Mobil berhenti dengan tiba-tiba di depan rumah Rossa. Steven terpaku di kursi pengemudi, menahan napas, seakan tak sanggup menghadapi detik berikutnya.
Viona memandang tajam ke arah Steven, mata menyala penuh tuduhan, sebelum ia membanting pintu mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata pun.
Steven mengikuti dengan langkah gontai, tubuhnya hampir seperti tak memiliki kekuatan.
"Dimana Mama?" suara Viona membeku, mencerminkan luka dan kekecewaan yang mendalam.
Steven memandangnya, berusaha menahan kekosongan yang mencekam. "Mama sedang ada urusan di luar kota. Aku yang akan menjagamu untuk sementara," jawabnya, mencoba menyembunyikan kegugupan dalam nadanya.
"Apa? Mama keluar kota? Kenapa dia tidak memberitahuku?" bentak Viona, setiap kata memotong seperti pisau.
Steven menelan, merasakan bobot tanggung jawab dan rahasia yang tidak bisa ia bagi. "Aku juga baru tahu. Tapi, pesan Mama, aku harus menjagamu sampai dia kembali," jawabnya, suaranya serak, seolah kata-kata itu menguras seluruh tenaganya.
Rumah itu tiba-tiba terasa seperti medan perang, dengan kesepian dan ketidakpercayaan menguasai udara. Viona terdiam, bibirnya bergetar sedangkan Steven terasa tertusuk oleh pandangan tajam gadis itu yang menghakiminya sebagai ayah barunya. Air mata yang tak terbendung mulai mengalir di pipi Viona, menciptakan jurang yang semakin dalam di antara mereka.
Viona terdiam, raut wajahnya menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap ibunya yang tiba-tiba meninggalkannya untuk pergi ke luar kota. Seakan hatinya telah diporak-porandakan oleh tindakan sepihak tersebut.
Di sisi lain, Steven bergerak cepat ke dapur, kesibukannya mencari bahan untuk membuat makan malam memberikan kesan bahwa dia bertekad untuk merawat Viona, yang pasti kelaparan setelah seharian tidak menyentuh makanan. Meski memesan makanan dari luar merupakan pilihan yang mudah, Steven memilih untuk tidak melakukannya. Baginya, berada di dapur, meski tanpa keahlian seorang chef, adalah upaya untuk membangun jembatan kasih antara dia dan putri istrinya. Ia ingin menunjukkan bahwa dia peduli, lebih dari sekedar pemberi nafkah. Tangannya yang kurang terampil mengambil dua bungkus mie instan, beberapa sayuran, dan telur, mencampurkannya menjadi santapan sederhana namun penuh makna. Ia berharap melalui semangkuk mie yang dihidangkan, Viona bisa merasakan hangatnya cinta dan perhatian dari seorang ayah yang berusaha sekuat tenaga untuk mengisi kekosongan hatinya yang terluka.
Setelah menghabiskan waktu di dapur, Steven bergegas naik ke lantai dua menghampiri kamar Viona. Dengan langkah berat, ia menghentikan geraknya tepat di depan pintu kamar anak tirinya. Jantungnya berdegup kencang, tangan yang hendak mengetuk pintu tiba-tiba terhenti di udara ketika pintu itu terbuka dengan sendirinya. "Ada apa?" ucap Viona dengan nada yang datar
. Mata Steven melebar, napasnya tersengal saat melihat penampilan Viona malam itu. Gadis itu berdiri di ambang pintu mengenakan celana pendek ketat dan tank top hitam yang memeluk lekuk tubuhnya, menonjolkan lekukan dada yang besar dan mempesona. Paha jenjang dan putih mulus terlihat jelas di sana.
Sejenak, gelombang hasrat kehangatan mengalir di tubuh Steven, namun ia segera mengalihkan pandangan dengan tegas. "Ingat Steven, dia itu anak tiri kamu," bisik hati kecilnya, mencoba mengingatkannya.
Dengan suara yang berusaha tenang, Steven berkata, "Ayo turun, kita makan bersama."
Mendengar ajakan itu, Viona hanya mengangguk ringan tanpa menunjukkan emosi lebih lanjut.
Makan malam itu terasa menegangkan, diiringi keheningan yang hanya dipenuhi oleh suara sendok dan garpu yang berdenting dengan mangkuk. Steven, sang lelaki, terkadang tak kuasa melepaskan pandangannya dari Viona, gadis yang hanya mengenakan tank top, duduk di depannya. Ketika ia makan, posisi duduknya membuat lekuk dada Viona tampak semakin terdefinisi, bagian dada Viona yang besar dan bulat semakin tertekan membuat Steven tidak tenang. Kecantikan Viona yang menyerupai ibunya sungguh mempesona, namun lebih dari itu, ada kesan sensual yang tidak bisa Steven abai, bentuk tubuh Viona yang seksi dan padat dan berisi membuat Steven tenang. Jantung Steven berdebar tak karuan setiap kali mata mereka bertemu. Steven benar-benar merasa gelisah dan tidak tenang "Andai saja aku tidak menikahi ibunya," bisik hati Steven dengan nada penyesalan, "Aku pasti akan menjadikan Viona kekasihku." Namun, segera Steven mengusir pemikiran itu, merasa berdosa bahkan telah membiarkan benaknya melayang ke arah itu. Dengan rasa bersalah yang memuncak, dia tiba-tiba berhenti makan dan berdiri, meninggalkan meja tanpa sepatah kata pun. Viona, terkejut dan bingung, hanya bisa berbisik kepada dirinya sendiri sambil melanjutkan makan, "Dia kenapa?" Tanpa tahu pertarungan batin yang tengah dialami Steven.
Steven langsung naik ke lantai atas dan memutuskan untuk tidur dan beristirahat di kamar. Pertarungan batin yang benar-benar menguji nyali Steven. Steven merebahkan tubuhnya di atas kasur, ia menatap langit-langit kamarnya. Jiwanya terbang melayang ke rumah sakit. Bagaimana saat ini dengan kondisi istrinya? Wanita yang baru beberapa hari ia nikahi. Kemudian pikirannya terpecah lagi, kembali pada sosok anak tirinya yang telah membuat jantungnya berpacu cepat dan membuat gelisah harinya.
Di dalam kamar, lamunannya mendadak terpecah oleh derap ketukan di pintu kamar yang mengejutkan Steven. Jantungnya berdegup kencang, rumah itu seharusnya hanya berisi dirinya dan anak tirinya, Viona. "Siapa lagi yang mengetuk pintu seperti ini?" pikirnya dengan waspada yang tinggi. Dengan langkah yang berat, Steven mendekati pintu dan membukanya dengan ragu. "Viona?" suaranya bergetar, takut dan harap berbaur menjadi satu. Masih terperangah dengan kehadiran tiba-tiba gadis itu, Steven hampir tidak bisa bernapas saat Viona berdiri di ambang pintu dengan tatapan tajam yang menerobos masuk ke ruang hatinya. "Ada apa?" Steven bertanya dengan suara yang tersendat, menelan saliva yang terasa mengering.
"Besok aku mau pergi camping bersama teman-temanku. Kau ijinkan aku atau tidak, aku akan tetap pergi," ucap Viona dengan nada tegas dan mantap, tak memberikan ruang untuk bantahan.
Sebelum Steven sempat merespons, Viona telah berbalik dan melangkah meninggalkan Steven yang masih terpaku. Matanya tanpa sadar mengikuti lekuk tubuh Viona yang menghilang ke dalam kegelapan koridor menuju kamarnya. Di sana, Steven berdiri, luluh lantak oleh kombinasi keterkejutan dan pengakuan jujur dari dalam dirinya sendiri: dia tidak bisa mengingkari bahwa sosok Viona memang mempesona, kecantikan dan bentuk tubuh Viona yang seksi tentu itu merupakan idaman semua pria.
Steven kembali menutup pintu dengan rapat. Ia kembali naik ke atas ranjangnya. Terpikir kembali dengan pesan sang istri yang masih terbaring di rumah sakit. "Viona akan pergi champing besok?" pikirnya. "tidak, dia tak boleh pergi. Bagaimana bisa Viona akan pergi. Penampilan gadis itu yang selalu memukau setiap mata pria yang memandang, itu tidak baik buat dia. Bagaimana teman lelakinya akan bisa bertahan mendapatkan godaan sebesar itu di tempat yang sepi di tengah hutan? Aku saja rasanya tidak kuat saat mendapati godaan kecantikan dan keseksian tubuh Viona. Apalagi mereka?" batin Steven.
Viona tidak boleh pergi." gumamnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments