Hari ujian itu datang juga.
Dengan kemeja pinjaman dan sepatu mengilap hasil semir malam sebelumnya, Grilyanto berangkat ke kota dengan sepeda ontel, membawa satu tas berisi alat tulis dan satu hati yang penuh harap.
Ia mendaftar di sekolah farmasi negeri yang terkenal di Jawa Tengah—tempat impian yang selama ini hanya ia lihat lewat brosur pinjaman dari perpustakaan sekolah.
Di ruang ujian, ia duduk tenang. Soal demi soal ia baca, pikirkan, dan jawab sebaik mungkin.
Ia keluar dari ruang itu dengan keringat dingin, namun juga dengan sedikit keyakinan,
“Mungkin cukup untuk lulus,” bisiknya dalam hati.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil seleksi pun tiba. Grilyanto datang ke papan pengumuman dengan langkah cepat tapi hati-hati. Matanya menyisir nama demi nama… sampai ke baris terakhir.
Tidak ada.
Namanya tidak ada. Ia tidak lulus.
Sejenak dunia terasa sunyi. Orang-orang di sekitarnya ada yang bersorak gembira, ada pula yang menangis. Grilyanto hanya berdiri diam, menatap papan pengumuman seperti kosong, lalu perlahan-lahan melangkah pergi.
Sepanjang perjalanan pulang, ia menunduk. Langit sore tampak kelabu. Jalan yang biasa dilaluinya kini seperti mengejek.
Sesampainya di rumah, ibunya sedang menjemur pakaian.
Melihat Grilyanto datang tanpa senyum, sang ibu langsung tahu.
“Belum rezeki, Le?” tanyanya lembut.
Grilyanto mengangguk pelan. Ia berusaha menahan air mata, tapi gagal. Ia menangis, bukan hanya karena gagal ujian, tapi karena ia merasa mengecewakan ibu yang sudah memberinya restu dan harapan.
Namun sang ibu memeluknya erat, mengusap punggungnya sambil berkata:
“Gagal itu bukan akhir. Tapi awal dari jalan yang baru. Ibu tetap bangga sama kamu.”
Dan di pelukan itulah Grilyanto belajar, bahwa dalam hidup, bukan hasil yang selalu jadi ukuran… tapi seberapa kuat kita bisa bangkit dan mencoba lagi.
Kegagalan itu tak hanya mengecewakan Grilyanto. Ia juga perlahan menggerogoti semangat dalam dirinya. Hari-hari yang biasanya ia isi dengan membaca atau membantu ibunya, kini berubah.
Grilyanto mulai sering nongkrong di warung kopi pinggir jalan bersama teman-teman lamanya.
Mereka berbincang ringan, kadang bercanda, kadang hanya duduk diam sambil melihat lalu lintas desa. Waktu berlalu begitu saja, tanpa arah.
“Ikut ke kota yuk, lihat-lihat kerjaan,” ajak salah satu temannya suatu hari.
Grilyanto hanya mengangguk malas. Tidak ada lagi cahaya antusias dalam matanya.
Ia merasa lelah, bukan hanya karena gagal masuk kuliah, tapi karena impiannya terasa seperti jauh sekali, seolah tak mungkin ia capai lagi.
Di rumah, sang ibu mulai cemas. Tapi ia tak pernah marah. Ia hanya memperhatikan dari jauh, menyiapkan makanan, menyisakan senyum, dan menunggu waktu yang tepat untuk bicara.
Suatu malam, saat Grilyanto baru pulang dan duduk termenung di beranda, sang ibu datang membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di sebelahnya, lalu berkata pelan:
“Kalau kamu berhenti berusaha, yang rugi bukan cuma kamu, Le. Tapi juga orang-orang yang percaya kamu bisa.”
Grilyanto tak menjawab. Tapi kalimat itu menancap kuat di dadanya.
Ia tahu, tak selamanya ia bisa duduk diam seperti ini. Ada waktu untuk berduka. Tapi akan datang juga waktu untuk kembali berdiri. Ia hanya belum tahu… kapan.
Namun malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia meminum teh dari tangan ibunya sampai habis.
Dan mungkin, dari situ… semangatnya perlahan mulai menyala kembali.
Setelah berminggu-minggu terjebak dalam rasa kecewa, Grilyanto akhirnya mengambil keputusan yang sederhana tapi penting, ia tidak bisa terus diam.
Suatu pagi, ia berpamitan pada ibunya.
“Bu, aku mau coba cari kerja di kota. Kalau ada rezeki, mungkin bisa sambil daftar kuliah lagi nanti.”
Ibunya hanya mengangguk, tapi matanya berkaca-kaca. Ia tahu, anak lelakinya kini memilih jalan hidup yang keras—berjuang sendiri di kota yang asing, demi masa depan yang lebih baik.
Dengan bekal seadanya dan tas lusuh di punggung, Grilyanto berangkat ke kota.
Kota itu tidak besar, tapi bagi seorang anak desa, tetap terasa riuh dan membingungkan. Ia mulai menyusuri gang demi gang, bertanya dari warung ke toko, dari bengkel ke apotek.
Setelah beberapa hari, ia menemukan sebuah rumah kos sederhana di belakang pasar.
Kamarnya sempit, hanya cukup untuk kasur tipis, satu gantungan baju, dan meja kecil. Tapi bagi Grilyanto, itu sudah cukup. Itu bukan rumah—tapi tempat menanam harapan baru.
Siangnya, ia berkeliling lagi mencari pekerjaan. Banyak pintu yang ditutup, banyak penolakan yang ia terima.
Tapi akhirnya, sebuah toko obat kecil menerimanya sebagai penjaga gudang dan pembantu toko.
“Bisa angkat kardus? Bisa sapu dan catat stok?” tanya pemilik toko.
Grilyanto mengangguk mantap. “Bisa, Pak.”
Dan dimulailah hari-hari barunya. Bangun pagi, membersihkan toko, membantu mencatat nama-nama obat, bahkan sesekali bertanya tentang khasiat obat dari label-label yang menempel.
Diam-diam, semangat lamanya tentang farmasi mulai hidup kembali.
Ia belum kuliah. Ia belum jadi apoteker. Tapi ia sudah kembali melangkah dan setiap langkah, sekecil apa pun, mendekatkannya pada impian yang dulu hampir ia kubur.
Hari-hari Grilyanto di toko obat berjalan penuh kesabaran.
Setiap sore, setelah menyapu dan membereskan kardus-kardus stok, ia akan duduk di belakang toko, menulis sesuatu di buku catatannya—kadang tentang obat-obatan, kadang tentang rindu rumah.
Sampai suatu hari, saat ia baru selesai makan siang, seorang tetangga kos mengetuk pintunya.
“Gril! Ada surat panggilan kerja buat kamu!”
Dengan kening berkerut dan jantung sedikit berdebar, Grilyanto membuka amplop cokelat itu.
Matanya membelalak saat membaca logo di atasnya Perumtel. Perusahaan telekomunikasi milik pemerintah.
Surat itu berisi pemberitahuan bahwa ia diterima sebagai pelayan 108—bagian layanan informasi telepon.
Ia hampir tak percaya. Beberapa bulan lalu, saat masih berjuang mencari pekerjaan, ia mengirimkan lamaran ke beberapa tempat, termasuk Perumtel, tanpa banyak harapan. Dan kini, panggilan itu datang saat ia mulai merasa nyaman di rutinitas toko obat.
Malam itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit gelap tak berbintang, hanya suara jangkrik dan kendaraan sesekali yang melintas di kejauhan menemani kesunyian.
Di ujung gang kecil, sebuah warung telepon masih buka, lampu neon yang temaram menggantung di atas pintunya. Grilyanto berdiri di dalam bilik sempit, memegang gagang telepon dengan tangan yang sedikit bergetar, antara gugup dan bahagia.
“Bu… aku diterima kerja di Perumtel,” ucapnya pelan, nyaris berbisik. Namun kalimat itu terdengar tegas, seperti menegaskan pencapaian yang telah lama dinantikan.
Di seberang sana, suara perempuan paruh baya terdengar tercekat. Ibunya terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara yang sarat emosi,
“Alhamdulillah, Le… itu rezeki. Jangan disia-siakan.”
Ada kelegaan dalam suara itu, seperti beban lama yang perlahan terangkat. Air mata yang mengalir di pipi Grilyanto tak bisa ia tahan.
Bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang begitu dalam. Perjalanan panjangnya menapaki kehidupan, dari kampung ke kota, kini mulai menemukan titik terang.
Keesokan harinya, matahari pagi menyinari kota dengan hangat. Grilyanto mengenakan kemeja putih yang telah disetrika rapi, celana bahan abu-abu, dan sepatu hitam mengilap.
Di tangannya tergenggam map berisi dokumen penting, dan di wajahnya tergambar semangat baru. Ia berdiri di depan gedung kantor Perumtel, gedung tinggi berwarna putih dengan logo besar yang mencolok di bagian atasnya. Ini adalah hari pertama ia memulai babak baru dalam hidupnya.
Setelah mengisi daftar hadir dan menyelesaikan beberapa formalitas administrasi, Grilyanto diperkenalkan kepada beberapa karyawan senior.
Senyum dan sambutan hangat mereka sedikit mengurangi rasa gugup yang ia rasakan. Salah satu karyawan, Pak Bambang, yang tampaknya sudah cukup lama bekerja di sana, mengajaknya berkeliling.
“Mari, Mas Grilyanto. Sebelum mulai kerja, kita kenalan dulu sama lingkungan kantor,” ujar Pak Bambang sambil tersenyum ramah.
Mereka berjalan melewati lorong-lorong panjang dengan dinding berhiaskan poster kampanye layanan dan jadwal operasional.
Ruangan demi ruangan diperlihatkan, mulai dari ruang pelayanan pelanggan, pusat data, hingga ruang teknisi tempat kabel dan perangkat jaringan tertata rapi.
“Ini semua bagian dari sistem yang nanti akan Mas bantu rawat dan jaga. Kerja di sini bukan cuma soal gaji, tapi juga soal tanggung jawab,” kata Pak Bambang sambil menunjuk ke ruangan pusat kendali, tempat beberapa petugas serius memantau layar komputer.
Grilyanto mengangguk, menyimak dengan saksama. Dalam hati, ia berjanji akan memberikan yang terbaik.
Ia tahu, di balik pekerjaan ini, ada harapan ibunya yang menggantung. Ada masa lalu yang ingin ia perbaiki, dan masa depan yang mulai terbuka perlahan.
Hari itu ditutup dengan sesi perkenalan bersama seluruh staf di ruang rapat.
Suasana hangat dan kekeluargaan terasa kental. Meski baru pertama kali, Grilyanto merasa seolah ia telah menjadi bagian dari keluarga besar Perumtel.
Dan saat senja mulai turun, ia melangkah keluar dari gedung dengan langkah mantap. Hari pertama sudah ia lewati.
Masih banyak yang harus dipelajari dan dijalani. Tapi ia tahu, ia tidak sendiri. Ia membawa doa ibunya, harapan dari kampung halaman, dan semangat untuk terus maju.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments