bab 5

Bu Lilis terbaring di ranjang besar, wajahnya pucat, napasnya tersengal pelan. Tirai kamar setengah tertutup, hanya menyisakan semburat cahaya senja yang menembus masuk, menggambar garis-garis lembut di lantai. Di sisi ranjang, Rama duduk gelisah, menggenggam tangan ibunya.

“Ma… Mama dengar suara Rama, kan? Mama sadar, Ma?” suaranya lirih, nyaris bergetar.

Citra berdiri di sisi lain, memegangi gelas berisi air hangat. Matanya sembab karena khawatir, tapi ia tetap berusaha tenang. Di depan pintu, Retno dan Novi mengintip dengan cemas, sementara Bu Rumi—yang paling tua di antara mereka—sudah menyiapkan minyak angin dan handuk kecil.

“Pelan-pelan, Pak. Jangan panik dulu,” bisik Bu Rumi lembut. Ia mengoleskan minyak ke pelipis Bu Lilis, sambil berdoa lirih.

Beberapa menit berlalu seperti keabadian, sampai akhirnya kelopak mata Bu Lilis bergetar pelan. Ia membuka mata, menatap sekeliling dengan pandangan kabur.

“Ma…” suara Rama langsung terdengar lega. Ia meraih bahu ibunya. “Mama sudah sadar. Alhamdulillah.”

Bu Lilis menatap wajah putranya, lalu berpaling pada Citra yang berdiri tak jauh. Ekspresi bingung di wajahnya segera berubah—dari lemah menjadi tajam.

“Jadi… ini bukan mimpi?” suaranya serak tapi tegas. “Kamu benar-benar bilang kalau dia—” ia menunjuk Citra dengan tangan bergetar—“adalah istrimu?”

Rama menghela napas panjang. “Iya, Ma. Citra istriku.”

“Astaghfirullahaladzim!” Bu Lilis langsung duduk, meski Bu Rumi menahan bahunya pelan. “Rama! Kamu itu waras atau tidak?! Gadis ini… Baru 18 tahun! Usianya bahkan sebaya dengan Rava! Dimana akal sehatmu, haah?” bentaknya sambil memukul Rama. Lelaki itu hanya menerima begitu saja.

Citra sampai terkejut melihat adegan kekerasan dalam rumah tangga ini. Ia ingin bicara, tapi Rama sudah melirik dan mengisyaratkan agar diam.

Rama tetap tenang, “Ma, tolong dengar dulu penjelasan Rama, ya?”

“Tidak! Tidak ada alasan yang masuk akal buat perbuatan seperti ini! Kamu ini... Pedofil, Rama! Astaga! Bagaimana bisa aku melahirkan seorang pedofil!”

“Ma!” potong Rama lembut tapi tegas. “Tolong… dengarkan dulu.”

Suasana kamar menegang. Retno dan Novi saling pandang, lalu mundur pelan dari ambang pintu. Begitupun dengan Bu Rumi yang menunduk pergi, bagaimana pun, ini urusan keluarga. Mereka yang pembantu tak layak ikut campur.

Rama menunduk sejenak, lalu mulai bicara pelan. “Waktu itu, Ma, Rava kabur dari pesta pernikahannya. Keluarga calon mempelai sudah kebingungan dan panik, undangan tersebar, makanan sudah siap, segala macam vendor sudah dibayar, semua orang tahu. Wajarnya, mereka menuntut pertanggungjawaban.”

Bu Lilis tertegun, tapi wajahnya masih penuh amarah. “Jadi kamu menikahi gadis ini?”

"Iya."

Bu Lilis makin geram, ia pukul lagi anaknya.

"Aduuh, sakit loh, Ma."

"Kamu! Beneran sudah gila kamu! Kamu nikahi calon menantumu sendiri!?!"

"Jadi siapa, Ma? Dia nikah sendirian? Lalu Rava dipenjara?"

