Bayangan Tak Berwajah

Tangan kecil itu menggenggam pergelangan Sasmita dengan kekuatan yang tak seharusnya dimiliki anak seusia Kenan.

“Aku takut...” bisiknya. “Jangan pergi dulu...”

Sasmita menunduk. Mata bocah itu merah, napasnya masih memburu. Tubuhnya menggigil, meski suhu di dalam rumah cukup hangat. Tangan Sasmita terdiam. Ia tidak menepiskan, tidak juga membalas. Ia hanya mematung... memikirkan seberapa sering dia melihat tatapan seperti itu.

Tatapan seseorang yang baru saja mengintip neraka.

Aditya melangkah mendekat. “Mbak... kalau boleh... kami minta tolong. Mungkin—tinggal di sini dulu malam ini?”

Sasmita menarik napas pelan, lalu mendesah, malas. “Gue nggak suka numpang.”

“Kami nggak nganggep itu numpang,” sambung Maya cepat, matanya basah. “Rumah ini udah... udah bukan rumah kayak tadi.”

Sasmita melirik sekeliling. Lantai masih menghitam bekas darah, meski bentuk simbolnya sudah buyar sejak ia meledakkan makhluk itu. Udara masih menyimpan bau anyir dan busuk samar, meski sudah ia netralisir sebagian. Energi... masih menggantung. Tak utuh, tapi juga belum pergi.

Rumah ini belum selesai.

“Gue cuma butuh dua hal. Satu: kamar dengan jendela ngadep timur. Dua: kopi item.”

Aditya mengangguk, hampir lega. “Ada. Ada semua.”

Sasmita mengangguk, pelan. Baru kali ini ia tak menolak permintaan untuk tinggal. Tapi bukan karena kasihan. Ini lebih buruk dari kasihan. Ini... familiar.

Sambil berjalan menuju kamar tamu, ia merogoh ponsel dari sakunya. Jemarinya mengetik cepat, lalu menempelkan ponsel ke telinga.

“Tri... siapin barang. Bawa kitab. Bawa juga peluru yang kita simpen di kotak hitam itu. Besok pagi lo ke Lembang.”

Suara dari seberang terdengar pelan. “Lembang? Tapi—”

“Bawa juga Ningsih.”

“Dia lagi puasa bicara, Kak.”

Sasmita menyeringai pendek. “Nggak masalah. Gue nggak pengen dia bicara. Gue pengen dia bantu.”

“Bant—”

Sasmita memutus sambungan.

Di seberang kota, dua jiwa yang tak pernah diminta dilahirkan ke dunia seperti ini akan segera terbangun.

03.24 WIB – Bandung Timur

Gubuk kecil itu berdiri di tengah lapangan kosong, dikelilingi sawah dan pohon pisang yang kurus seperti tulang tua. Lampu minyak menggantung di langit-langit rendah, cahayanya berpendar seperti bisikan hantu.

Tri Wahyuni duduk bersila di atas tikar pandan. Di depannya, sebatang dupa menyala, asapnya berputar pelan, membentuk wajah-wajah samar yang segera pecah oleh angin malam.

Dia membuka mata.

“Ada yang manggil,” gumamnya.

Tubuhnya kurus, tapi ada kekuatan yang tidur dalam tiap ruas tulangnya. Bekas luka masih terlihat di pergelangan, bekas ikatan tali, bekas masa lalu yang tak pernah diminta.

Dia bangkit, membuka peti hitam di bawah ranjang. Di dalamnya: rosario, peluru perak, garam hitam, foto Sasmita, dan sebuah sarung senjata.

Tangannya gemetar sebentar saat menyentuh sarung itu, tapi segera ia genggam.

Dari pojok ruangan, suara tangisan lirih terdengar.

Dia menoleh. Tak ada siapa-siapa.

Hanya cermin.

Tapi di balik pantulan... sosok berwarna hijau berdiri, matanya melotot, giginya hitam berlubang, dan tangan gemuknya meneteskan darah.

