Setelah mengantar Aruna kembali ke rumahnya, Raka mematikan mesin jeep dan membuka pintu. Ia berdiri sejenak di samping mobil, memandang Aruna yang baru saja turun.
"Kalau begitu, saya pamit dulu, Bu Aruna. Besok pagi saya akan kembali ke kebun, mungkin sekitar jam delapan. Saya ingin mulai lebih awal untuk memeriksa kondisi sektor C secara langsung."
Aruna mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Raka. Terima kasih untuk hari ini."
"Sama-sama, Bu. Sampai besok," ucap Raka, lalu melangkah kembali ke mobilnya dan pergi meninggalkan halaman rumah Aruna, sementara sang pemilik rumah berdiri di serambi, menyaksikan kepergiannya dengan pandangan yang menggantung di udara senja.
Setelah Raka hilang dari pandangan, Aruna masuk ke dalam rumah dengan langkah pelan. Di balik ketenangan wajahnya, hatinya masih menyimpan jejak hangat dari pertemuan singkat itu. Ia tersenyum-senyum sendiri, mengingat cara Raka menatapnya saat berbicara, nada suaranya yang tenang, dan antusiasme yang terpancar jelas saat membahas tanaman.
Ia menuju kamar, duduk di depan meja rias, lalu meraih sisir dan mulai menyisir rambutnya yang sebenarnya tidak kusut. Setiap gerakan tangannya terasa pelan, seolah ia sedang menenangkan detak jantungnya yang entah kenapa belum kembali normal.
Bayangan Raka melintas di kepalanya badan tinggi, bahu lebar, dan cara duduknya yang tegap namun tetap santai. Aruna menunduk, tersipu malu pada dirinya sendiri. "Sepertinya menyenangkan dipeluk tubuh seperti itu," gumamnya pelan, sebelum buru-buru menepis pikirannya sendiri.
Namun khayalan itu tetap tinggal, liar dan tak bisa ditekan. Ia tahu itu hanya fantasi... tapi untuk hati yang terlalu lama kesepian, fantasi bisa terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Keesokan paginya, Aruna tersentak bangun saat sinar matahari menerobos dari celah tirai kamarnya. Ia melirik jam di atas nakas—pukul 7.30.
"Astaga!" serunya nyaris panik, segera bangkit dari tempat tidur. Hanya setengah jam lagi sebelum Raka datang, seperti yang telah dijanjikannya kemarin. Jantungnya berdetak cepat, bukan hanya karena takut terlambat, tapi karena ada kegelisahan manis yang menyusup di sela kesibukannya pagi itu.
Ia bergegas ke kamar mandi, membasuh tubuhnya dengan air hangat yang sedikit membantu meredakan gugupnya. Di balik uap tipis yang mengembun di cermin, ia menatap wajahnya sendiri. Garis-garis halus memang mulai tampak, tapi kulitnya masih terawat, dan sorot matanya masih menyala dengan kepercayaan diri yang ia pupuk bertahun-tahun.
Selesai mandi, ia berdiri di depan lemari pakaian. Tangannya menggeser hanger satu per satu, memilih dengan cermat. Ingin tampil wajar, namun tetap memesona. Akhirnya, ia memilih blus katun putih dengan kerah terbuka dan celana kain krem yang membingkai lekuk tubuhnya dengan elegan. Ringan dan sederhana, namun tidak sembarangan.
Ia menyisir rambutnya dengan cermat, mengikatnya setengah ke belakang, membiarkan sebagian terurai di bahu. Riasan ia poleskan tipis sedikit bedak, lipstik bernuansa mawar, dan maskara untuk menegaskan mata yang memang sudah indah dari sananya. Minimalis, tapi cukup untuk membuat siapa pun menoleh dua kali.
Aruna menatap dirinya sendiri di cermin, menarik napas panjang. Di usia yang kepala empat, ia tahu ia bukan lagi gadis muda. Tapi pesonanya tidak pernah benar-benar pudar ia hanya menua seperti anggur, penuh karakter dan kehangatan yang dalam. Seketika, ia merasa percaya diri. Bukan hanya untuk Raka. Tapi untuk dirinya sendiri.
Dan saat suara mesin mobil terdengar mendekat dari arah depan rumah, Aruna melangkah turun dari kamar dengan langkah ringan namun bergetar dalam dada. Ia tahu, hari ini akan menjadi hari yang panjang... dan mungkin berbahaya bagi hatinya.
