Sumpah Akan Kehancuran

Kesedihan mendalam menyelimuti rumah Subeni dan Haryati setelah mendengar kabar lahan perkebunan mereka terbakar. Bagi Subeni, ladang itu bukan hanya sekadar sumber penghasilan, tetapi juga bagian dari hidupnya, tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Haryati dan Naura turut merasakan kepedihan yang sama. Mereka tidak menyangka ada orang yang setega itu menghancurkan mata pencaharian keluarga mereka.

Beberapa hari kemudian, ketenangan di rumah Subeni kembali terusik. Tiba-tiba, beberapa pria berbadan tegap dan berwajah garang mendatangi rumah mereka. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mereka langsung masuk dan mulai menghancurkan barang-barang yang ada di dalam rumah.

Suara pecahan kaca, kayu yang dipatahkan, dan barang-barang yang dilempar terdengar memekakkan telinga. Haryati menjerit histeris melihat perabotan kesayangannya dihancurkan begitu saja. Naura memeluk ibunya erat-erat, ketakutan melihat pemandangan mengerikan di depan matanya sambil mendekap Marcella erat. Subeni berusaha menghentikan tindakan brutal orang-orang itu, namun ia kalah jumlah dan tenaga.

"Apa-apaan ini?! Siapa kalian?!" teriak Subeni dengan suara gemetar, berusaha menghalangi salah satu pria yang hendak membalikkan lemari.

Pria itu hanya menyeringai tanpa menjawab, lalu mendorong Subeni hingga tersungkur. Haryati semakin histeris melihat suaminya diperlakukan kasar. Naura menangis, memeluk Marcella yang juga mulai menangis karena kebisingan dan ketegangan yang ia rasakan.

"Jangan sakiti kami! Apa salah kami?!" teriak Naura di tengah kekacauan.

Namun, pertanyaan Naura tidak digubris. Orang-orang itu terus merusak seisi rumah. Vas bunga pecah berkeping-keping, foto-foto keluarga terlempar ke lantai, bahkan televisi pun tak luput dari amukan mereka. Suasana rumah yang tadinya tenang dan damai kini berubah menjadi lautan kehancuran dan ketakutan.

Setelah puas merusak, para pria berbadan tegap itu pergi begitu saja, meninggalkan Subeni, Haryati, dan Naura yang terpukul dan ketakutan di tengah rumah yang berantakan. Haryati terduduk lemas sambil menangis, Naura memeluk Marcella erat-erat, mencoba menenangkan putrinya yang masih terisak. Subeni hanya bisa menatap nanar sekelilingnya, hatinya hancur melihat rumah yang telah menjadi saksi bisu kebahagiaan keluarga mereka kini porak poranda. Mereka bertiga saling berpelukan, mencoba mencari kekuatan di tengah keterpurukan yang tiba-tiba menimpa mereka. Kejadian ini bukan hanya meninggalkan kerusakan fisik, tetapi juga trauma mendalam bagi Naura dan kedua orang tuanya. Mereka tidak mengerti mengapa mereka harus mengalami semua ini.

****

Di sebuah ruangan apartemen yang mewah, Hendro duduk dengan senyum sinis menghiasi wajahnya. Cahaya layar ponsel menerangi ekspresi puasnya saat ia melihat foto-foto dan laporan yang baru saja diterimanya. Gambar-gambar rumah Subeni dan Haryati yang berantakan membuatnya tertawa kecil. Ia merasa rencananya berjalan sesuai keinginannya.

"Bagus... bagus sekali," gumam Hendro seorang diri, mengusap dagunya dengan tatapan penuh kemenangan. Ia merasa telah memberikan pelajaran yang setimpal kepada Naura dan keluarganya. Baginya, merekalah yang menjadi penghalang kebahagiaannya dengan Debby. Jika saja Naura tidak melabrak Debby di kafe, mungkin Debby tidak akan meninggalkannya.

Dalam benak Hendro yang dipenuhi amarah dan obsesi, Naura adalah sumber dari segala masalahnya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Debby menolaknya. Ia meyakini bahwa keluarga Naura telah mempengaruhi Debby untuk menjauhinya. Oleh karena itu, ia merasa perlu untuk "memberi mereka pelajaran" agar tidak lagi ikut campur dalam urusannya.