Tri memandang balik.

“Aku bukan gadis kecil itu lagi,” bisiknya. “Coba sentuh aku sekarang, anjing.”

Sosok itu menghilang.

Dia mengambil tas hitam dan keluar. Di luar, bulan menggantung pucat. Malam terasa menggigil.

03.41 WIB – Gunung Puntang

Satu kilometer dari jalan umum, gubuk bambu berdiri di antara pohon damar. Di dalamnya, seorang gadis duduk di tengah lingkaran tanah yang dipenuhi tengkorak hewan kecil, reranting, dan debu merah. Tubuhnya berbalut kain lusuh, rambutnya panjang menjuntai hingga lantai.

Dia tidak bergerak. Tidak bernapas. Tidak berkedip.

Hanya diam.

Nyaris seperti mayat.

Sampai suara dari dalam tanah bergumam. “Kau pikir bisa lari dari darahmu, Ningsih?”

Gadis itu membuka mata.

Matanya hitam pekat, tanpa putih sama sekali.

“Aku nggak lari. Aku cuma... belajar diem.”

Bayangan muncul dari dalam lingkaran—perempuan tua dengan rambut menjuntai seperti anyaman tali, lidah menjulur hingga perut, dan tubuh setengah transparan, setengah terbakar.

“Tubuhmu warisan milikku,” bisik makhluk itu. “Kau diciptakan untukku...”

Ningsih berdiri perlahan. Mengambil segenggam tanah dari lantai. “Tapi sekarang tubuh ini milik Kak Sasmita. Dan lo nggak punya kuasa apa-apa.”

Dia menaburkan tanah itu ke dalam lingkaran.

Makhluk itu menjerit.

Lingkaran menyala merah, dan api muncul membentuk mantra kuno.

Ningsih melangkah keluar. Sambil membawa kantong kain dan selembar surat dari Sasmita yang entah kapan diletakkan di depan pintunya.

“Lembang,” katanya pelan.

Dan malam itu, dua murid neraka berjalan menuju pusat badai yang menanti mereka.

Kembali ke Rumah Aditya – 06.08 WIB

Sasmita duduk di balkon belakang, matanya menatap langit timur. Kopi hitam mengepul di tangan kirinya. Keris Pusaka Larang disandarkan ke lututnya.

Udara pagi belum benar-benar segar. Masih ada sisa bau gaib yang menyelip di sela-sela angin. Sasmita bisa menciumnya. Bukan hanya sisa dari semalam... tapi juga sesuatu yang lebih tua. Lebih dalam.

Tanah ini pernah digunakan untuk ritual. Bukan sembarangan. Darah pernah ditumpahkan, bukan dari kambing, bukan dari ayam. Tapi dari manusia.

Dan aroma itu... masih ada.

Aditya mendekat, membawa dua gelas teh manis. “Mbak nggak tidur?”

Sasmita menggeleng. “Tidur itu buat yang nggak punya utang karma.”

Aditya diam. Tidak tahu harus membalas apa.

Dari dalam, Maya mengantar Kenan keluar kamar. Bocah itu memeluk boneka kecil, matanya masih berat.

Saat melihat Sasmita, dia langsung menghampiri. Perlahan. Lalu duduk di lantai dekat kaki Sasmita, seolah dia... aman di sana.

Sasmita mengangkat alis. “Lo ngapain?”

“Aku mau denger cerita hantu dari Tante,” jawab Kenan polos.

Sasmita menyeringai. “Lo nggak cukup trauma semalam?”

“Justru karena itu... aku nggak mau takut lagi.”

Sasmita mengangguk pelan. Dalam hati... dia salut. Anak ini bisa patah, atau tumbuh jadi pemburu masa depan.

Tapi sebelum ia sempat membalas, matanya menajam.

Ada sesuatu... bergerak di taman belakang.

Bukan hewan. Bukan manusia biasa.

Getarannya halus, tapi aneh. Seolah bumi tak suka kehadirannya.

Dia berdiri. “Kenan, masuk. Sekarang.”