Ia melongok ke arah jendela di ruang tamu, dan mendapati mobil Jeep Raka telah berhenti rapi di depan gerbang. "On time sekali," gumamnya dalam hati, sedikit tersenyum, merasa takjub akan kedisiplinan pria muda itu.
Tanpa membuang waktu, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di ruang tengah, lalu menekan nomor cepat yang tersimpan atas nama Pak Yusron penjaga kebun dan rumah mereka yang sudah seperti keluarga sendiri.
"Halo, Bu Aruna?" suara Pak Yusron terdengar di ujung sana, serak dan bersahaja seperti biasa.
"Pagi, Pak Yusron. Itu tamu saya, Mas Raka, sudah sampai. Tolong bukakan pintu halaman depan, ya. Minta dia tunggu sebentar, saya akan segera turun," ucap Aruna dengan suara tenang namun jelas, menyembunyikan rasa gugup yang berdebar di balik nada lembutnya.
"Baik, Bu. Saya segera ke depan," jawab Pak Yusron sigap.
Aruna mematikan sambungan lalu menarik napas dalam-dalam. Ia menyempatkan diri melirik sekali lagi ke pantulan dirinya di kaca. Senyumnya mengembang tak terlalu lebar, tapi cukup untuk menyiratkan kehangatan yang tak bisa dipalsukan. Lalu ia melangkah keluar dari ruang dalam, menuju pagi yang telah membawa seseorang yang perlahan mengisi ruang hampa di hatinya.
Raka baru saja duduk di kursi rotan di beranda ketika Aruna melangkah keluar dari dalam rumah. Dengan senyum lembut dan langkah anggun, ia menghampiri pria muda itu yang tampak sibuk memeriksa ponselnya. Meski terkesan santai, ada ketelitian dalam gerak tubuh Raka cara ia duduk tegak, cara ibu jarinya men-scroll layar dengan kecepatan konstan, bahkan cara ia sesekali melirik ke arah kebun kecil yang menghijau di sisi rumah.
"Pagi, Mas Raka. Maaf menunggu," sapa Aruna seraya mendekat. Raka segera meletakkan ponsel dan berdiri sedikit, memberi hormat kecil dengan anggukan sopan.
"Tidak masalah, Bu Aruna. Saya juga baru saja duduk," balasnya dengan nada ramah.
Aruna tersenyum, lalu menunjuk ke meja kecil di sebelah kursi. "Mau saya buatkan minuman dulu? Kopi? Teh? Atau jus segar?"
Raka tampak berpikir sejenak. "Kalau boleh, saya mau teh hangat saja, Bu. Yang ringan."
"Tentu." Aruna berbalik dengan sigap, melangkah masuk ke dalam rumah, menuju mini bar yang menyatu dengan dapur terbuka mereka. Tangannya bergerak lincah menyiapkan teh, sementara sesekali matanya melirik ke arah Raka yang kini kembali duduk dan menatap sekeliling, terlihat seperti seseorang yang diam-diam menyerap semua keindahan dan ketenangan tempat itu.
Ada sesuatu yang menyenangkan dalam kesederhanaan Raka. Ia tidak banyak bicara, tidak menunjukkan sikap berlebihan, namun kehadirannya mengisi ruang dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. Aruna memperhatikan bagaimana bahu Raka yang bidang tampak nyaman bersandar di kursi, bagaimana kakinya yang jenjang terjulur santai, dan betapa damainya raut wajah pria itu di bawah naungan sinar pagi yang menembus sela-sela daun di beranda.
Ia menuangkan teh ke dalam cangkir porselen putih, lalu menghiasinya dengan seiris jeruk nipis di bibir cangkir. Sentuhan kecil yang ia lakukan tanpa sadar, namun menunjukkan betapa ia ingin segala sesuatu tampak sempurna pagi ini. Mungkin terlalu sempurna.
Saat ia kembali keluar membawa nampan kecil berisi teh dan beberapa potong biskuit, ia merasakan dadanya berdebar ringan. Bukan karena takut, melainkan karena ada rasa yang mulai tumbuh dari rasa penasaran menjadi sesuatu yang lebih dalam, semacam kerinduan yang tak ia sadari sedang mencari tempat bertaut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
ovi eliani
jalan ceritanya mulai terlihat semangkin asik untuk di baca, doble up thor ceritanya
2025-05-20
2