05

Wajah Winda merona merah. Sesuatu yang membedakan antara Ardan dan Johan. Sikap dan wajah Ardan memang datar, tetapi perlakuannya manis, padahal Ini baru pertemuan kedua mereka. Sedangkan Johan, meskipun telah dua tahun menjalin hubungan, pria itu hanya manis di bibir tanpa kenyataan.

Buru-buru Winda menggelengkan kepala. No, Winda! Jangan terpesona. Ingatlah, hubungan kalian hanya terjalin atas nama kesepakatan! Kamu punya tujuan dan dia pun sama.

“Pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?” Tanya Ardan setelah mereka selesai makan.

Winda membersihkan mulutnya dengan tisu. Mengambil nafas dalam sebelum menjawab. “Terserah.” Winda mulai membentengi hati. Dengan bersikap acuh. “Yang penting Johan dan Revi diundang.”

“Hemm. Besok, ijin lah di tempat kerjamu. Kita akan datang ke rumah orang tuamu. Pernikahan kita adakan dua minggu kemudian.” Ardan menjawab datar.

“Dua minggu??” Winda tersentak. “Apa itu tidak terlalu cepat? Kita butuh waktu untuk…”

“Waktu dua minggu lebih dari cukup untuk mempersiapkan segala hal.” Ardan memotong ucapan Winda.

“Kamu gila, ya?” Winda berteriak kencang. Berdiri dari duduknya. Dua tangannya bahkan menggebrak meja tanpa ia sadari. “Bahkan orang tuaku belum tahu ini. Lalu tiba-tiba harus menyiapkan pernikahan hanya dalam waktu dua minggu. Kamu lagi mimpi nikah sama putri sultan??!!” Winda meluapkan emosinya. Dadanya terlihat turun naik.

Ardan menyandarkan punggung lalu bersedekap. Rautnya tetap tanpa ekspresi. “Sudah selesai? Ayo teriak lagi kalau belum!” Mata Ardan menyorot datar.

Winda baru menyadari kecerobohannya. Menoleh ke sekeliling dan mendapati beberapa pengunjung restoran menatap ke arah mereka sambil berbisik-bisik. Perlahan Gadis itu kembali duduk, menunduk malu. “Maaf,” ucapnya.

Ardan membuang napas kesal lalu memalingkan wajah. Gadis di hadapannya terlalu ekspresif. Pria itu kemudian menjentikkan jari mengisyaratkan agar pelayan datang. Meminta bill, lalu membayar apa yang sudah mereka makan.

“Kita kembali. Urusan lain kita bicarakan lain kali.” Ardan berdiri lalu melangkah meninggalkan tempat itu lebih dulu. Ia sudah hilang mood.

“Ehh…? Buru-buru Winda mengejarnya. Jangan sampai ia ditinggalkan di restoran ini. Dengan apa Dia kembali ke tempat kerjanya nanti.

***

“Maaf, Aku terlalu kaget tadi.” Winda mengakui kesalahannya ketika mereka telah berada dalam mobil.

“Hemm.”

“Aku akan izin cuti nanti,” lanjut Winda. Masa bodoh toh ia tidak perlu pernikahan mewah. Jadi tak perlu banyak persiapan.

“Hemm.”

Winda tahu Ardan masih kesal. Ia tak akan mengajak bicara lagi. Gadis itu mengalihkan pandangan pada luar kaca, memperhatikan lalu lintas lalu lalang dan pemandangan gedung-gedung berjajar di sepanjang jalan yang mereka lalui.

“Nanti sore aku akan datang ke apartemenmu.” Ardan bersuara setelah hening beberapa saat. “Siapkan semua dokumen dirimu. Biar aku mulai mengurus pernikahan kita!”

“Baik.” Winda menjawab singkat. Menunggu lama, tapi tak ada suara lagi dari Ardan. Winda mengerutkan kening, pria ini mengatakan akan datang, tapi tak menanyakan alamat tempat tinggalnya. Apa pria ini tahu di mana ia tinggal? Ehh,,, tunggu! Bagaimana pria ini tahu kalau ia tinggal di apartemen?

“Serahlah!” Wind malas berpikir. Pikirannya saat ini saja sudah kalut. Menikah? Dua minggu lagi? Bagaimana cara dia bicara pada papa dan mamanya?

“Ini, gunakan ini untuk membeli oleh-oleh sebelum pulang besok!”

Winda terkejut ketika ia baru saja akan membuka pintu mobil, dan Ardan meletakkan sebuah kartu di atas pangkuannya. Ingin bertanya, tapi pria itu bahkan tak menatap padanya. Apa kaca mobil di depannya lebih menarik?

“Tidak perlu. Aku akan membeli oleh-oleh untuk orang tuaku dengan uangku sendiri. Lagi pula…”

Winda menghentikan ucapannya ketika pria itu menoleh. Sorot matanya terlihat tidak suka dengan penolakan Winda.