Kenan menurut. Maya segera membawanya kembali masuk.

Aditya mengencangkan cengkeramannya pada mug teh. “Apa lagi?”

Sasmita meraih kerisnya. “Bukan ‘apa’. Tapi ‘siapa’.”

Dari balik pagar taman, seorang pria muncul. Tua, tapi matanya merah seperti arang yang baru dipadamkan. Dia mengenakan jubah hitam dan membawa tongkat dari tulang manusia.

Sasmita mengangkat senapan.

Tapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, suara lain datang dari gerbang depan.

“Nembak orang tua... dosa, Kak.”

Tri Wahyuni masuk, menenteng ransel hitam. Di belakangnya, Ningsih berjalan dengan langkah pelan, matanya hitam total. Seolah dia membawa kabut bersamanya.

Sasmita menoleh. Senyumnya muncul.

“Murid-murid gue udah dateng.”

Dia menatap pria tua itu.

“Sekarang, mari kita mulai pelajaran pagi.”

Bersambung...

Episodes
1 Bunyi Dari Lantai Atas
2 Sialan, Rumahnya Banyak Setan
3 Bayangan Tak Berwajah
4 Garis Berdarah
5 Darah Yang Di Buru
6 Garis Keturunan yang terlupakan
7 Terror Pocong Sungsang
8 Panti, Anak Anak, dan PeringatanTerakhir
9 Keputusan Rengganis Larang
10 Melindungi Sesama
11 Abu dan pendeta yang tertinggal
12 Jalan Menuju Segel Terakhir
13 Pengorbanan
14 Desa Yang Berbisik
15 Penjaga Altar Turun
16 Hutan Penyegelan
17 Penjaga Altar
18 Segel Yang Terbuka
19 Kujang Kembar Larang
20 Elang Sembara
21 Segel Darah
22 Perpisahan
23 Rencana Murid Untuk Guru nya
24 Bubur Ayam
25 Taman yang tenang
26 Malam Jadi Manusia Normal
27 Nama yang di hapus dari Tanah
28 Aroma Busuk Dari Nyalindung
29 Yang Tidak Tersentuh Kurap
30 Bau Busuk Dari Sawah Mati
31 Nama Yang Membakar
32 Darah Yang Tak Berani Mengalir
33 Penyelamatan dadakan
34 Pewaris Yang Mundur
35 Hutan, Ikan dan Hati yang masih bertanya
36 Bisikan dari perut bumi
37 Kosekuensi kejutan dari perut tanah
38 Kedatangan Bayangan
39 Ajakan yang menyeblkan
40 Kebingungan Darah Dan Harapan
41 Kebangkitan Dari Rawa
42 Dendam Lama Dari Rawa
43 Pengorbanan Untuk sebuah Takdir
44 Api Dendam yang menyala
45 Titik Lemah Dan Kebusukan
46 Cekikan Kegilaan
47 Akhir Dari Kutukan
48 Cahaya Di Balik Kegelapan
49 Seorang Pahlawan Sejati
50 Kembali Ke Sangkar
51 Kegelisahan Kencan Pertama
52 Dilema Senjata Baru
53 Kisah Penburu Siluman, Dan Dompet Kosong
54 Misi Baru Di Bogor
55 Kakak Merah dan Tawaran Seratus Juta
56 Kebenaran Dan Keyakinan
57 Bayangan Wibawa Nusantara
58 Kembalinya Si Bilah Pamusnah
59 Asrama Yang Terkutuk
60 Uang VS Kencan dan Terror Pertama
61 Jeritan dan Labirin Tak Berujung
62 Dari Kegelapan Sang Penyelamat
63 Pertarungan Tanpa Asa
64 Tebasan Kebebasan
65 Jejak Luka Di Balik Senyuman Merah
66 Bayangan Masa Lalu dan Tekad Pemburu
67 Pemanggilan Si Luru
68 Jalan Menembus Dimensi Kesakitan
69 Api Iman dan Akhir Sang Dendam
70 Jejak Kedamaian dan di balik kekelaman
71 Taman Ketenangan Baru
72 Ketenangan Sebuah Awal
73 Rezeki Nomplok Dan Dilema Kencan
74 Gengsi seorang Rengganis
75 Transformasi Sasmita
76 Kencan Pertama Di Kota Kembang
77 Bayangan Wibawa Nusantara
78 Serangan Mendadak Dan Ular Api
79 Pertolongan Siluman
80 Markas Baru dan Sekutu Lama
Episodes

Updated 80 Episodes

1
Bunyi Dari Lantai Atas
2
Sialan, Rumahnya Banyak Setan
3
Bayangan Tak Berwajah
4
Garis Berdarah
5
Darah Yang Di Buru
6
Garis Keturunan yang terlupakan
7
Terror Pocong Sungsang
8
Panti, Anak Anak, dan PeringatanTerakhir
9
Keputusan Rengganis Larang
10
Melindungi Sesama
11
Abu dan pendeta yang tertinggal
12
Jalan Menuju Segel Terakhir
13
Pengorbanan
14
Desa Yang Berbisik
15
Penjaga Altar Turun
16
Hutan Penyegelan
17
Penjaga Altar
18
Segel Yang Terbuka
19
Kujang Kembar Larang
20
Elang Sembara
21
Segel Darah
22
Perpisahan
23
Rencana Murid Untuk Guru nya
24
Bubur Ayam
25
Taman yang tenang
26
Malam Jadi Manusia Normal
27
Nama yang di hapus dari Tanah
28
Aroma Busuk Dari Nyalindung
29
Yang Tidak Tersentuh Kurap
30
Bau Busuk Dari Sawah Mati
31
Nama Yang Membakar
32
Darah Yang Tak Berani Mengalir
33
Penyelamatan dadakan
34
Pewaris Yang Mundur
35
Hutan, Ikan dan Hati yang masih bertanya
36
Bisikan dari perut bumi
37
Kosekuensi kejutan dari perut tanah
38
Kedatangan Bayangan
39
Ajakan yang menyeblkan
40
Kebingungan Darah Dan Harapan
41
Kebangkitan Dari Rawa
42
Dendam Lama Dari Rawa
43
Pengorbanan Untuk sebuah Takdir
44
Api Dendam yang menyala
45
Titik Lemah Dan Kebusukan
46
Cekikan Kegilaan
47
Akhir Dari Kutukan
48
Cahaya Di Balik Kegelapan
49
Seorang Pahlawan Sejati
50
Kembali Ke Sangkar
51
Kegelisahan Kencan Pertama
52
Dilema Senjata Baru
53
Kisah Penburu Siluman, Dan Dompet Kosong
54
Misi Baru Di Bogor
55
Kakak Merah dan Tawaran Seratus Juta
56
Kebenaran Dan Keyakinan
57
Bayangan Wibawa Nusantara
58
Kembalinya Si Bilah Pamusnah
59
Asrama Yang Terkutuk
60
Uang VS Kencan dan Terror Pertama
61
Jeritan dan Labirin Tak Berujung
62
Dari Kegelapan Sang Penyelamat
63
Pertarungan Tanpa Asa
64
Tebasan Kebebasan
65
Jejak Luka Di Balik Senyuman Merah
66
Bayangan Masa Lalu dan Tekad Pemburu
67
Pemanggilan Si Luru
68
Jalan Menembus Dimensi Kesakitan
69
Api Iman dan Akhir Sang Dendam
70
Jejak Kedamaian dan di balik kekelaman
71
Taman Ketenangan Baru
72
Ketenangan Sebuah Awal
73
Rezeki Nomplok Dan Dilema Kencan
74
Gengsi seorang Rengganis
75
Transformasi Sasmita
76
Kencan Pertama Di Kota Kembang
77
Bayangan Wibawa Nusantara
78
Serangan Mendadak Dan Ular Api
79
Pertolongan Siluman
80
Markas Baru dan Sekutu Lama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!