Siapa itu?

Naifa terkejut melihat Bian yang menggelengkan kepalanya, entah apa yang di pikirkan oleh pria yang kini jadi suaminya.

"Pantas aja kak Sofia kabur, pasti dia mikirnya Kak Bian masih gendut plontos kaya dulu."

Bian hanya tertawa mendengar perkataan Naifa, sambil memutar musik di handphone nya, pria itu mencoba menjahili istrinya.

"Berarti kakak kamu cuma mandang fisik, ga tulus, dan ga rela berkorban. Gak kaya kamu," ucapnya sambil memegang dagu istrinya.

"Apasih, jangan sentuh deh Kak. Aku juga nikah sama Kak Bian karena mikirin keluarga."

"Nah, itu yang gak bisa Sofia lakukan. Tapi gak apa-apa deh nikahnya sama kamu, kalau Sofia kan orangnya galak banget," ucap Bian sambil kembali merebahkan tubuhnya di kasur, berharap rasa ngantuknya kembali.

"Aku juga bisa galak kok," bisik Naifa sambil keluar dari kamarnya.

"Nai, suami kamu mana?" Tanya ibunya yang sedang merapikan rumah dari sisa dekorasi pesta.

"Lagi bobo tuh. Umi, Naifa mau minta uang. Mau jajan es krim," ucap Naifa sambil menadahkan tangannya.

"Nanti aja keluar rumahnya, sekarang masih sore. Tetangga masih berkeliaran buat cari bahan gosip baru."

"Ah, iya juga sih," ucap Naifa dengan raut wajah yang kecewa.

"Naifa, kemari nak." Seorang pria paruh baya memanggil Naifa, wajahnya yang mirip dengan seseorang membuatnya dengan mudah menebak jika dia Pak Sidiq, ayah dari suaminya.

Gadis itu menghampiri nya dan duduk di sofa tamu ruang keluarganya.

"Entah berapa kali saya harus berterima kasih pada kamu Naifa. Di umurmu yang masih muda, kamu harus mengambil keputusan sebesar ini untuk reputasi kedua keluarga. Mungkin ini tidak banyak, tapi setidaknya saya harus memberikan reward atas keberanian kamu."

Pak Sidiq memberikan sebuah kartu kredit pada gadis itu dan menyuruhnya untuk bebas menggunakannya.

"Jangan bilang pada suamimu, atau ibu mertuamu. Sst... " bisik Pak Sidiq pada menantunya.

"Terima kasih om."

"No, jangan panggil om. Panggil saya papa, jangan panggil om, paman atau lainnya yah."

"Akrab banget sama menantu pa," Tiba-tiba seorang wanita paruh baya datang menghampiri Pak Sidiq.

"Ya namanya juga sama menantu, harus di anggap anak sendiri," ucap Pak Sidiq sambil merangkul wanita itu.

"Oh, jadi ini mamanya Kak Bian. Nyentrik banget," gumam Naifa dalam hati setelah melihat gaya wanita itu.

"Naifa, saya mama sambungnya Bian. Jangan lupa, kamu harus panggil saya mommy," ucap wanita itu dengan bibirnya yang merah membara.

"Iya mommy."

"Sayang, ayo kita pulang. Keluarga yang lain sudah pergi, masa kita disini terus. Lagipula Bian kayanya betah disini, dia aja langsung tidur di kamar istrinya."

"Oke sayang, apapun keinginanmu. Naifa, papa tinggal dulu. Papa juga titip Bian, soalnya dia anak nakal." Canda Sidiq pada menantunya. Naifa hanya menganggukan kepalanya dan melihat orang tua Bian pergi berlalu dari hadapannya. Melihat abi dan papa mertuanya tertawa lepas, Naifa merasa keputusan yang di ambilnya cukup benar.

Rumah Pak Wahid pun kembali sepi, tinggal tersisa pemilik rumah ditambah dengan pria yang baru saja menikahi putrinya. Bian yang baru bangun menyadari jika dirinya cukup lama tertidur.

Melihat kamar yang dia tempati, rasanya seperti mimpi. Apalagi istrinya, yang masih duduk di kelas XII, membuat pernikahan ini seolah game yang akan di mainkannya tanpa ada game over. Strategi apa yang harus dibuatnya ketika menghadapi sang istri, apalagi saat membaca persyaratan pernikahan. Jika waktu di ulang, dia lebih memilih untuk menjomblo saja.

"Ngapain nikah coba kalau hal pentingnya gak bisa di lakuin sekarang." pikirnya setelah mengingat Naifa yang sedang mengganti pakaiannya tadi.

"Kak Bian, makan malam dulu yuk." Teriak Naifa membangunkan suaminya, tak lupa sambil mengetuk keras pintu kamarnya.

Bian yang masih terhuyung keluar dari kamarnya, dia melihat istrinya di depan pintu sambil melipat tangan di dada.

"Istri nungguin aku disini? Uuh perhatiannya," ucap pria itu sambil mengusap kepala Naifa.

"Apa sih Kak Bian, jangan sentuh kepala aku. Nanti kerudungnya acak-acakan. Ayuk makan dulu."

Naifa berjalan menuju ruang makan, disusul Bian yang mengikutinya seperti anak itik.

Suasana di meja makan begitu dingin, rasa sedih muncul saat Pak Wahid mengingat putri sulungnya, Sofia.

"Nak Bian, saya meminta maaf sebesar-besarnya. Mungkin pernikahan ini tak sesuai ekspektasi Nak Bian."

