatkan putriku berjalan kaki pulang sendiri," jawab Adrian, kemudian kembali berbicara dengan santai, "Masuklah."
Elina membuka mulut untuk membantah, tapi Adrian sudah membuka pintu penumpang untuknya. Hening mengisi perjalanan. Elina hanya menyebutkan alamatnya singkat, dan sisanya dihabiskan dalam diam, hanya deru mobil dan suara napas mereka masing-masing.
Tapi begitu mobil berhenti di depan rumah kontrakan tua di gang sempit, Adrian menoleh, dan untuk pertama kalinya, ekspresinya goyah.
Dinding rumah itu lembap, catnya mengelupas. Genteng di sudutnya miring. Tak ada pagar, hanya satu pot bunga plastik yang setengah hancur di sudut beranda.
Inikah tempat tinggal wanita yang begitu tenang, begitu tulus saat bersama anak-anak di sekolah?
Elina buru-buru turun dan membukakan pintu rumahnya. "Masuklah sebentar. Saya akan ambilkan minum."
Ruang tamu itu kecil, sumpek, dan hanya memiliki sofa tua yang pegasnya sudah menonjol. Sebuah meja reyot berdiri miring, di atasnya ada tumpukan amplop, kebanyakan dengan logo bank atau perusahaan air dan listrik. Di pojok ruangan, kipas angin tua berdengung pelan.
Adrian duduk dengan kaku. Dunia ini begitu jauh dari dunia miliknya. Tapi justru itulah yang membuat matanya tak sengaja melirik tumpukan surat di meja. Ia melihat satu ujung amplop terbuka, lalu tanpa sadar meraihnya.
Tagihan.
Listrik tertunggak dua bulan. Peringatan terakhir dari perusahaan air. Beberapa bahkan bercap merah: PENAGIHAN TERAKHIR.
Adrian mengerutkan dahi. Tangannya berhenti di atas lembar tagihan lain, surat dari bank. Pinjaman warisan. Jumlahnya tak kecil.
Langkah kaki Elina terdengar dari arah dapur. Adrian segera meletakkan semua kembali, lalu menatap wanita itu saat ia datang membawa dua gelas plastik berisi air putih.
"Saya tidak punya teh atau kopi," ujarnya canggung.
Adrian tidak menyentuh gelas itu. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari saku dalam jasnya, sehelai cek kosong. Ia meletakkannya di atas meja reyot, lalu berkata pelan, "Tulis berapa pun yang kamu mau."
Elina mematung.
"Apa maksud Anda?" bisiknya, menatap cek itu seolah itu adalah sesuatu yang menghina harga dirinya.
"Sebagai ucapan terimakasih!"
"Saya tahu kamu kesulitan. Saya sudah melihatnya." Suara Adrian tetap tenang, tapi nada simpatinya tidak bisa disembunyikan. "Kau telah menyelamatkan nyawa anakku. Itu tidak ternilai. Tapi saya ingin setidaknya melakukan sesuatu."
Elina menatap pria itu, lalu cek di atas meja. Rahangnya mengeras. Ia menggenggam gelas airnya erat-erat.
"Dengan Anda membayar pengobatan saya dan mengantar saya pulang...itu sudah cukup," katanya pelan. "Saya tidak menjual hidup saya hanya karena saya miskin."
Adrian menatapnya dalam. Diam.
Tak ada amarah dalam nada Elina. Hanya luka yang tersembunyi di balik ketegaran. Harga diri seorang wanita yang selama ini berdiri sendiri di tengah gelombang utang dan ancaman.
Setelah beberapa saat, Adrian berdiri. Ia mengambil kembali cek itu, tanpa sepatah kata pun. Lalu beranjak menuju pintu.
...****************...
Langit sore mulai memerah saat mobil Adrian Leonhart berhenti di halaman sebuah rumah klasik bergaya kolonial. Bukan mansion pribadinya, melainkan rumah milik satu-satunya wanita yang masih bisa mengatur langkahnya: Nenek Elizabeth.
Adrian melangkah masuk tanpa mengetuk. Bau mawar dan lavender menyambutnya, bercampur dengan wangi teh hangat yang selalu disiapkan di waktu seperti ini. Di ruang tengah, Elizabeth Leonhart duduk anggun di kursi malasnya, ditemani seorang pelayan lansia yang telah bekerja sejak Adrian masih remaja.
"Cucu kesayanganku akhirnya datang," ujar sang nenek, matanya berbinar melihat Adrian, meskipun sorot itu segera berubah menjadi sesuatu yang lebih licik.
"Ada urusan penting, Nek?" Adrian melepas jasnya dan duduk di sofa seberang.
Elizabeth tersenyum tipis. Senyum seorang jenderal yang tahu bahwa rencana perangnya sudah dimulai.
"Ada jamuan malam ini di Grand Royale. Keluarga Hartford akan hadir." Ia menyeruput tehnya perlahan, seolah membicarakan hal sepele.
Adrian mendongak. "Keluarga Hartford?"
"Putri mereka, Anneliese. Lulusan Oxford, pengelola galeri seni, cantik, cerdas, dan tentu saja, anak pengusaha minyak terbesar di negara bagian."
Adrian mendesah panjang. "Jadi ini kencan buta?"
"Jangan kasar. Ini pertemuan yang dikurasi," jawab Elizabeth enteng. "Kau akan hadir. Aku sudah siapkan tuxedo barumu."