“Emm,, itu..” Winda menggaruk tengkuknya, tak tahu kenapa ia harus gugup. Ia bahkan tak tahu apa yang salah. “Sebenarnya aku tak pernah pulang membawa oleh-oleh. Biasanya Mama lebih senang saat aku pulang, lalu kami belanja bersama.” Winda menjelaskan.

“Kalau begitu gunakan itu untuk belanja!” Tegas. Tak mau dibantah.

“Baiklah. Terima kasih. Terima kasih juga untuk makan siangnya.” Winda membuka pintu lalu turun setelah mengucapkan itu.

“Hemm.”

Hanya itu jawaban yang ia dengar dari Ardan.

***

“Habis ketemu calon suami kok malah lecek gitu muka Loe?” Silvia yang melihat Winda seperti sedang bad mood mendekat dan bertanya.

“Hufff…!” Winda membuang napas kasar. “Dia itu benar-benar menyebalkan. Bertindak semaunya dia. Mana mukanya kaku kayak tembok lagi.” Gadis itu menumpahkan kekesalannya.

“Haaa…?” Silvia bingung. “Maksudnya?”

“Tahu gak?”

Silvia menggeleng cengo. “Enggak”

“Diem dulu Marimar…!” Winda memukul tangan Silvia kesal. “Masa dia menentukan kalau kami akan menikah dua minggu lagi? Gila kan?”

“What…??” Kali ini Silvia setuju dengan pendapat Winda, mungkin pria bernama Ardan itu memang gila. “Atau…” silvia mengetuk-ngetuk pipinya. “Jangan-jangan bener kalau dia itu sultan? Biasa kan? Kalo CEO CEO tu memang suka gitu. Jangankan dua minggu mendatang, besok pagi juga bisa. Uang mereka yang bicara.”

“Ngawur!” Winda melemparkan pulpen yang dia pegang ke hingga mengenai kening Silvia.

“Auww,,, “ Silvia memegangi keningnya dengan wajah cemberut. “Sakit tahu!!”

“Dasar ratu drakor. Dikit-dikit CEO, dikit-dikit Sultan. Otakmu benar-benar sudah tak bisa diselamatkan lagi.”

“Ya sudah kalau kamu tidak percaya. Pokoknya aku Aamiin.” Silvia memilih kembali fokus pada pekerjaannya daripada berdebat dengan Winda.

“Kalau memang dia CEO kaya raya, dia pasti akan memilih ruang privat untuk kami makan siang.” Winda tetap membantah pemikiran Silvia. Lalu ia sendiri pun juga kembali fokus pada laptop di hadapannya. Semua pekerjaannya harus selesai hari ini juga atau besok dia tidak akan bisa izin.

“Tapi dia memberikan aku kartu?” gumam Winda.

Tiba-tiba ia ingat akan kartu yang diberikan oleh Ardan.

Menyandarkan punggung pada kursi yang didudukinya. Menggerakkan kursi hingga berputar ke kiri dan ke kanan. Wajahnya sedikit memerah. Selama ini tak pernah ada yang memberinya sesuatu. Johan? Jangankan memberi, pria yang kini dia juluki kadal buntung itu hanya meminta. Dan bodohnya Winda, tak pernah sadar jika dirinya hanya dimanfaatkan.

“Ah tidak. Tetap tidak mungkin. Kalau benar dia CEO kaya raya, pasti dia akan memberikan kartu yang berwarna hitam. Ya Tuhan, kenapa otakku jadi ikut tercemar seperti Silvia?” Gadis itu bergulat dengan pikirannya. Sedikit termakan omongan Silvia, tapi segera menarik diri, kembali pada logika.

***

Winda tiba di apartemen ketika hari telah hampir gelap. Mandi, istirahat sebentar, lalu ke pantry untuk membuat mie instan. Ia sedang malas ribet. Malas juga memesan makanan. Satu bungkus mie instan, dipadu dengan tiga lembar sawi, satu buah wortel dan sebutir telur, sudah cukup membuatnya kenyang.

“Makanan lezat sudah siap, ayo kita bersantap!” serunya pada diri sendiri. Mengangkat garpu di tangan kanan, dan cabe hijau di tangan kiri sudah siap untuk digigit.

Ting tong ting tong…

Baru saja membuka mulut untuk menyuapkan mie yang telah ditiup, bel apartemen nya berbunyi.

“Siapa sih? Ganggu orang makan saja!” gerutunya. Meskipun kesal, mau tak mau ia meninggalkan mangkoknya yang sedang mengepulkan asap, karena bel yang kembali berbunyi. Bergegas ia ke depan untuk melihat siapa yang datang.

“Kamu…???”

Terpopuler

Comments

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ

haaahhh, kirain sendok gak tahu cabee... hiii

2025-05-14

1

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ

〈⎳ 𝕄𝕠𝕞𝕤 𝕋ℤ

tanda petik di akhir kalimatnya ga ada

2025-05-14

1

tse

tse

calon suami ceo mu itu yang datang.....siap2 aja kamu di omelin karna makan mie instan...

2025-05-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!