"Sha,"
Ganesha hanya berdeham, masih enggan menarik pandangan dari jajaran pepohonan di seberang jalan yang mereka lewati dalam laju mobil yang sedang. Kepadanya, mereka seolah sedang menyampaikan salam perpisahan--menyalurkan ungkapan hati-hati di jalan melalui gerak lamat ranting-ranting yang terkena terpaan angin.
Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Jalanan belum sepenuhnya sepi, tapi lampu-lampu kota sudah mulai menggeliat terang di antara genangan bekas hujan. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Jakarta setelah menyelesaikan soal baju yang basah kuyup karena hujan sore tadi.
"Makasih," ucap Tenggara lagi. Entah sudah berapa kali Ganesha mendengar kata itu terucap sejak mereka meninggalkan area pemakaman.
Ganesha akhirnya menoleh juga. Hanya untuk menjawab, "No prob," sambil mencuri pandang ke arah Tenggara yang fokus menyetir.
Di dunia ini, selalu ada hal-hal yang patut untuk disyukuri. Dan bagi Ganesha, bisa berada di posisinya sekarang adalah sebuah berkat yang tidak akan pernah dia cela keberadaannya. Meskipun di banyak kesempatan posisinya sekarang membawa begitu banyak rasa sakit yang harus dia rasakan sendirian, Ganesha tidak keberatan. Karena setidaknya, dia bisa menjadi seseorang yang berada di sisi Tenggara ketika lelaki itu kehilangan tumpuan. Ketika semesta seakan menyediakan seribu satu alasan untuk membuat Tenggara hancur, Ganesha berharap dia bisa menjadi salah satu alasan untuk lelaki itu bertahan.
Seluruh dunia mungkin akan mengatainya tolol, sama seperti apa yang Kafka kerap katakan kepadanya. Namun, Ganesha masih tidak akan peduli.
Dalam sudut pandangnya, mencintai Tenggara adalah pilihannya. Ia hanya ingin terus mencintai lelaki di sampingnya itu--dengan caranya sendiri, tanpa mengganggu atau menuntut balasan.
Mobil melaju melewati jembatan kecil yang menghubungkan dua ruas jalan tol, dan dari atas sana, Ganesha bisa menyaksikan atap-atap rumah penduduk. Satu bangunan ke bangunan lain tampak terlalu rapat. Seperti tidak ada sekat pembatas--seperti logika dan perasaannya yang kerap kali membaur terlalu acak.
"Soal ke Bandung," ujar Tenggara tiba-tiba. Tepat ketika lampu lalu-lintas berubah merah, ia kembali bersuara. Satu tangannya berpindah dari kemudi, mendarat di paha. Kepalanya ikut menoleh perlahan pada Ganesha. Sepasang netra bak hujan itu lantas menatap begitu dalam. Seperti sengaja hendak menenggelamkan Ganesha dalam lautan pesona tak berdasar.
"Gue serius. Kita bisa pergi berdua."
"Gue bisa pergi sendiri." Ganesha mengalihkan pandangannya cepat-cepat. Dalam hati, ia mulai menghitung mundur--menanti lampu lalu-lintas berubah hijau agar mobil kembali melaju. "Gue bener-bener mau nikmatin liburan gue, Kak. Untuk diri gue sendiri, tanpa gangguan apa pun."
Di saat Ganesha berpikir bahwa Tenggara akan menyudahi obrolan soal rencana liburan ke Bandung, nyatanya ia salah besar. Setelah kembali menginjak pedal gas, lelaki itu dengan sungguh-sungguh berkata, "Sama gue, Sha. Kita liburan berdua, buat kita." Sehingga membuat Ganesha tertarik untuk kembali menoleh ke arahnya.
Dalam beberapa kesempatan, Ganesha kerap kali menemukan kesulitan membedakan siapa lelaki di sampingnya ini. Apakah ia adalah Kak Aga yang dikenalnya sembilan tahun silam? Atau Tenggara Naratama, partner nge-band selama tiga tahun yang dipuja-puja banyak orang? Karena jarak antara dua sosok itu terlalu tipis. Mereka adalah satu orang yang sama, namun perannya terasa sangat berbeda.
"Let's take our time, Esha. Bukan sebagai partner band, tapi sebagai teman. Kayak yang sering kita lakuin dulu."
