Reno menatap Shanaya tajam. Matanya menyipit, nadanya meninggi. “Shanaya, maksudmu apa?”
Shanaya tidak gentar. Tatapannya tetap tenang, terlalu tenang malah, dan itu membuat Reno semakin gelisah.
“Tidak ada, Pak Reno. Anda benar. Malika memang harus belajar lebih giat supaya bisa jadi sekretaris yang bisa diandalkan,” jawabnya datar.
Suasana di ruangan itu langsung kaku. Malika yang berdiri canggung di tengah-tengah mereka buru-buru bicara.
“Itu salah saya, Pak. Saya memang masih banyak kurangnya. Saya harus belajar lebih keras.”
Reno menoleh pada Malika. Mata gadis itu tampak sedih, dan itu cukup membuat hatinya melunak. Ia mendekat, lembut. Malika bukan sekadar karyawan baru. Dia putri dari keluarga Qorita, klien besar yang menopang salah satu lini bisnis penting Reno. Tapi lebih dari itu, kehadiran Malika membuat Reno merasa dibutuhkan dan Malika bisa memenuhi kebutuhan pribadinya.
“Malika, kamu nggak perlu merasa rendah. Semua orang butuh waktu untuk berkembang. Kamu bisa, asal terus belajar.”
Shanaya menghela napas. Kalimat itu, kalimat yang dulu pernah ia ucapkan saat Reno nyaris tumbang karena masalah pribadi dan perusahaan kini diucapkan Reno untuk wanita lain. Di depannya. Penuh kelembutan yang pernah hanya ia rasakan sendiri.
Belum cukup sampai di situ, Reno malah berbalik dan menunjuk Shanaya.
“Kamu juga, Shanaya! Jangan terus merasa paling benar. Aku tahu kamu selalu tampil sempurna, tapi jangan pakai itu buat menjatuhkan orang lain.”
Shanaya mengerjap. “Menjatuhkan?” Ia tak percaya dengan tuduhan itu. “Pak Reno, sepertinya Anda salah paham. Saya—”
“Pak Reno,” potong Malika pelan. “Bu Shanaya tidak salah kok. Mungkin Anda cuma salah menangkap maksudnya. Beliau memang tegas, tapi saya tahu niatnya baik. Dia ingin menyemangati saya, walau cara penyampaiannya terdengar agak tajam.”
Malika melirik Shanaya dengan senyum tipis, seolah menyodorkan panggung.
“Benar, Bu Shanaya?”
Shanaya hanya tersenyum kecil. Bukan karena tersentuh, tapi karena geli. Sungguh kekanak-kanakan.
“Kamu dengar itu, Shanaya? Malika saja bisa berpikir positif. Jangan terlalu keras,” Reno menambahkan, nadanya seolah merasa menang.
Shanaya menatap keduanya bergantian. Kalau bukan karena harga diri, dia sudah menepuk tangan sekarang. Dua pemeran utama dalam drama murahan yang pura-pura saling mendukung, tapi ujungnya sama, menjatuhkan dirinya.
“Baik, Pak Reno. Saya salah. Saya akan belajar lebih bijak, supaya Pak Reno tak perlu repot-repot lagi mengingatkan saya,” balasnya dengan senyum tipis.
Reno diam. Ada yang ganjil. Shanaya terlalu kalem. Bukan seperti biasanya yang pasti akan membalas. Tapi sebelum ia sempat bicara lagi, semuanya berubah.
Shanaya berjalan pelan ke arah Malika. Namun entah kenapa, tiba-tiba tubuh Malika terdorong. Ia kehilangan keseimbangan. Reno refleks maju menolong Malika, tapi gerakannya malah mengenai Shanaya hingga wanita itu terhempas ke dinding.
Brak!
Shanaya jatuh. Darah mengalir dari pelipisnya.
“Shanaya!” Reno panik. “Aku… aku nggak sengaja!”
Tapi langkahnya tertahan oleh suara Malika yang meringis, “Pak Reno, kakiku, sakit. Mungkin terkilir...”
Reno ragu sesaat, lalu berlutut di sisi Malika. Tangannya sigap memeriksa pergelangan kaki wanita itu.
Shanaya menyaksikan semuanya. Tak ada yang datang ke arahnya. Tak ada tangan yang mengusap lukanya. Tak ada suara panik yang menyebut namanya. Dulu, Reno akan langsung memeluknya kalau ia terluka sedikit saja. Sekarang? Bahkan darah pun tak cukup untuk membuat pria itu menoleh.
