Bab 3

“Wina cuma cerita soal temennya yang kerja jadi sekretaris. Sakit hati sama bosnya, terus mutusin buat resign,” ucap Shanaya cepat. Nadanya dibuat santai, walau jantungnya berdebar kencang.

Dia tahu banget gimana Reno. Pria yang cuma setahun lebih tua darinya itu bukan tipe yang gampang melepas sesuatu, apalagi kalau itu menyangkut dirinya. Selama semuanya belum benar-benar selesai, Shanaya nggak mau Reno curiga.

Wina sempat mau jujur, tapi tatapan tajam Shanaya sukses menghentikannya. Dia pun memilih menyindir sebagai pelampiasan.

“Iya... soalnya bosnya sekarang udah punya ‘mainan’ baru buat di ranjang. Makanya dia mundur,” sindir Wina sambil menatap Reno tajam.

Reno, yang cukup peka, langsung tersinggung. Dia melotot ke arah Shanaya, suaranya naik.

“Daripada nyebarin gosip nggak jelas, mending pulang sekarang!”

“Aku masih nunggu dipanggil buat diperiksa. Siapa tahu gegar otak. Kamu gak mau dilaporin KDRT, kan?” sahut Shanaya, nada suaranya datar tapi tajam.

“Shanaya! Udah aku bilang tadi itu nggak sengaja! Dan semua ini juga karena kamu dorong Malika!”

Shanaya tersenyum miring. Senyum yang nyaris nggak bisa menahan luka.

“Reno, setelah lebih dari sepuluh tahun kita kenal... kamu yakin kamu masih bisa bilang kalau kamu benar-benar ngerti aku?”

“Justru karena aku ngerti kamu, makanya aku peringatin. Cemburu boleh, tapi jangan sampai nyakitin orang lain.”

Shanaya menarik napas dalam.

“Kalau gitu, copot aja tuh CCTV di ruang kerja kamu. Nggak ada gunanya. Karena sekuat apa pun aku jaga sikap, di mata kamu aku selalu salah. Gila sih, setelah sepuluh tahun bareng kamu, cuma butuh sebulan buat kamu berpaling.”

“Shanaya! Aku lagi ngomongin sikap kamu. Coba deh belajar nerima kritik. Jangan asal lempar isu ke sana-sini!”

Wina, yang dari tadi udah panas, akhirnya berdiri dan nyela.

“Sha, udah giliran kamu buat periksa. Katanya dokternya cakep banget, lho. Sekali-sekali cuci mata lah, biar gak stres terus.”

Ucapan Wina sukses bikin Reno makin naik darah. Di pikirannya, cuma dia yang boleh ‘main-main’. Lelaki, menurutnya, wajar cari suasana baru, apalagi kalau udah punya jabatan dan duit. Tapi Shanaya? Harus tetap setia, jadi tempat pulang, nggak punya hak buat merasa atau berpikir yang sama.

“Wina! Shanaya itu cinta sama aku! Jangan ngajarin dia jadi cewek murahan yang gampang selingkuh!”

Wina melirik Reno dengan tatapan sinis, lalu tertawa pendek, pahit, tapi anggun.

“Lucu ya, kamu ngomong gitu padahal yang pertama kali nginjak garis batas kamu sendiri.”

Shanaya menunduk. Dia nggak sanggup lagi menatap Reno. Jijik. Reno tahu perasaannya, tapi kenapa malah ngejelek-jelekin dan nggak pernah hargai cinta itu? Yang dia mau, Shanaya tetap tinggal saat disayang, tapi siap dibuang saat bosan.

Wina menarik napas, lalu menatap Shanaya lembut. “Yuk, Sha. Dokternya nunggu. Daripada kamu duduk di sini terus dengerin ceramah kesetiaan dari orang yang bahkan gak bisa setia sama komitmennya sendiri.”

Saat Shanaya berdiri, Reno panik. Dia buru-buru buka suara.

“Shanaya! Aku udah bilang, antara aku dan Malika nggak ada apa-apa! Kenapa sih kamu selalu curiga? Aku cinta banget sama kamu!”

Langkah Shanaya terhenti. Dia berbalik, menatap Reno dengan mata berkaca.

“Kalau kamu emang cinta sama aku, seharusnya kamu lihat aku sekarang. Tanyain keadaanku. Minta maaf karena udah dorong aku tadi. Percaya sama aku. Atau setidaknya bilang kalau kamu bakal cari tahu dulu sebelum nuduh yang nggak-nggak. Tapi yang kamu lakuin malah kebalikannya semua.”

Kata-kata Shanaya seperti tamparan keras buat Reno. Baru kali ini dia benar-benar terdiam, terpaku menatap mata istrinya yang penuh luka. Perlahan, dia mendekat. Suaranya mengecil, terdengar menyesal.

“Sayang, maaf... Tadi aku emosi. Aku nggak mikir. Aku keburu nurutin ego aku.”