"Lihat saja, Naura. Kamu akan menyesal sudah membuat Debby pergi dariku," bisik Hendro penuh dendam sambil terus melihat foto-foto kerusakan rumah mertuanya. Ia sama sekali tidak merasa bersalah atas tindakannya. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana caranya untuk mendapatkan Debby kembali dan menghukum Naura atas apa yang ia anggap sebagai penghancuran hubungannya.

****

Hendro kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Pastikan mereka semakin menderita. Lakukan apa saja yang membuat mereka merasakan ketakutan dan kehilangan," perintah Hendro dengan suara dingin dan tanpa belas kasihan. Ia bertekad untuk tidak berhenti sampai Naura dan keluarganya benar-benar hancur dan tidak lagi menjadi penghalang baginya untuk bersama Debby.

Setelah menutup telepon, Hendro kembali tersenyum puas. Ia merasa memiliki kendali atas situasi ini. Ia yakin bahwa dengan tekanan yang terus menerus, Naura dan keluarganya akan menyerah. Dalam benaknya yang gelap, ia membayangkan Debby akan kembali padanya setelah melihat betapa ia "berjuang" untuknya. Ia tidak menyadari bahwa tindakannya yang keji ini justru semakin menjauhkan Debby darinya dan semakin memperlihatkan sisi gelap kepribadiannya. Obsesinya telah membutakannya dari nilai-nilai kemanusiaan dan rasa hormat kepada orang lain. Baginya, yang terpenting hanyalah keinginannya untuk bersama Debby, tanpa mempedulikan penderitaan orang lain yang ia timbulkan.

****

Hari-hari berlalu, dan setiap interaksi dengan Agus semakin mempertegas perasaan Debby. Ada kehangatan dan ketulusan dalam diri pemuda itu yang membuatnya merasa nyaman dan dihargai, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan dari Hendro. Namun, semakin besar perasaannya, semakin besar pula kecemasan yang menghantuinya. Ia takut cintanya bertepuk sebelah tangan, takut merusak kedekatan yang sudah terjalin.

Debby berusaha menarik diri. Ia mengurangi intensitas pertemuannya dengan Agus, mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan dan kegiatan lain. Namun, usaha Debby seolah sia-sia. Agus justru semakin menunjukkan perhatiannya. Ia seringkali menanyakan kabar Debby, menawarkan bantuan jika Debby terlihat kesulitan, bahkan sesekali membawakan makanan kecil. Perhatian tulus Agus membuat Debby semakin terjerat dalam perasaannya.

Di sisi lain, Hendro yang terus memantau Debby dari jauh, merasakan amarah yang membakar melihat kedekatan Debby dengan Agus. Rasa cemburu menggerogoti hatinya. Ia tidak terima Debby berpaling pada pria lain, apalagi pria yang jauh lebih muda. Hendro menganggap Agus sebagai penghalang utamanya untuk mendapatkan Debby kembali.

Suatu malam, Hendro mengamati Agus yang sedang mengantar Debby pulang dari kafe. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, matanya menyala penuh kebencian. Dalam hatinya, ia bersumpah akan membuat pemuda itu menyesal telah berani mendekati Debby. Ia akan menghancurkan hidup Agus, sama seperti ia berusaha menghancurkan Naura dan keluarganya.

"Lihat saja kau, anak muda. Kau akan tahu siapa yang berani merebut Debby dariku," geram Hendro seorang diri di dalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dari apartemen Debby. Obsesinya pada Debby telah membutakannya, membuatnya tidak segan untuk melakukan tindakan keji demi mencapai tujuannya.

****

Sementara itu, Debby merasakan dilema yang semakin besar. Di satu sisi, ia menikmati perhatian Agus dan hatinya berbunga-bunga setiap kali bersamanya. Namun, di sisi lain, ia takut perasaannya yang mendalam akan membuat Agus menjauh. Ia tidak ingin merusak persahabatan yang sudah terjalin. Debby memilih untuk memendam perasaannya, berharap waktu akan menjawab segala keraguannya. Ia hanya bisa menikmati setiap momen bersama Agus tanpa berani mengungkapkan isi hatinya, sambil terus berusaha melupakan bayangan kelam masa lalunya dengan Hendro. Namun, tanpa disadarinya, bahaya sedang mengintai Agus dari kejauhan, dipicu oleh rasa cemburu dan dendam seorang pria yang tidak terima cintanya ditolak.

"Apa yang harus aku lakukan?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!