Bu Lilis diam. Wajahnya sudah memerah. Lalu dia menghela napas dan memijit pelipisnya.

"Aaaddduuhh... Kepalaku..." lalu melirik Rama lagi. "Hiihh! Gerem aku!" tangan sudah mengayun lagi.

Citra spontan langsung duduk di depan Rama, menghadang tubuhnya dari ayunan berikutnya. “Bu, jangan pukul lagi, tolong! Pak Rama tidak sepenuhnya salah. Saya memang memaksanya!”

Bu Lilis tertegun sesaat melihat gadis muda itu berdiri di depan anaknya, tangan kecilnya melindungi Rama.

“Ya Tuhan,” gumamnya lirih, tangannya lagi-lagi memegangi kepala, “sekarang malah dibelain. Kamu, Ram, sembunyi di belakang anak kecil, hah? Lelaki macam apa kamu ini?”

Rama nyengir. "Itu... Karena Mama yang terlalu brutal. Anak kecil saja tau."

Bu Lilis mendelik sebal pada anaknya. tapi, dia juga jadi semakin kesal pada Rava cucunya sendiri. "Rava ini gimana sih? Enggak tanggung jawab banget! Harusnya, dulu kamu aja yang urus dia! Malah jadi orang bener! Lihat kan, diurus mamanya malah jadi beban! Jadi ruwet! Huuhh! Mamanya aja ruwet! Enggak benar! Gimana anaknya mau bener!"

"Lihat positifnya, Ma. Sekarang mama jadi punya mantu, kan?"

Bu Lilis melirik sebal. "Mantu kepalamu!"

"Bukannya tadi Mama akrab dan suka padanya? Citra cocok dijadikan mantu. Dan dia beneran mantu kan?" kata Rama dengan nada menggoda.

Plak!

“Ma!” Rama terlonjak. "Jangan memukulku depan istri."

Bu Lilis melirik Citra yang kini masih di depan Rama dengan tangan yang seolah menghalangi, lalu ia mendesah panjang. "iya, iya. Baiklah. Mama enggak akan memukul lagi," katanya. "Tapi jawab satu hal: apa yang kamu kasih ke keluarga besan? Kemarin acaranya dadakan, kan?”

“Ehm…” Rama menggaruk kepala, melirik Citra sebentar. “Nggak banyak, Ma. Cuma mahar… lima ribu.”

“LIMA RIBU!?” teriak Bu Lilis, sampai Citra kaget, “Astaga, Rama! Itu harga bakso dua tusuk! Kamu nikahin anak orang atau beli gorengan?!”

"Ma, tolong jangan keras-keras, aku enggak bawa uang waktu itu."

Bu Lilis menatap anaknya tajam. “Rama, kamu bikin Mama pengin disuntik bius permanen. Udah nikah sembunyi-sembunyi, mahar receh pula! Dimana otak dan rasa malumu, hah?”

Bu Lilis lalu berganti pada Citra, "Kamu juga! Kenapa mau dimaharin 5000!? Jangan-jangan udah hamil duluan, ya?"

Citra langsung menggeleng, "Enggak, Bu! Waktu itu pikiran Citra sedang berisik, hati Citra juga penuh. Jadi, enggak ada mikir uang mahar."

Ucapan itu seketika membuat Bu Lilis bungkam, begitupun dengan Rama. Sekeras itu mental Citra sudah dihancurkan.

sunyi...

Rama mengusap wajahnya. bu Lilis menyesal karena sudah menuduh gadis kecil yang jadi menantunya itu yang tidak-tidak.

"Mama pusing."

Citra menunduk, "Maaf, Bu."

"jangan panggil, Bu!" nada suara Bu Lilis meninggi. Suasana sempat menegang. "Panggil Mama."

Rama yang semula sedikit tegang, mulai tersenyum. Sedangkan Citra masih tetap polos saja.

"Sudah! Mama mau pulang! Pusing! Punya anak satu saja bikin kepala mau pecah!" ujar Bu Lilis bejalan keluar sambil menenteng tas.