Reno refleks ingin meraih Shanaya, tapi perempuan itu langsung menghindar.

“Sayang, kartu itu… masih berlaku, kan? Aku mohon, beri aku kesempatan. Apalagi ini hari peringatan pernikahan kita.”

Shanaya terdiam. Sebagian hatinya ingin bilang tidak. Tapi entah kenapa, ia tidak bisa. Luka di hatinya baru saja terbuka lebar, tapi tetap ia tekan rapat-rapat.

“Kamu yakin mau pakai kartu itu sekarang?” tanyanya pelan.

“Yakin. Aku nyesel. Aku mau benerin semuanya. Tolong, kasih aku kesempatan.”

Shanaya membuka tas, mengeluarkan kartu kecil simbol 'kesempatan kedua' yang selama ini disimpan dan dibawa kemana-mana. Ia tunjukkan ke Reno… lalu mematahkannya tepat di depan wajah pria itu.

“Kesempatan ini udah kamu ambil. Jadi tolong, tepati omonganmu. Jangan pernah diungkit lagi.”

Kartu itu bukan sekadar benda. Itu janji. Dan sekarang, hanya tersisa enam.

Reno mengangguk cepat. “Iya, sayang. Aku janji. Sekarang kita pulang, ya. Aku panggil dokter buat periksa kamu di rumah. Gak perlu masuk ke ruangan itu. Dan bilangin ke sahabatmu itu… suruh pulang aja.”

Melihat Shanaya mengangguk pelan, Reno tersenyum menang. Ia sempat melirik ke arah Wina dengan tatapan sinis, seolah berkata, Lihat? Kamu cuma sahabat. Gak bisa ubah keputusan istriku.

Wina menggigit bibir, menahan emosi. Tapi saat Shanaya menatapnya, memohon diam-diam, ia menarik napas panjang. Kecewa.

“Sha, kamu…” bisiknya lirih.

“Sekali ini aja. Oke?” jawab Shanaya pelan.

Padahal, ini bukan kali pertama. Bukan yang kedua. Mungkin udah puluhan kali Shanaya bilang “sekali ini aja” tiap kali Reno minta Wina menjauh.

Wina hanya diam. Tatapannya menusuk Shanaya, marah, kecewa, tapi yang paling kentara, pasrah.

Ia menarik napas dalam, menelan semua yang ingin ia teriakkan. Tapi melihat wajah Shanaya yang lelah, penuh luka yang belum sempat sembuh, ia tahu percuma memaksa.

“Baiklah.” Wina mengangguk pelan. “Kalau kamu butuh seseorang, kamu tahu harus cari siapa.”

Tanpa melirik Reno, Wina berbalik dan pergi. Membawa amarahnya, tapi juga cinta yang tulus untuk sahabatnya.

Reno lalu merangkul bahu Shanaya, lembut. Seolah pelukannya bisa menambal luka yang baru ia buka sendiri.

“Ayo pulang,” bisiknya. Shanaya tidak menjawab.

Langkah mereka hening. Tapi bukan hening yang nyaman. Ini hening yang dipenuhi janji semu dan luka yang makin dalam. Reno masih punya enam kartu tersisa. Tapi di hati Shanaya, rasa cintanya mulai patah satu per satu—seperti kartu yang barusan ia remukkan.

“Kita rayakan hari jadi kita di rumah, ya? Aku mau masak makanan kesukaan kamu,” ucap Reno, mencoba terdengar hangat.

Shanaya hanya mengangguk pelan. Tanpa senyum. Tanpa binar di mata.

Tiba-tiba, ponsel Reno berdering. Ia melirik sekilas—Malika. Dibiarkan. Tapi tak lama kemudian, deringnya kembali. Lalu berbunyi lagi. Dan lagi.

“Kenapa gak diangkat?” tanya Shanaya. Suaranya tenang, tapi nadanya tajam.

“Aku udah janji dan aku mau nepatin,” jawab Reno mantap.

Namun belum sempat keheningan pulih, ponsel itu berdering lagi—nyaring, menuntut perhatian.

Shanaya menarik napas dalam. Ia tahu Reno ingin mengangkatnya. Ia tahu pria itu sedang menahan diri.

“Angkat aja. Siapa tahu penting. Mungkin ada sesuatu yang terjadi padanya,” ucap Shanaya datar.

Reno tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Iya. Tadi aku suruh Malika ketemu klien. Harusnya aku yang datang. Tapi aku malah ke sini buat nemenin kamu.”

Shanaya menggigit bibir bawahnya. Ucapan Reno terdengar seperti tuduhan diam-diam. Seolah kehadirannya hari ini adalah beban, bukan prioritas.

Terpopuler

Comments

Miss haluu🌹

Miss haluu🌹

Ngasih kesempatan itu mmg ga salah, Shanaya, tapi.. itu harus ke orang yg tepat! Kalo Reno sama sekali bukan orang yg tepat😟

2025-05-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!