"Seingat gue, kita nggak pernah pergi cuma berdua," kata Ganesha. Ada sedikit perih menyelip dalam nada suaranya. Karena itu benar. Sembilan tahun pertemanan mereka, tidak pernah sekali pun mereka benar-benar berdua. Selalu ada orang lain. Entah itu teman-teman mereka, atau bahkan para gadis yang saat itu sedang dekat dengan Tenggara.
"Justru karena belum pernah, kita bisa pergi sekarang."
Meskipun kedengarannya menarik, namun Ganesha memutuskan untuk tidak mengambil tawaran tersebut. Ia menggeleng seraya tersenyum tipis, lalu melabuhkan tatapannya pada kedua tangan yang bertaut di atas pangkuan.
"Next time aja. Kali ini gue bener-bener mau pergi sendiri," putusnya.
Helaan napas terdengar samar dari Tenggara, dan Ganesha tidak tahu apa artinya. Apakah itu adalah wajah dari sebuah kekecewaan karena baru saja menerima penolakan? Atau ia hanya sekadar lelah? Rasanya, bahkan untuk sekadar menebak pun, Ganesha tidak punya nyali sekarang.
"Ya udah kalau emang itu mau lo," ucap Tenggara pada akhirnya. "Tapi lo harus janji buat tetap aman selama di sana, oke?"
"I will." Ganesha mengangguk, masih dengan senyum tipis yang sama.
Setelahnya, mereka terdiam. Jalanan yang licin bekas hujan agaknya membuat Tenggara berkendara dengan lebih hati-hati. Atau mungkin--ini murni asumsi Ganesha--Tenggara melakukannya dengan sengaja. Agar mereka tidak lekas sampai di Jakarta. Agar perjalanan ini tidak berakhir terlalu cepat.
Ganesha terkikik pelan. Ia menggeleng, geli pada dirinya sendiri karena pikiran itu. Jatuh cinta sendirian memang kerap kali membuatnya menjadi halu. Berandai-andai tentang betapa indahnya jika cinta bertepuk sebelah tangan ini bisa berbalas.
"Sha," Suara Tenggara memecah keheningan. "Ada sesuatu yang bikin lo happy?"
Ganesha menoleh. Senyumnya perlahan memudar. Netra hujan Tenggara kembali menjadi distraksi. Mengacaukan pola pikirnya hingga ia nyaris tidak memiliki apa pun yang tersisa di dalam kepala.
"Lo pasti habis keinget sama sesuatu yang bikin lo happy, kan? Makanya lo senyum-senyum sendiri?" lanjut Tenggara. Seharusnya lelaki itu fokus menyetir saja, bukan malah terus menoleh ke arah Ganesha dan menawan gadis itu lebih lama.
"Cuma hal-hal random. Nggak penting." Sebelum betulan tewas, Ganesha memutus adu tatap di antara mereka. Ia pura-pura sibuk dengan ponsel biru mudanya, menggulir layar tanpa arah.
"Gue penasaran," kata Tenggara, "hal random apa yang barusan muncul di kepala lo?"
"Kenapa juga lo harus penasaran?" Ganesha melirik sekilas, sebelum kembali menatap layar ponsel.
Tenggara hanya mengendikkan bahu sambil terkekeh pelan. Dan demi Tuhan, Ganesha bersumpah--suara kekehan Tenggara barusan adalah yang paling merdu dari semua suara yang pernah dia dengar sepanjang hidupnya.
"Lo tahu, gue emang selalu penasaran sama apa yang ada di kepala lo."
Seketika itu juga, jemari Ganesha berhenti bergerak. Eksistensi ponsel dia lupakan, sepenuhnya mencurahkan perhatian kepada Tenggara.
Itu... Apa maksudnya?
Kenapa Tenggara penasaran tentang apa yang ada di kepalanya?
Kenapa lelaki itu peduli?
Ganesha ingin bertanya, tetapi dia tidak memiliki keberanian untuk membuka mulutnya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Tenggara tidak melanjutkan ucapannya. Statement itu dibiarkan berakhir di sana. Menggantung seperti jemuran baju yang entah kapan akan diangkat masuk ke dalam rumah.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Zenun
dia senyum begitu karena berfikir yang tidak-tidak tentang mu🤭
2025-05-19
1
Zenun
nanti diangkat nya kalau ujan
2025-05-19
1
Dewi Payang
Bisa jadi si Tenggara juga suka, tapi Ganesha ga tau....
2025-05-19
1