“Anak itu,” suara pria tua itu terdengar serak, seperti pasir yang digerus di tenggorokan. “Dia sedang diincar. Bukan karena siapa orang tuanya sekarang... tapi karena siapa dirinya sebenarnya.”
Sasmita tak menurunkan kerisnya.
“Lo siapa?” tanyanya tajam. “Datang pagi-pagi, bawa tongkat dari tulang orang mati, terus ngoceh soal ‘diincar’. Lo kira ini acara ramalan di alun-alun?”
Pria itu tak tersinggung. Matanya tetap menyala. “Namaku Mbah Sujana. Aku penjaga warisan. Dan anak itu... Kenan... bukan anak biasa. Darahnya—menyimpan kunci untuk membuka segel lama.”
Dari balik jendela, Kenan berdiri diam. Mendengar semuanya.
Sasmita melirik ke belakang. “Kunci? Segel apaan lagi nih?”
Mbah Sujana melangkah pelan ke arah taman. Setiap jejaknya menimbulkan suara seperti ranting patah. “Bukan kebetulan rumah ini bereaksi semalam. Bukan kebetulan simbol-simbol itu muncul. Tanah ini... hanya merespons keberadaan si anak.”
Sasmita menyipitkan mata. “Lo ngomong seolah rumah ini punya jiwa.”
“Tanah ini punya ingatan. Dan ingatannya... mengenali darah seorang Exorcist.”
Sasmita langsung menoleh ke arah Aditya dan Maya yang berdiri di belakangnya.
Aditya terlihat bingung. Maya pucat. Sasmita mengangkat alis.
“Exorcist? Serius? Kalian berdua? Yang semalem lari kayak ayam tanpa kepala waktu makhluk itu nongol?”
Maya menggeleng pelan, suaranya gemetar. “Kami bukan... bukan Exorcist. Kami orang biasa.”
Sasmita menoleh ke Kenan yang berdiri diam. Matanya membulat.
Dia belum paham. Tapi dia tahu... sesuatu akan berubah.
Maya menggenggam tangan suaminya, lalu memberanikan diri maju. “Kenan... ada hal yang belum pernah kami ceritakan.”
Kenan menatap ibunya. “Hal apa?”
Aditya membuka suara, lebih tegas. “Kamu... bukan anak kandung kami, Nak.”
Jantung Kenan seperti berhenti berdetak.
“Apa?”
“Kamu kami adopsi... dari panti asuhan di Kabupaten Garut. Usiamu waktu itu... belum genap satu tahun. Kamu masih bayi.”
Ruangan terasa hening. Hanya suara angin yang menggerakkan tirai jendela.
Sasmita menurunkan kerisnya perlahan. Matanya tetap mengawasi Kenan, mencoba membaca reaksinya.
Kenan menunduk. “Jadi... kalian bukan orang tua aku?”
Maya buru-buru mendekat, memeluk anak itu erat. “Kami ibumu dan ayahmu. Bukan dari darah. Tapi dari pilihan dan cinta.”
“Tapi kalian bohong...” bisik Kenan. “Kenapa baru sekarang?”
Aditya mendekat, tangannya mengusap kepala Kenan. “Kami ingin memberitahumu saat kamu sudah cukup dewasa. Tapi kami takut. Takut kehilanganmu. Takut kamu nggak bisa menerima.”
Kenan menepis pelan tangan Maya. Dia melangkah mundur, menatap wajah mereka satu per satu. Tangannya mengepal. Wajahnya mulai bergetar.
“Aku cuma tahu kalian. Sejak kecil. Kalian rumahku.”
Air matanya jatuh. Tapi suaranya tetap terdengar tegas.
“Kalau aku bukan siapa-siapa... kenapa aku diincar?”
Mbah Sujana menatapnya. “Karena kamu adalah keturunan terakhir dari garis Exorcist tua yang pernah menyegel salah satu iblis terbesar di tanah ini. Leluhurmu mati... dan garis darah itu menghilang. Tapi kini, kamu muncul. Dan kekuatan gelap itu bangkit kembali.”
“Nama segel itu...” lanjutnya, “adalah ‘Manglayang Merah’. Dan iblis yang tersegel... sedang mencari pembuka pintunya.”
Tri melangkah maju. “Gue pernah baca tentang itu di jurnal Kak Sasmita. Manglayang Merah... itu yang menyebabkan tragedi desa hilang di tahun 1999, kan?”
Sasmita mengangguk. “Yang makan seluruh dusun. Nggak nyisain apa-apa kecuali tiang listrik terbakar.”
Mbah Sujana menatap Kenan. “Dan sekarang... ia sudah menciummu.”
Kenan gemetar. “Aku nggak ngerti semua ini...”
“Lo nggak perlu ngerti sekarang.” Suara Sasmita kembali tenang. “Lo cuma perlu satu hal—bertahan. Sisanya, biar gue dan murid-murid gue yang urus.”