"Nenek," nada suara Adrian mengeras sedikit. "Aku sudah bilang, aku tidak tertarik."
Elizabeth meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi kecil. Tatapannya berubah, dari hangat menjadi dingin, seperti es tipis yang bisa pecah kapan saja.
"Tidak ada kata tidak di keluarga ini, Adrian. Kamu sudah membuat terlalu banyak keputusan sendiri sejak ibumu meninggal. Tapi urusan pernikahan, kau tidak bisa seenaknya."
Adrian menatap mata wanita tua itu. Mata yang dulu membacakan dongeng, kini menyematkan takdir.
"Aku sudah pernah menikah. Sudah gagal. Cukup bagiku."
"Kamu tidak gagal. Kamu hanya memilih wanita yang salah." Elizabeth berdiri perlahan, dibantu tongkatnya. "Kamu punya nama keluarga yang harus dijaga. Masa depan Claire juga."
Saat nama putrinya disebut, Adrian terdiam. Beberapa detik kemudian ia bangkit berdiri, memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Aku akan datang," ujarnya pelan. "Tapi hanya karena Nenek yang meminta. Bukan karena aku setuju dengan rencana ini."
Elizabeth tersenyum, kali ini dengan lebih lembut. "Itu saja cukup, Nak. Cinta bisa tumbuh, asalkan fondasinya kuat."
Tapi Adrian tahu, fondasi yang dimaksud sang nenek bukan tentang hati, melainkan uang, nama, dan kekuasaan.
...****************...
Grand Royale menjulang dengan megah di tengah kota, hotel bintang lima yang kerap menjadi saksi pertemuan para elit sosial. Malam ini, lobi utamanya dihiasi lampu kristal dan alunan piano klasik yang lembut, menyambut para tamu dengan kemewahan yang tak terucap.
Adrian Leonhart turun dari mobilnya dengan langkah pasti. Setelan tuxedo hitam malam itu membuat posturnya yang tegap makin mencolok. Para pelayan membukakan pintu dengan hormat, dan sorot mata para tamu wanita langsung melirik penuh kekaguman.
Di dalam ruang makan pribadi Grand Royale, keluarga Hartford sudah menunggu. Sang ayah, Mr. Vincent Hartford, adalah pria berkepala perak dengan senyum diplomatis, sementara putrinya, Anneliese, duduk anggun di sisi ibunya. Wanita itu mengenakan gaun biru senada dengan matanya, rambut disanggul rapi, bibirnya memancarkan kepercayaan diri khas bangsawan.
"Adrian Leonhart," sapa Mr. Hartford, berdiri dan mengulurkan tangan dengan ramah. "Senang akhirnya bertemu Anda."
"Begitu juga, Tuan Hartford." Adrian membalas jabatan tangan itu sopan, lalu mengangguk pada Anneliese. "Nona Hartford."
"Adrian," Anneliese tersenyum. Suaranya lembut, jelas terlatih menghadapi pergaulan kelas atas. "Saya sudah mendengar banyak tentang Anda. Nenek Anda selalu membanggakan Anda seperti pahlawan dari zaman Romawi."
Adrian menahan tawa sopan. "Sayangnya, saya bukan penggemar toga."
Meja makan penuh obrolan hangat. Vincent berbicara panjang lebar tentang proyek energi terbarunya, sementara Anneliese menanggapi dengan cerdas dan tenang. Ia memang menawan: lulusan Oxford jurusan Sejarah Seni, pernah magang di Louvre, dan sekarang mengelola galeri warisan keluarganya di pusat kota.
Tapi... tidak ada getaran. Tidak satu pun.
Adrian mendengarkan dengan sopan, bahkan sesekali tersenyum, namun pikirannya melayang ke tempat lain. Ke sebuah rumah sempit dan berantakan. Ke wanita bermata letih yang menatapnya dengan keberanian saat menolak cek kosong darinya.
"Elina..." gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk membuat pelayan di belakangnya melirik bingung.
"Maaf?" tanya Anneliese, sedikit membungkuk.
Adrian mengangkat wajah. "Oh, tidak. Saya hanya... berpikir tentang pekerjaan."
Anneliese tertawa kecil. "Kau memang benar-benar CEO sejati."
Pertemuan berlangsung tanpa cela, tidak ada yang salah, tapi juga tidak ada yang terasa benar. Jamuan itu seperti naskah yang dipentaskan ulang untuk keseratus kalinya. Elegan. Kosong.
Saat malam usai dan keluarga Hartford berpamitan, Anneliese menatap Adrian dalam-dalam. "Aku tahu maksud dari pertemuan ini. Dan aku tidak keberatan menjalani hubungan formal demi reputasi dan stabilitas kedua belah pihak. Tapi... aku rasa kau bukan orang yang bisa menjalani hubungan tanpa hati."
Adrian mengangguk pelan, untuk pertama kalinya malam itu merasa dimengerti.
"Maafkan aku," ucapnya. "Aku tidak bisa."
Anneliese hanya tersenyum dan menepuk bahunya. "Good. Kau masih manusia, Adrian Leonhart."
Dan saat Adrian meninggalkan Grand Royale malam itu, dunia yang dibangun di sekelilingnya terasa rapuh. Ia bisa memilih jalan yang mudah: pernikahan terpandang, kehidupan yang stabil, warisan nama keluarga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments