"Ini tehnya," ujar Aruna sambil menyodorkan cangkir ke Raka.
"Terima kasih, Bu," ucap Raka, menerima cangkir itu dengan dua tangan.
Setelah duduk sejenak, Aruna pun menawarkan, "Kalau mau sarapan dulu, ada roti dan telur rebus, masih hangat."
Namun Raka menggeleng pelan. "Terima kasih banyak, Bu, tapi saya pikir lebih baik kita langsung ke kebun. Cuacanya sangat bagus pagi ini. Matahari belum terlalu tinggi, jadi kalau ada serangan serangga atau gejala penyakit tanaman, bisa langsung terlihat sebelum tertutup panas."
Aruna mengangguk, tersenyum memahami alasan yang masuk akal. Dalam hati, ia kembali dibuat kagum oleh ketekunan dan perhatian Raka terhadap pekerjaannya. Ada semacam kesegaran dalam semangat itu yang tanpa sadar menyirami sisi-sisi batin Aruna yang telah lama kering.
Mereka bersiap untuk berangkat ke kebun setelah percakapan singkat di beranda. Aruna sempat melirik ke arah garasi, lalu menawarkan, "Mau pakai mobil saya saja? Ada jeep lama di garasi. Lebih cocok untuk ke area kebun, jalurnya agak becek kalau semalam hujan."
Namun Raka segera menggeleng sambil tersenyum. "Terima kasih, Bu, tapi mobil saya sudah terparkir di halaman. Nanti malah repot harus keluarkan mobil dari garasi. Lagi pula, mobil saya cukup tinggi, semoga saja bisa menyesuaikan medannya."
Aruna agak ragu. Ia menatap mobil Raka yang bersih mengilap di bawah sinar pagi. "Tapi... nanti jadi kotor. Kebunnya agak berlumpur kalau habis hujan. Mobil saya sudah biasa dipakai ke sana."
"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah siap. Lagipula mobil saya memang sering saya bawa ke lokasi survei," ujar Raka dengan nada meyakinkan.
Akhirnya Aruna mengangguk, meski dalam hati merasa sedikit tak enak. Mereka berjalan menuju mobil Raka, mobil jeep hitam yang tampak gagah dan elegan. Ketika Aruna duduk di kursi penumpang, ia langsung mencium aroma lembut dari pengharum mobil yang tidak menyengat, seperti perpaduan kayu manis dan citrus.
Interiornya rapi luar biasa. Tidak ada satu pun barang berserakan. Dashboard bersih, jok mobil terawat seperti baru, dan botol air mineral tertata rapi di konsol tengah. Aruna diam-diam menoleh ke Raka yang tengah menyesuaikan sabuk pengamannya. Ada perasaan kagum yang menyeruak tanpa bisa ia cegah.
Dalam hati, ia membandingkan dengan mobil suaminya, Bagas. Mobil yang sering dipenuhi alat-alat kamera, botol kosong, dan bau lembap karena sering dipakai ke lokasi-lokasi ekstrem. Bagas tidak peduli dengan detail seperti ini. Bagi Bagas, mobil hanyalah alat untuk berpindah. Sedangkan Raka... pria ini seolah merawat mobilnya seperti memperlakukan sesuatu yang ia sayangi.
Perjalanan dimulai. Mobil melaju mulus di jalanan yang perlahan menanjak menuju perbukitan. Aruna bersandar, menikmati keheningan di antara mereka, sesekali mencuri pandang ke arah Raka. Ada sesuatu yang hangat dan terjaga dalam cara pria itu membawa dirinya dan mobilnya.
Dan di tengah guncangan lembut kendaraan yang melintasi jalan tanah yang mulai basah, Aruna membiarkan dirinya larut dalam perasaan ringan yang belum pernah ia rasakan sejak lama. Sebuah ketertarikan yang perlahan tumbuh, diam-diam, tapi pasti.
Saat roda mobil mulai menggerus tanah yang lebih sempit dan rimbun, Aruna melirik ke luar jendela, lalu berkata ringan, "Kita sudah mau sampai. Kita lewat jalur utara saja supaya dekat ke sektor C."
Raka mengangguk, memperlambat laju mobilnya dan mengarahkan kemudi sesuai petunjuk Aruna. Jalanan mulai menyempit, tetapi panorama yang tersaji justru makin menakjubkan. Bukit-bukit kecil mengelilingi mereka, sementara sinar matahari pagi menembus celah dedaunan yang masih basah oleh embun. Aroma tanah lembap menyeruak, memberi kesan segar dan alami yang begitu khas dari daerah perbukitan.
Raka memarkirkan mobilnya di tepian jalan tanah yang mulai mengering. Tanpa banyak bicara, ia turun, membuka pintu belakang, dan dengan tenang mengambil beberapa peralatan yang tersimpan rapi tas berisi alat ukur tanah, buku catatan, dan botol air. Ia menyampirkan ranselnya ke bahu, lalu mengenakan topi koboi berwarna cokelat tua yang langsung menambah pesona maskulinnya. Sebuah kacamata hitam ia kenakan dengan gerakan sederhana, namun bagi Aruna, semuanya tampak seperti adegan dari film lama yang mendebarkan.
Aruna hanya berdiri di sisi mobil, pura-pura sibuk menepuk-nepuk celananya dari debu, padahal jantungnya berdebar tak keruan. Pandangannya mencuri waktu, memperhatikan bagaimana gerakan Raka begitu terukur dan tenang, nyaris meditatif. Ia bahkan tidak sanggup menatap lama-lama terlalu mudah jatuh pada bayangannya sendiri.
Raka melirik ke arah Aruna. “Ibu nggak pakai pelindung kepala?” tanyanya, nada suaranya ringan tapi ada kepedulian di baliknya.
Aruna tersenyum canggung. “Kupikir masih pagi, belum terlalu panas.”
“Jam sepuluh ke atas matahari mulai menyengat, Bu. Kulit bisa terbakar kalau kelamaan.”
Tanpa menunggu balasan, Raka melepas ranselnya, kembali ke mobil, dan mengambil sebuah topi biasa berwarna krem yang ia kenakan di awal perjalanan. Ia kembali menghampiri Aruna dan, tanpa banyak basa-basi, menyerahkan topi koboynya kepada Aruna.
“Pakai ini saja, Bu. Lebih teduh.”
Aruna menerima topi itu dengan ragu dan terpesona sekaligus. Ia bisa mencium samar aroma tubuh Raka yang tertinggal di kain topi itu maskulin, bersih, dan menenangkan. Ada sesuatu yang hangat menggelitik di dada Aruna. Perhatian kecil itu sangat sederhana, sangat tulus telah menjadi semacam oase dalam gurun emosinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
ovi eliani
thor klo boleh tolong tampilkan sosok suaminya komflik2 dr suaminya biar semangkin menarik jalan cerita
2025-05-21
2