Dia menatap Mbah Sujana. “Kalau lo bener-bener penjaga warisan, lo harus punya sesuatu yang lebih dari cerita menakut-nakuti anak kecil.”
Mbah Sujana mengangguk. Ia membuka jubahnya perlahan. Dari dalamnya, ia mengeluarkan gulungan kulit kayu tua, lalu menyerahkannya ke Sasmita.
“Kode warisan darah. Di situ ada catatan lengkap tentang garis Exorcist dari abad ke-18 sampai sekarang. Termasuk nama bayi laki-laki yang dibawa biarawati ke panti Garut pada 2015. Namanya... Kenan.”
Sasmita membuka gulungan itu. Matanya membaca cepat, lalu berhenti pada satu bagian.
“Ini tulisan tangan... pakai tinta darah. Simbolnya sama kayak yang muncul semalam.”
Dia menggenggam gulungan itu erat, lalu menatap Kenan.
“Kita nggak bisa sembunyi lagi.”
Kenan duduk sendiri di pojok ruangan. Wajahnya tertutup tangan. Dia tak bicara. Bahkan tak menangis.
Ningsih berdiri di belakangnya, menatap bocah itu dengan tatapan... aneh. Bukan kasihan. Tapi seolah melihat dirinya sendiri.
“Gue juga nggak tau siapa bokap nyokap gue,” katanya pelan. “Yang gue tahu... darah gue bau neraka. Tapi bukan berarti hidup gue harus jadi neraka juga.”
Kenan menoleh. “Gue nggak mau jadi apa pun. Gue cuma pengen jadi anak biasa.”
Ningsih tersenyum tipis. “Anak biasa nggak dipanggil siluman tengah malam.”
Tri duduk di lantai, membersihkan senjata peraknya. “Lagipula, jadi luar biasa itu... berarti lo punya pilihan untuk ngelindungin yang lain. Dan itu nggak semua orang punya.”
Sasmita muncul dari balik pintu. “Udah cukup dramanya. Kita ada pelatihan pagi ini.”
Kenan menoleh, bingung. “Pelatihan?”
Sasmita menyeringai.
“Lo mau diincar iblis yang bisa menghisap nyawa dari bayangan? Lo mau jadi korban atau lo mau berdiri dan bilang ‘lo salah pilih bocah’? Kalau iya... mulai hari ini, lo bukan anak-anak lagi.”
Dia melempar bungkusan kecil ke arah Kenan. Bocah itu menangkapnya, lalu membuka.
Di dalamnya... kalung tulang ayam, jimat sobekan surah, dan peluit dari kayu hitam.
“Mulai sekarang,” kata Sasmita, “Lo murid gue.”
Satu jam kemudian – Belakang Rumah
Tanah sudah dibersihkan. Simbol-simbol bekas darah dihapus. Sebuah lingkaran pelatihan digambar di tanah, dengan lilin-lilin kecil yang menyala biru.
Kenan berdiri di tengah lingkaran, memegang tongkat kayu.
Sasmita menatapnya dari luar lingkaran. “Pertama, latih insting lo. Siapa pun bisa mukul. Tapi nggak semua orang bisa ngerasain bahaya sebelum muncul.”
Tri berdiri di sampingnya, membawa seikat bola kain. “Siap, Kak.”
“Mulai,” perintah Sasmita.
Tri melempar bola satu per satu—cepat, acak, tak terduga.
Kenan mulai menghindar. Awalnya kaku. Lalu lebih cepat. Lalu salah satu bola nyaris mengenai matanya—tapi ia memutar tubuh dan berhasil menangkis.
Matanya menajam. Sesuatu mulai bangkit dalam dirinya. Bukan kekuatan. Tapi... warisan.
Maya dan Aditya menyaksikan dari jauh. Tangis mereka tertahan. Tapi ada kebanggaan kecil dalam pandangan mereka.
Tiba-tiba, salah satu lilin padam sendiri.
Sasmita langsung menoleh. “Berhenti.”
Angin berdesir... tapi tak ada daun yang bergerak.
Tanah di ujung lingkaran mulai retak.
Dari dalam retakan, suara geraman pelan muncul. Seperti... sesuatu sedang bangkit.
Sasmita menghunus kerisnya. Tri langsung menarik Kenan mundur. Ningsih membuka kantong mantranya.
Mbah Sujana menggenggam tongkat tulangnya erat.
“Sudah dimulai,” gumamnya. “Iblis penjaga pintu... sudah mencium darah Kenan.”
Tanah pecah. Asap hitam menyembur keluar. Dari dalamnya... muncul tangan besar dengan kuku sepanjang pisau.
Kenan membeku.
Sasmita bersiap. “Kita belum selesai latihannya. Tapi sepertinya... gurunya harus turun tangan.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments