BAB 2. MENJADI BOCAH?

Telinga Rosetta mendengar sayup-sayup suara, hilang timbul seperti suara televisi yang dinyala dan matikan. Perlahan suara-suara yang sebelumnya terdengar seperti dengungan samar kini mulai jelas. Ada suara yang begitu ia rindukan tertangkap telinganya. Suara yang bahkan selama bertahun-tahun Rosetta ingin dengar walau hanya di dalam mimpi.

"Rose?"

Begitu nama gadis itu dipanggil dengan lembut, netra Rosetta terbuka, memerlihatkan kristal biru dari iris sang gadis. Beberapa kali mata itu tertutup kembali karena menangkap sinar yang terlalu pekat, kemudian kembali membuka untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke dalam netra sang gadis.

"Babe?! Rose sudah sadar!"

"Benarkah? Oh, akhirnya kau membuka matamu juga, Little Princess."

Dua suara yang begitu Rosetta rindukan membuat gadis itu menjatuhkan air mata secara spontan begitu suara-suara itu tertangkap telinganya. Rasa rindu yang memuncak membuat Rosetta bersyukur dapat mendengar suara itu lagi, bahkan jika ini adalah ilusi yang dibuat oleh alam bawah sadarnya setelah kematian. Rosetta tidak masalah.

"Mom? Dad?" ucap Rosetta dengan suara parau di sela-sela tangisnya. Mencoba menggapai dua orang tersebut dengan tangan sang gadis, ingin sekali menyentuh mereka.

"Oh Rose, Mommy dan Daddy di sini. Kami tidak pergi kemana-mana," ucap sang ibu seraya memeluk putrinya dalam dekapan.

"Daddy di sini, Princess. Kau benar-benar membuatku takut karena tidak membuka matamu cukup lama," ucap sang ayah yang mengecup kening sang putri dalam dekapan ibunya.

Mendengar hal tersebut, Rosetta kembali menutup matanya seolah ia ditarik kembali ke alam tidur yang masih membuai. Jejak air mata terlihat jelas di wajah gadis itu, dimana Rosetta belum sadar dimana dirinya berada saat ini. Ia tahu kalau ini adalah mimpi yang selalu Rosetta inginkan setiap malam sebagai harapan kalau ia dapat kembali dalam dekapan orang tuanya. Setidaknya ia berpikir kalau kematian tidak seburuk yang Rosetta pikirkan.

Sang ibu terus mendekap Rosetta kecil dalam pelukannya, mengayunkan sedikit tubuhnya agar membuat lelap tidur sang putri tercinta semakin dalam. Menepuk-nepuk lembut punggung Rosetta dan mencium keningnya penuh afeksi sayang.

Gadis itu semakin nyenyak jatuh dalam tidur ketika sang ayah mengelus lembut kepalanya, memberikan rasa aman dan nyaman untuk Rosetta. Menenggelamkan sang gadis dalam mimpi yang diinginkannya.

Sampai mimpi indah yang Rosetta idam-idamkan itu tidak juga berakhir, membuat sang gadis kebingungan setengah mati ketika ia kembali membuka mata setelah lelap dalam tidur. Dimana ia mendapati dirinya mengecil. Tangan kurusnya berubah mungil. Suara soprannya berubah lebih tipis dan nyaring. Terlebih tubuh tinggi gadis itu kini kurang lebih hanya berkisar seratus sepuluh sentimeter saja.

"Hah?! A-apa yang terjadi?" ucapnya penuh kebingungan, terkejut ketika lagi-lagi mendengar suaranya. "Ini ... mimpi, kan?" imbuhnya.

Rosetta terdiam, berbaring di atas ranjang rumah sakit. Memberitahu kalau gadis itu menjadi pasien dalam ruangan rumah sakit yang terlihat lebih lawas dibandingkan yang ia ingat. Otaknya benar-benar tidak dapat memikirkan apa pun untuk sesaat. Ia yakin kalau dirinya telah meninggal di gang sempit Chicago yang basah dan dingin, lalu bagaimana ia bisa berbaring di rumah sakit tapi dalam bentuk dirinya yang kecil dan lemah.

Gadis itu bangkit duduk ketika mendengar suara pintu terbuka. Matanya melebar ketika ia mendapati ibunya, Lili Lorenzo berjalan ke arah Rosetta. Terlihat begitu muda dari terakhir kali ia ingat.

"Mom?" panggil Rosetta untuk mengonfirmasi.

"Yes, Sweetheart?" jawab Lili. "Maaf, Mommy harus bicara dengan dokter tentang keadaanmu tadi. Bagaimana keadaanmu?"

Rosetta terus menatap ibunya seperti orang bodoh. Ia memegang wajah sang ibu dan terkejut kalau terasa hangat di telapak tangan gadis itu. Memberitahu dengan pasti kalau ini semua nyata.

"Ada apa? Apa ada yang sakit?" tanya Lili lembut.

"Mom? Sekarang berapa usiaku?" tanya Rosetta, hal pertama yang harus ia cari tahu.

"Kau tujuh tahun. Baru dua bulan lalu kau ulang tahun. Apa ada yang tidak beres dengan ingatanmu?" Lili tampak khawatir sekarang.

"Tidak. Aku baik-baik saja," ucap Rosetta pelan.

Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah aku kembali ke masa lalu? Tapi ini terlalu nyata untuk dibilang mimpi. Jika aku tujuh tahun sekarang, artinya aku kembali dua puluh tahun setelah semua kekacauan yang kubuat. Apa Tuhan memberikanku kesempatan kedua untuk memperbaiki semua kesalahanku? Tuhan mengabulkan doaku untuk dapat melihat keluargaku lagi? pikir Rosetta dengan segala kemungkinan yang ia hadapi sekarang.