Begitu wanita itu kamar, Citra masih menatap pintu dengan wajah cemas. “Pak, Citra bikin Bu Lilis marah besar, ya?”

Rama tersenyum tipis, menatap istrinya. "Kok manggil Bu Lilis, sih?" protesnya dengan alis berkerut, "Mama dong! Kan tadi udah dibilang jangan panggil Bu, tapi Mama, kan?"

Pipi Citra menghangat. Ia menunduk dan melirik malu-malu. "Mama... Marah besar, ya?"

“Nggak. Kamu justru bikin Mama luluh lebih cepat. Tadi, kalau bukan karena kamu berdiri di depanku, mungkin aku udah benjol dua sisi.”

Citra terkekeh kecil, menunduk malu. “Habis.. Tadi Mama brutal banget mukulnya.”

Rama terkekeh.

Citra melirik, di wajah Rama, tampak beberapa goresan dan luka. "Itu.. Pasti sakit."

"Ah, cuma luka gores biasa kok. Nanti juga ilang."

Citra menatap, merasa bersalah juga karena membuat Rama dipukuli ibunya. "Harusnya, Citra juga mikirin orang lain dan tidak egois," gumamnya setengah berbisik.

Rama terenyuh.

"biar Citra obati, Pak."

Rama mendekat, jaraknya hanya sejengkal. Citra meraih kepala Rama, lelaki itu sempat bingung. Tapi, dia menurut saja, menundukkan kepala. Wajah Citra makin dekat bikin jantung berdebar saja.

Rasa sejuk, hangat, dan basah, Rama rasakan pada bagian yang luka. Ia meringis, perih tidak terasa, berganti dengan rasa hangat yang menjalar dari sana.

“Sudah.”

Citra mendongak. Ada kehangatan di tatapan itu, kejujuran yang membuat dadanya bergetar.

“Kamu obati lukaku pake ludah?”

"eh?" Citra lupa mempertimbangkan kemungkinan Rama jijik atau tak suka. "Eh, maaf..." pipi Citra bersemu merah.

"di sini juga." rama menunjuk sudut bibirnya. "Ini juga luka."

Pipi Citra makin memerah sampai ke telinga.

Rama menunduk perlahan, "Ayo, obati yang ini juga."

"Eh, tapi... Kalau di sana... Artinya..."

Rama menunduk semakin dekat, awalnya dia hanya ingin menggoda. Wajah memerah Citra membuatnya gemas. Tapi, saat bibir itu tak sengaja bersentuhan, Rama jadi menikmati. Bibir Citra terlalu lembut untuk dilewatkan. Mata menutup... Rama mengecup lembut sudut bibirnya. Ciuman yang pelan, tapi sarat dengan janji untuk melindungi satu sama lain.

*****

Di sisi lain kota, di sebuah kamar apartemen, suara tawa pelan menggema di antara helaan napas berat. Seorang pria dan wanita sedang berguling-guling di atas ranjang.

“Rava…” bisik seorang wanita muda, jemarinya melingkar di leher pria itu.

Rava menatapnya dengan senyum miring. “Kamu tahu kan, ini gila?”

Wanita itu menyentuh pipi si lelaki. “Kenapa? Karena aku sepupu Citra, atau karena kamu nggak bisa berhenti mendatangiku?”

Rava menatapnya dalam... "Kita... Gugurkan saja, bagaimana?"

Mata wanita berubah tajam, wajahnya marah. "Tidak akan! Ini anakmu! Aku tak mau mengugurkannya. Lagi pula, kau tak akan bisa kembali pada Citra! Dia sudah menikah!"

Mata Rava langsung melebar, memerah.."Apa?"

Terpopuler

Comments

partini

partini

😂😂😂😂😂 mertua 👍👍👍👍 hemmm rasain kamu pacarmu naik pangkat jadi ibutirimu wkwkwkkw

2025-10-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!