Di rumah Pak Haris, keheningan tak berarti tanpa kegaduhan. Justru, semenjak acara pernikahan usai dengan mempelai pria yang ‘berbeda’, suasana menjadi penuh tanda tanya.
Para tetangga berdiri di pagar rumah seperti pasukan siaga, pura-pura menyapu halaman atau menata pot bunga, padahal telinga dan mata mereka sepenuhnya mengarah ke rumah keluarga Haris.
"Lihat tuh, padahal mahar cuma 5000, kok bisa dijemput mobil?" bisik Bu Erna pada Bu Rukmini.
"Enggak taulah, aku. Mungkin dia memang punya mobil."
"Tapi maharnya cuma 5000 loh, 5000! Buat gorengan aja cuma dapat 5."
"Jadi itu mobil siapa?"
"Bisa jadi rental, kan?"
"Nah, sepemikiran."
"Tapi, ya, dari pads buat rental mobil. Mending buat mahar, macam enggak ada harganya kali. Cuma 5000 loh."
"Tau tuh. Mana si Haris macam terima aja anaknya dimaharin segitu."
"Ya daripada malu, enggak jadi nikah. Kan?"
Mereka memandang sinis ke arah mobil yang baru saja meninggalkan rumah Pak Haris.
"Siapa tadi namanya?"
"Rama…"
"Ganteng, sih. Tapi, kayaknya tua ya, tadi?"
"Iya, kayak adeknya Pak Haris aja, ya? Dapat dari mana itu tadi, ya?"
Tebakan demi tebakan meluncur deras bagai air di musim hujan. Tapi tak ada satu pun yang tau siapa Rama.
Tak lama, suara mobil terdengar memasuki gang. Yani, adik Pak Haris, baru kembali setelah dua hari tak kelihatan batang hidungnya. Ia turun dari mobil dengan santai, dan mengibaskan rambut sebahu yang sedikit kusut.
"Eh, Yani! Baru pulang, ya?" sapa Bu Erna yang cepat-cepat menyeberang pagar.
"Lho? Kok rame banget? Ada apa ini?" tanya Yani sambil memicingkan mata ke arah rumah kakaknya. "Acaranya jadi, kan? Atau batal nikah?"
"Waduh, kamu ketinggalan drama besar. Citra nikah, tapi bukan sama Rava!"
Yani tersenyum tipis. "Iyakah?! Maksudnya?"
"Rava kabur! Katanya ilang dari pagi, nggak bisa dihubungi. Eh, ujung-ujungnya Citra tetap nikah. Tapi bukan sama Rava. Diganti orang lain."
Yani mematung sejenak. Wajahnya berubah dari kaget… lalu penasaran. "Terus yang nikahin siapa?"
"Rama!"
"Rama siapa?" Yani mengerutkan kening.
Bu Erna mengendikkan bahu. "Enggak tau juga. Yang jelas, dia pria dewasa, bukan anak muda. Kayaknya seumuran deh sama kamu."
"Wah… makin menarik. Mana dia sekarang?"
"Udah pergi sama Citra. Enggak tau kemana. Moga aja enggak di bawa ke Kamboja."
"Hush!"
Yani terkekeh. "Aku harus lihat sendiri! Ah, telat banget aku."
Tanpa ragu, Yani melangkah masuk ke rumah Haris. Ia membuka pintu tanpa mengetuk, seperti biasa.
"Mas Haris!" serunya sambil menjejak ke dalam ruang tamu.
Maya duduk di sofa, masih dengan mata bengkak. Haris berdiri di pojok ruangan, memijat pelipisnya.
"Yani?" suara Maya parau.
"Eh Mbak Maya, kok nangis?" tanyanya sembari menjatuhkan diri ke sofa.
Maya menggeleng pelan, tak bisa berkata apa-apa.
"Kamu dari mana, sih, Yan? Ke mana aja kemarin?" tanya Haris.
Yani tak menjawab, ia malah melirik ke sekeliling. "Citra mana? Katanya nikah sama lelaki tua!"
Haris menatap Yani dengan dingin. "Mereka sudah pergi. Rama yang bawa Citra ke rumahnya."
"Wah, sayang banget. Aku jadi penasaran, loh, Mas. Gimana sih orangnya? Umur berapa? Ganteng gak? Orang sini atau luar kota?"
"Kamu nanya atau interogasi? Kamu sendiri ke mana aja? Ponakan sendiri nikah, malah enggak terlihat sama sekali."
Yani mengangkat bahu santai. "Adalah Mas. Mau tau aja deh. Kami ada urusan keluarga juga. Penting! Eh, pulang-pulang langsung heboh begini."
Haris hanya mengangguk dingin. Maya diam, memejamkan mata sambil menahan emosi. Yani, yang tak peka, malah berdiri dan bersiul pelan. "Kalau gitu, aku ke rumah dulu. Tapi beneran, ya, Mas, kalau dia balik, aku harus lihat!"
...----------------...
Di sisi lain, setelah enam jam perjalanan dalam keheningan dan lelah yang menusuk, mobil jemputan sederhana itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar.
Citra menoleh keluar jendela. Mulutnya sedikit menganga. Ia tak mengira akan dibawa ke tempat seperti ini. Rumah itu tinggi, berdiri megah di antara pepohonan rindang. Dinding-dindingnya berwarna krem pucat, dengan jendela-jendela lebar berbingkai putih. Halamannya luas, taman depan tertata rapi, dan suara gemericik air dari kolam ikan kecil terdengar pelan tapi jelas. Bahkan udara di sekitar situ terasa lebih sejuk.
"Ini… rumah siapa?" tanya Citra pelan, nyaris seperti gumaman. Suaranya terdengar kecil di dalam kabin mobil.
Rama membuka pintu dan keluar lebih dulu. Ia memutar badan, lalu membuka pintu untuk Citra.
"Turunlah. Kita sudah sampai."
Dengan langkah ragu, Citra menginjakkan kaki ke tanah berbatu koral putih yang menghiasi halaman. Ia masih menatap rumah itu dengan bingung, nyaris tidak percaya.
"Bapak… ini rumah Bapak?" tanyanya sekali lagi.
Namun Rama tidak menjawab. Ia hanya tersenyum tipis dan berjalan pelan menuju pintu depan.
Citra mengikutinya, langkahnya masih berat. Saat keduanya mendekat, pintu rumah perlahan terbuka dari dalam. Muncul seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih dan tampak ramah, meski sinar matanya tajam memperhatikan Citra dari ujung kepala hingga kaki.
Wanita itu berdiri diam beberapa detik, lalu tersenyum sopan.
"Selamat datang, Mas Rama," ucapnya dengan suara lembut tapi tegas. "Akhirnya pulang juga."
Citra terkejut. Langkahnya terhenti seketika. Matanya langsung mengarah ke wajah wanita itu. Siapa dia?
Wanita itu lalu mengalihkan pandangannya ke Citra. Kali ini, senyumnya sedikit berbeda. Ada rasa ingin tahu yang tersirat dalam kerutan halus di sudut matanya.
"Dan ini…?"
Rama menatap Citra sejenak, lalu menjawab pelan.
"Ini... istriku."
Citra menoleh cepat ke arah Rama, jantungnya berdebar lebih cepat.
Wanita itu masih memandangi Citra. Tatapannya tajam namun tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya mengangguk pelan, lalu mempersilakan mereka masuk.
"Siapa wanita ini? Apa dia istri pak Rama? Atau..."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Ma Em
Wah jangan2 Yani adik pak Haris nikah sama Rava , si Yani tenang banget seperti orang yg sdg bahagia dan puas Citra tdk jadi nikah dgn Rava .
2025-10-21
2
Wayan Sucani
Ayo dong lanjitannya
2025-10-01
1
partini
menarik
2025-06-16
1