Pintu ruangan kembali terbuka, menampakkan satu demi satu orang-orang yang amat Rosetta kenal dan ingin temui. Namun semua wajah itu terlihat begitu muda, sehingga Rosetta yakin kalau ia tidak bermimpi. Semua ini nyata, ia kembali ke masa lalu. Tuhan memberikannya kesempatan kedua agar Rosetta dapat kembali bersama keluarganya.

"Rose?!"

Rosetta tersenyum saat ia melihat bagian dirinya yang lain kini berlari kecil ke arah sang gadis. Kembaran Rosetta, Roderick Lorenzo, memberikan senyum lembut yang sempat menghilang dalam ingatan Rosetta ketika kakek mereka meninggal.

"Rod?!" Dengan antuasias Rosetta memeluk kembarannya itu ketika Roderick memanjat naik ke atas tempat tidur dengan bantuan Lili.

"Aku tidak diberi pelukan juga?" tanya Lucas yang berdiri di samping tempat tidur, tersenyum indah ketika melihat kedua adiknya.

"Lucas?!" Rosetta merentangkan kedua tangannya untuk memeluk sang kakak. Ia benar-benar terlihat bahagia hingga lupa akan usia sesungguhnya saat melihat anggota keluarganya satu per satu seperti ini.

"Jangan sakit lagi. Kau benar-benar membuatku khawatir, Rose," ucap Lucas membalas pelukan sang adik. Lega karena akhirnya Rosetta bangun juga dari tidur panjangnya akibat demam tinggi selama berhari-hari.

"Bumblebee?"

Ah, panggilan itu. Rasanya lama sekali setelah terakhir kali ada yang memanggil Rosetta dengan panggilan itu, panggilan yang bahkan menjadi code name gadis itu di dunia cyber.

"Arthur?!" Lagi-lagi Rosetta antusias ketika melihat kakak sepupunya.

"Apa yang kukatakan untuk tidak hujan-hujanan kemarin, huh? Kalau kau tidak mendengarkanku lagi nanti, akan kuikat kau di tiang," kata Arthur seraya memegang kepala Rosetta dengan gemas. Pria ini berusia tujuh belas tahun dengan tinggi tubuh yang telah mencapai seratus tujuh puluh sembilan sentimeter, membuatnya benar-benar seperti model idaman para perempuan.

"Jahatnya," protes Rosetta.

Namun Arthur justru mengelus kepala adiknya itu, senang karena akhirnya dapat melihat Rosetta dengan segala keceriaannya setelah hampir tiga hari tidak sadarkan diri.

"Kemana yang lain?" tanya Rosetta ketika ia tidak melihat Arabella dan Aretha yang merupakan sepupu perempuannya, adik-adik dari Arthur. Bianca dan Dante pun belum terlihat selaku paman dan bibi Rosetta, padahal ia begitu ingin melihat mereka semua.

"Mom sedang menjemput Arabella dari studio bersama Aretha, mereka akan ke sini nanti," jawab Arthur.

Rosetta melihat ke arah pintu, berharap kalau ada satu orang lagi yang akan datang.

"Mencari siapa?" tanya Lucas saat mendapati sang adik menunggu seseorang datang.

"Daddy kemana?" tanya Rosetta.

"Ah, ayahmu sedang ada urusan di kantor. Dia ada pertemuan dengan seseorang yang penting hari ini. Tenang saja begitu ayahmu selesai dia akan segera ke sini," jawab Lili.

"Pertemuan dengan siapa?" tanya Rosetta.

"Teman ayahmu. Dia pernah main ke rumah tahun lalu. Paman Jammy, ingat?" jawab Lili.

Jammy? pikir Rosetta. Mencoba mengingat sang empunya nama tersebut, dikarenakan ingatan Rosetta sekarang tumpang tindih dengan ingatan gadis itu dua puluh tahun kemudian.

"Paman James Blackwood. Bukankah kau main dengan anak Paman James juga tahun kemarin, siapa namanya, ya," Lili mencoba mengingat nama anak dari kenalan suaminya itu.

"Elijah," sebut Rosetta dengan wajah memucat.

"Ah, benar. Elijah. Kau masih mengingatnya, pintar sekali," puji Lili.

Tentu saja Rosetta mengingatnya, bagaimana mungkin ia lupa. Rasanya baru beberapa jam lalu ia melihat wajah pria yang menghancurkan hidupnya sampai gadis itu menemui ajal di tangan pria tersebut. Tapi Rosetta tidak mengingat kalau ia telah mengenal Elijah sejak kecil seperti ini. Ia pikir kalau pertemuan pertamanya adalah ketika ia masuk ke sekolah menengah atas.

Padahal Rosetta baru saja merasa bahagia karena diberi kesempatan kedua oleh Tuhan kembali ke keluarganya. Tapi kenapa justru nama yang tidak ingin ia dengar, mengikuti kemana pun gadis itu berada.

Apa yang harus Rosetta lakukan sekarang? Ia tidak ingin kekacauan dalam ingatannya di masa depan kembali terulang. Tidak. Ia tidak ingin itu terjadi. Rosetta tidak ingin lagi terpisah dari keluarga yang dicintainya ini. Ia ... harus melakukan sesuatu, tapi apa?

Terpopuler

Comments

ir

ir

jadi usiaku Rose 7thn tapi juga, masuk pikiran dia di usia 27 thn

2025-05-17

1

awesome moment

awesome moment

jauh bangets mundurnya. 20 th

2025-05-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!