“Shanaya, aku nggak nyangka kamu bisa serendah ini. Main kasar segala. Urus aja dirimu sendiri!” hardik Reno tajam.
Dengan satu gerakan tegas, Reno mengangkat Malika dalam pelukannya. Melewati Shanaya begitu saja. Seolah dirinya bukan siapa-siapa.
Saat melewati pintu, Malika menoleh. Senyumnya tipis. Bibirnya bergerak perlahan, tanpa suara.
Aku menang.
Shanaya balas tersenyum miris. “Ambil saja sampah itu. Aku juga sudah tak ingin menampungnya,” gumamnya pelan. Ia mengambil dokumen di meja, merapikannya dengan tenang, lalu melangkah keluar. Tanpa menoleh.
***
Shanaya akhirnya ke rumah sakit juga. Untungnya, masih ada satu sahabat yang setia nemenin. Hidup di Jakarta sebagai menantu yang gak pernah diterima bikin perempuan 27 tahun itu merasa kayak yatim piatu. Bukan karena gak punya orang tua, mereka masih ada, tinggal di luar kota, dan hampir tiap hari tanya kabar. Tapi Shanaya gak pernah bisa cerita apa-apa. Tugasnya cuma satu, kelihatan baik-baik saja dan pastikan uang tetap dikirim tiap bulan.
Itulah sumber keributan utama antara Shanaya dan mertuanya, Bu Astuti. Buat Astuti, Shanaya harusnya udah berhenti mikirin keluarganya sendiri dan fokus ke keluarga barunya. Tapi Shanaya gak bisa. Selama masih bisa bantu, dia bakal terus bantu. Orang tuanya udah jungkir balik biar dia bisa kuliah. Gak bisa dilupain gitu aja.
Wina memperhatikan dahi Shanaya yang kini terlihat memar, ia sedikit menyentuh luka itu dengan lembut, meskipun sentuhan itu lembut tetap membuat Shanaya meringis kesakitan.
“Gila tuh Reno, Sha. Udah lah, ceraiin aja. Masih berharap apa sih dari dia?” ucap Wina sambil nyilangin tangan di dada, wajahnya penuh amarah.
Sejak Reno ketahuan selingkuh, Wina gak pernah capek nyuruh Shanaya buat pisah. Tapi Shanaya masih bertahan, masih percaya sama janji lama mereka, janji seratus kesempatan.
“Sisa tujuh lagi, Win. Aku masih sabar. Tapi jangan anggap aku bodoh. Tanda tangannya udah di tangan,” ucap Shanaya pelan tapi mantap.
Wina melongo, kaget setengah mati. “Tanda tangan… surat cerai?”
“Bukan cuma itu. Surat resign juga. Aku mau benar-benar bebas, Win.”
Wina mandangin sahabatnya lama, lalu angkat tangan ke atas, seolah bersyukur banget. “Ya Tuhan, makasih. Akhirnya sahabatku sadar juga.”
Wajah Wina yang semringah bikin Shanaya ikut senyum, tapi cuma sebentar. Di balik senyum itu, muncul resah baru. Setelah ini, dia harus cari kerja. Dan di negara ini, cari kerja gak semudah itu. Bahkan buat lulusan terbaik sekalipun. Apalagi kalau gak punya nama besar di belakang.
“Kok mukamu tiba-tiba sedih gitu?” tanya Wina, curiga.
“Gak apa-apa,” jawab Shanaya sambil menarik napas panjang. “Cuma kepikiran, harus mulai dari nol lagi. Cari kerja baru. Gak tahu deh, ada perusahaan yang mau nerima aku atau enggak.”
Wina langsung menjitak pelan kepala Shanaya, lalu nyubit pipinya gemas. “Kamu tuh ya, rendah hati banget. Kamu itu sekretaris top di kantornya si brengsek itu. Begitu orang-orang denger kamu resign, percaya deh, bakal banyak yang ngantri ngajak kerja bareng.”
Belum sempat Shanaya jawab, tiba-tiba terdengar suara berat dari belakang mereka.
“Resign? Cari kerja? Maksudnya apa?”
Shanaya dan Wina langsung noleh. Reno berdiri gak jauh dari mereka, wajahnya bingung, penuh tanda tanya. Ternyata dia denger cukup banyak buat bikin suasana langsung tegang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Miss haluu🌹
Kaget kan, lu, Ren? Dasar suami ga egois, ga guna!
2025-05-12
0