"Jujur saja Pak, saya lebih suka seperti ini. Sebenarnya kalau bisa sih saya lebih seneng nikah di KUA aja. Tapi karena yang nikah bukan saya aja, jadi saya menyerahkan semua pada Pak Wahid." Ucap Bian yang tak lepas dari senyum manisnya.

Pak Wahid terlihat lega mendengar ucapan dari menantunya, dia tak menyangka jika Bian tak seperti Sidiq yang suka pesta dan keramaian.

***

"Apa harus malam ini juga?" Tanya Midah pada Bian yang akan pulang ke rumahnya membawa Naifa.

"Sebenarnya saya juga mau menginap disini, tapi saya lupa bawa baju salin." Ucap Bian sedikit berbohong.

"Oh, baju salin? Kalau itu sih kita sudah siapkan. Soalnya sudah jadi tradisi juga. Nah Naifa, kamu simpan dimana baju salin buat suami kamu?"

Bian tampak kecewa karena rencananya gagal, dia sebenarnya tak nyaman harus tidur di rumah orang lain.

"Nih, Kak Bian." Naifa pun menyerahkan satu set pakaian dan juga isinya.

"Makasih yah istri."

Naifa merinding mendengar gombalan Bian, bisa-bisanya om om itu menggombali anak kecil sepertinya.

"Sebenarnya kami menahan Nak Bian disini supaya para tetangga gak curiga. Kalau Naifa tidak di ajak kita juga gak melarang Nak Bian pulang, tapi Naifa sudah jadi istri Nak Bian. Saya juga tidak sepantasnya melarang Nak Bian seperti ini."

Bian mengerti situasinya, jika dia pulang dan membawa Naifa. Tetangga lebih curiga karena kedua anak mertuanya menghilang.

"Saya mengerti Pak, apalagi besok Naifa harus Ujian. Dia pasti gak akan konsentrasi belajar kalau tiba-tiba ada di tempat yang baru."

Pak Wahid begitu senang, ekspektasinya tak meleset tentang Bian. Dia tahu jika menantunya akan menjadi suami yang bertanggung jawab.

Besoknya, Naifa yang terbangun di kamar Sofia segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Ingin konsentrasi belajar, alasannya tidur terpisah dengan Bian.

"Umi, nanti ke sekolah di antar siapa. Abi kok sudah ga kelihatan?" Tanya Naifa yang tak melihat ayahnya di manapun.

"Abi ngurusin kebun, kan hari ini panen sayur. Kamu di anter sama suamimu lah."

"Kok gitu sih umi, tapi kan Kak Bian juga pastinya kerja." Ucap Naifa sambil menyantap nasi goreng buatan ibunya.

"Saya cuti kok, jadi bisa anter kamu."

Bian keluar dari kamarnya setelah berpakaian rapi, rambutnya yang basah dan acak-acakan membuatnya terlihat seperti anak muda.

"Tapi berangkatnya pakai apa, kan motornya di pakai abi."

"Mobil saya kan ada disini, jadi istri gak perlu khawatir lagi." Ucap Bian sambil menyantap nasi goreng masakan mertuanya.

Naifa menunjukkan wajah kesalnya, entah kenapa dia tak mau jika Bian yang mengantarnya ke sekolah. Dia takut jika temannya akan bertanya tentang siapa Bian.

Bian sudah siap di kursi pengemudi, menunggu sang istri yang tengah memakai sepatunya.

"Eh Naifa berangkat nya di anter kakak ipar yang ganteng, duhh aku kalau jadi Naifa bisa-bisa jatuh cinta sama kakak iparnya." Ucap Bu Lilik, tetangga sebelah yang suka kepo.

Naifa tak merespon, malas jika harus memperpanjang obrolan dengan tetangga. Atau bisa jadi dia malah keceplosan kalau Bian adalah suaminya.

"Kakaknya kemana Nai, kayanya cape habis tempur semalam." Datang lagi tetangga lain, yang suka ngobrolin urusan ranjang, Bu Nani.

"Aduh kebayang ga sih bu, si Sofia itu sambil lihatin suaminya yang ganteng terus di.. ah... pokoknya kaya dapat doorprize," Bu Nani terus saja membicarakan hal yang tak ingin di dengar oleh Naifa. Dia langsung masuk ke pintu belakang mobil suaminya.

"Kenapa di belakang? Saya kan bukan taksi online." Gerutu Bian yang kesal dengan tingkah istrinya.

"Udah kak Bian jalan aja, aku udah telat nih."

Bian dengan terpaksa menuruti istrinya itu, dia membawa mobilnya meninggalkan para tetangga yang kepo kepadanya.

Sampai di sekolahnya, Bian menghentikan mobilnya depan gerbang sekolah. Naifa langsung turun dan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Ekhem Naifa," teriak Bian pada istrinya. Naifa yang cemberut menghampiri kembali suaminya.

"Ada apa lagi sih Kak Bian, aku udah telat."

"Cium tangan dulu dong, masa mau durhaka sama suami."

Walaupun wajahnya menolak, namun Naifa tetap menuruti suaminya. Dari kejauhan terlihat teman-temannya yang heboh melihat Naifa turun dari sebuah mobil.

"Nai, siapa itu? Wih ganteng kali kaya koko chindo. Mau dong di kenalin," ucap Hani, teman sebangku Naifa.

"Dia kakak sepupu aku, udah yuk masuk kelas. Nanti telat lagi."

"Kan, pasti pada kepo. Pokoknya besok harus dianter sama abi." gumam Naifa dalam hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!